Motto:

It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Selasa, 11 Januari 2011

TINJAUAN ARTIKEL: Studi Efek Area pada Perilaku Merokok di Lingkungan Miskin


Much. Khoiri
Judul Artikel Riset: ‘It’s as if you’re locked in”: qualitative explanations for area effects on smoking in disadvantaged communities
Peneliti                      : Martine Stead, Susan MacAskill, Anne-Marie Mackin-
  tosh, Jane Reece, Douglas Eadie
Nama Jurnal              : Health & Place
Tahun                         : 2001
Edisi                           : 7
Halaman                    : 333—343

 

Pengantar

Genderang perang melawan rokok boleh bertalu-talu seantero jagad.  Parade kampanye agar berhenti merokok boleh merambah setiap area di bumi. Mungkin bagi orang-orang tertentu, genderang dan kampanye semacam itu disambut sebagai tengara periangatan akan penyakit dan kematian. Akan tetapi, jangan terlalu banyak berharap dari masyakat “miskin” (disadvantaged community) yang sehari-harinya akrab dengan kebiasaan merokok. Mereka telah terkondisikan secara alamiah oleh lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga genderang dan kampanye tersebut barangkali tak akan meninggalkan bekas.
            Bagaimana fenomena ini dijelaskan? M. Stead dkk. (2001), lewat penelitian kualitatifnya, mampu membeberkan penjelasan efek area terhadap perilaku merokok di lingkungan kumuh atau “miskin” di Glasgow.  Untuk melihat bagaimana mereka menjelaskan fenomena ini, saya coba ikhtisarkan artikel riset mereka berikut ini:

Rasionalisasi

            Stead dkk. mengemukakan banyak bukti empiris: bahwa tempat-tinggal (residensi) di area miskin sangat mungkin berakibat buruk bagi kesehatan. Pertama, akibat perumahan tak-standar, perencanaan buruk, dan kurangnya investasi, masyarakat miskin  kekurangan fasilitas dan layanan kesehatan. Kedua, tinggal di lingkungan miskin berarti memburuknya prospek pekerjaan, yang kemudian meningkatkan resiko kesehatan fisik dan psikologis. Ketiga,  tinggal di lingkungan miskin cenderung rawan terkena stress akibat tingginya tingkat kriminalitas, kekerasan, dan sejenisnya.  Ketiga, masyarakat miskin membatasi kesempatan untuk interaksi dan partisipasi sosial. Terakhir, residensi di lingkungan miskin bisa mengarahkan orang ke perasaan eksklusif, stigmatisasi, segregasi, dan penyingkiran (abandonment), yang semuanya berdampak pada kesehatan mental. (h. 333-34). Merujuk Kawachi & Kennedy (1999) dan Wilkinson (1996), dikemukakan bahwa perasaan terkucil dari masyarakat umum dapat menyebabkan efek psikologis yang berbahaya, termasuk ekslusi sosial dan devaluasi sebagai manusia.
            Bagaimana tinggal di lingkungan miskin menguatkan perilaku merokok?  Mereka mengemukakan  banyak bukti tentang  mengapa masyarakat demikian bukan menghentikan merokok, malah tetap merokok dan meningkatkan konsumsi tembakau. Penjelasannya beragam, antara lain, faktor kemiskinan, ketidakamanan ekonomi, pendidikan, buruknya kesehatan psikologis, kurangnya optimisme, dll.
            Secara spesifik, ada tiga riset kuantitatif yang menitikberatkan faktor lain di dalam masyarakat berpenghasilan rendah: yakni “efek area” tempat tinggal di dalam lingkungan (masyarakat) miskin.  Kleinschmidt dkk (1995) yang meneliti masyarakat Thames barat-laut.,  dan menemukan bahwa ada asosiasi angat kuat antara  perokok dan lingkungan tempat tinggal—bahkan ketika juga disertakan SES mereka. Reijneveld (1998), dari studinya di Amsterdam, menemukan bahwa  residensi di area terdeprivasi berkontribusi pada prevalensi merokok.  Kemudian, Duncan dkk. (1999) menemukan perbedaan-perbedaan dalam perilaku merokok yang tak dapat dijelaskan lewat karakteristik individual, komposisi populasi atau deprivasi tingkat-distrik.
            Hal terakhir inilah yang menjadi celah bidikan Stead dkk. dalam penelitian ini. Mereka bertujuan mengeksplorasi penjelasan yang memungkinkan lewat penelitian kualitatif.  Mereka tertarik mengkaji bagaimana merokok mungkin didorong (dan berhenti-merokok malah dibatasi) oleh residensi dalam komunitas miskin yang “terpisahkan” secara ekonomis, kultural, dan fisik dari masyarakat umum (mainstream society).

Masalah yang Diteliti

            Masalah penelian ini tidak dirumuskan secara eksplisit, apalagi dalam bentuk pertanyaan (problematic questions).  Mereka hanya mengemukakan tujuan penelitian yang juga dinyatakan dengan samar-samar: yakni mengkaji bagaimana merokok mungkin didorong (dan berhenti-merokok malah dibatasi) oleh residensi dalam komunitas miskin yang “terpisahkan” atau terisolasi secara ekonomis, kultural, dan fisik dari masyarakat umum.

Teori dan Konsep

            Dalam penelitian ini Stead dkk. tidaklah menggunakan teori-teori besar (grand theory) atau middle-range theory.  Mereka hanya menggunakan konsep-konsep yang diturunkan dari penelitian-penelitian sebelumnya dalam konteks psikologi, lalu dikaitkan dengan penelitian (kuantitatif) tentang hubungan antara lingkungan dan perilaku merokok.
            Pada rinsipnya, konsep tentang kedua dimensi ini telah disinggung di bagian “Rasionalisasi”. Merujuk Kawachi & Kennedy (1999) dan Wilkinson (1996), telah dikemukakan bahwa perasaan terkucil dari masyarakat umum dapat menyebabkan efek psikologis yang berbahaya pada seseorang, termasuk ekslusi sosial dan devaluasi sebagai manusia. Dengan demikian,  orang akan mencari outlet (pelampiasan) efek psikologis yang dialaminya. Terkait dengan perilaku mereka bukan menghentikannya, melainkan malah tetap merokok dan menambah konsumsi tembakau.

Metode

            Penelitian ini menggunakan  “Focus Group Discussion” (FGD) dengan para perokok dan non-perokok di tiga kelompok masyarakat Glasgow. FGD kualitatif ini dilakukan di tiga area: dua housing estate di Castlemilk dan Drumchapel, dan satu housing state  dekat pusat kota (Possil). 
Ada 8 (delapan) FGD digelar dengan kuota sampel orang dewasa yang diseleksi berdasarkan gender, usia, dan status merokok—yang dikategorikan dalam Stage of Change. (hlm.335). Responden disampel menurut Stage of Change untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan antara kelompok pengalaman merokok dan perasaan-perasaan tentang merokok. Setiap kelompok terdiri atas 6—8 responden, sehingga N = 53. Responden direkrut dari pintu-ke-pintu dengan kuesioner rekruitmen guna memastikan bahwa mereka sesuai dengan variabel-variabel kuota.
            Setiap FGD berlangsung sekitar 9 menit, dan masing-masing dimoderatori oleh satu atau dua peneliti. Dalam mengarahkan FGD ini para peneliti menggunakan topic guide yang cukup luas tentang isu-isu tentang merokok. Topic guide itu bahkan diterapkan dengan fleksibel, sehingga responden merdeka bicara dan berkesempatan berinisiatif dalam diskusi. Diskusi ini di rekam dengan tape-recorder, dan kemudian ditranskripsikan seara utuh untuk keperluan analisis tematik per baris (line-by-line thematic analysis). Dalam analisis data, kutipan-kutipan relevan disajikan dan diinterpretasi untuk menemukan temuan penelitian yang diharapkan.

Hasil Studi

            Hasil studi eksplorasi yang dilaksanakan oleh para peneliti dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) butir temuan:
  1. Menghadapi stress akibat lingkungan material. Merokok mampu berfungsi sebagai wahana untuk mengatasi atau menghadapi berbagai stress yang timbul akibat tinggal di lingkungan miskin. Konsumsi rokok mereka cenderung tinggi ketika kapasitas stress di lingkungan itu juga makin membebani.
  2. Menghadapi pengangguran diri (unimployment). Merokok juga mampu berfungsi sebagai wahana untuk menghadapi atau mengatasi frustasi dan demotivasi rasa pengangguran-diri yang kian meluas. Dalam konteks ini, tidak bekerja telah menjadi “way of life” bagi kebanyakan orang. Merokok menjadi pelipur lara.
  3. Norma-norma masyarakat pro-merokok. Ada pengaruh normatif akibat dikelilingi oleh mereka yang merokok. Banyak responden yang mendeskripsikan telah “tumbuh besar dengan (me)rokok” akibat begitu besarnya pengaruh lingkungan perokok.
  4. Isolasi dari norma-norma sosial yang lebih luas. Geografi dan infrastuktur mereka yang miskin/buruk membuat mereka secara fisik dan sosial terputus dari daerah suburb yang lebih afluen (makmur) dan dari area urban yang lebih luas.  Dengan kondisi ini, mereka tidak merasa sebagai bagian langsung dari masyarakat keseluruhan. Karena itu, berkaitan dengan larangan merokok, mereka kadang malah acuh tak acuh menanggapinya.
  5. Merokok mendorong partisipasi dan kepemilikan sosial. Mereka tahu mendapat label atau stigma menjadi “eksklusif” di antara kehidupan masyarakat umum.  Dengan demikian, integrasi sosial dalam tingkat lokal cenderung menguat, dan karena itu seakan-akan mereka mengadakan gerakan difensif terhadap pengaruh luar. Dalam hal ini tampaklah betapa kentalnya partisipasi dan kepemilikan sosial terhadap lingkungan sendiri.
  6. Terbatasnya pengalaman trigger dan lingkungan yang membantu penghentian (merokok).  Lingkungan miskin tidak hanya kaya dengan faktor-faktor yang mendorong perilaku merookok, melainkan juga miskin dengan faktor-faktor yang mendorong penghentiannya.
  7. Kendala-kendala kumulatif untuk penghentian (merokok). Ditemukan bahwa para perokok di lingkungan miskin kurang mampu mengatasi kendala-kendala yang diharapkan dapat membantu menghentikan kebiasaan merokok, baik dalam sikap maupun praktik.

Kesimpulan

            Sebagai simpulan, perlu dikemukakan bahwa studi ini mengandung relevansi bagai perdebatan kebijakan yang luas mengenai (perilaku) merokok dan kerugiannya. Menurut penelitian ini, berhenti merokok, bagi banyak orang, bukanlah suatu prioritas tinggi—sebuah argumen yang didukung data dari penelitian ini yang menunjukkan bahwa mayoritas perokok dalam masyarakat miskin di Glasgow berada dalam tahap “pra-kontemplasi”.  Hubungan kuat antara merokok dan ‘kemiskinan’/kerugian masyarakat bermakna bahwa respons-respons (tindakan) intervensi memerlukan tidak hanya untuk menghilangkan tekanan kemiskinan/ kerugian individual, tetapi juga untuk men-tackle (menjegal) kemiskinan/kerugian ini pada tingkat lingkungan, lewat reinvestasi infrastruktur layanan fisik dan sosial di area-area tersebut. Lebih lanjut, studi ini memberikan dukungan kualitatif bagi pendekatan-pendekatan untuk kampanye penghentian merokok yang menfokuskan pada disadvantage individual dan struktural (tingkat-area).
            Sebagai tambahan, studi ini juga menggarisbawahi aspek-aspek positif  kehidupan di lingkungan-lingkungan miskin, seperti perasasan-perasaan: identitas lokal yang kuat, keuletan/ketabahan, dan saling-dukung antar anggota. Ironisnya,  ciri-ciri positif ini tampaknya malah mendorong (perilaku) merokok sebanyak yang diakibatkan aspek-aspek negatif kehidupan mereka. Tantangan bagi promosi kesehatan, barangkali, tidak hanya men-tackle aspek-aspek negatif itu, melainkan juga mendorong dan memanfaatkan ciri-ciri positif dari masyarakat miskin ini dalam upaya mendukung kebijakan dan intervensi penghentian merokok dan—dalam upaya yang lebih luas—untuk regenerasi masyarakat.

Komentar Singkat

Keunggulan

Keunggulan pertama dari artikel penelitian ini adalah rasionalisasi (latar belakang masalah) yang kuat dan kompresensif. Peneliti mampu menyajikan kajian-kajian terdahulu yang relevan mengungkapkan hasil empiris tentang dampak-dampak psikologis dari lingkungan miskin. Kemudian, mereka menemukan celah bidikan ketika studi kuantitatif sebelumnya tidak mampu menjelaskan secara memuaskan berkaitan dengan hubungan unik antara lingkungan miskin dan perilaku merokok.
Yang kedua, para peneliti membuktikan bahwa penelitian kualitatif juga potensial untuk menjelaskan fenomena sosial tingkat individu, yang berguna untuk memprediksikan generalisasi pada tingkat makro (masyarakat).  Dengan kata lain, mereka hendak menunjukkan bahwa penelitian kualitatif bisa berfungsi sebagai pelengkap bagi penelitian kuantitatif untuk menjelaskan fenomena sosial. Barangkali, mereka malah mengimplikasikan digabungkannya kedua penelitian tersebut.  Temuan penelitian ini tentulah sangat signifikan bagi upaya penanganan perilaku merokok dan kemiskinan dalam masyarakat.

Kelemahan
Sayang sekali, penelitian ini ada kelemahannya. Pertama, masalah penelitian tidak diformulasikan secara eksplisit. Samar-samar bisa ditangkap adanya tujuan penelitian yang hendak dilakukan. Hal ini tentu saja cukup mengganggu pemahaman pembaca dalam mengidentifikasi permasalahan yang ditetapkan.
Di samping masalah yang tidak diformulasikan secara eksplisit, penelitian ini juga tidak menggunakan ancangan teori yang jelas. Dalam penelitian ini Stead dkk. tidaklah menggunakan teori-teori besar (grand theory) atau middle-range theory.  Teori miniatur pun tidak dapat ditangkap dengan transparan Mereka hanya menggunakan konsep-konsep yang diturunkan dari penelitian-penelitian sebelumnya dalam konteks psikologi, lalu dikaitkan dengan penelitian (kuantitatif) tentang hubungan antara lingkungan dan perilaku merokok.

Studi Lanjutan

Menurut hemat saya, penelitian serupa perlu diterapkan di lokasi penelitian berbeda dan bahkan dibandingkan bagaimana perilaku merokok antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin di kota-kota besar selain Glasgow. Ada kemungkinan bahwa akan ditemukan hasil-hasil kajian yang lebih menarik lagi.
Bahkan penelitian tersebut, saya pikir, cukup laik bila diterapkan pada masyarakat kota dan pinggiran di Indonesia. Jakarta dan Surabaya, misalnya, agaknya menantang untuk dijadikan lokasi penelitian. Satu kenyataan mendasar yang kita pahami, adalah bahwa masyarakat Indonesia ini pencinta tembakau, tak peduli mereka kaya atau miskin, entah tinggal di rumah mewah maupun di gubuk-gubuk bibir kali.
***

Tidak ada komentar:

Promo Email

Dear friend, I want to introduce you to a website that I recently found to make big earn online. It works all around the clock, and for not just days or weeks, but for months and months, making you big of profit. $0.00 invest - earn hunders daily. It's real and easy way to make money in online. Open the link below to learn more: http://www.bux4ad.com/aft/b1d99e16/2a7dab89.html See you, Much. Khoiri