Abstract
Multiculturalism should be understood wisely to minimize chauvinistic ethnocentrism. We should always live the spirit of multiculturalism to establish some mutual understanding between interethnic groups in our cultural plurality. If such a mutual understanding is developed dynamically, it can eventually empower our national identity—the one which holds a principle “Diversity in unity, and unity in diversity.” With the strong national identity, we gradually position ourselves to initiate and establish independence, not only in economy, politics, culture, but also in many other aspects.
Prolog: Menolak Dikotomi
Berkaitan dengan gagasan multikulturalisme, Brian Fay (2002) dalam tesisnya yang kesembilan mengedepankan pertanyaan, apakah kita menghidupkan cerita atau hanya menceritakannya. Paparan Fay mendekatinya dengan mengkritisi ‘realisme naratif’ dan ‘konstruktivisme naratif’ yang dipandangnya saling berhadapan secara dikotomis. Karena itu, Fay mengajukan jalan tengahnya, yakni ‘narativisme’.
Bagi Fay, kebudayaan bukanlah wujud yang statis, melainkan suatu proses yang terus berlangsung; dan agen hanyalah agen bila diposisikan dalam suatu proses semacam itu. Meski demikian, kebudayaan sebagian terkonstruksi dari berbagai cerita yang dengannya para anggota merajut atau memintal jaringan-jaringan yang signifikan—yang bisa memahami masa lalu dan menginformasikan pilihan-pilihan masa depan. Dalam konteks ini, agen adalah binatang-binatang penutur cerita sebagian karena hanya dengan memasukkan tindakan-tindakan mereka ke dalam suatu konteks naratif, tindakan-tindakan itu dapat terjadi. Untuk memahami multikulturalisme, karena itu, penting memahami bagaimana sifat-sifat cerita yang kita ceritakan tentang kehidupan kita sendiri atau kehidupan orang lain.
Sub-tesis Fay pertama mengisyaratkan bahwa kita semua adalah agen atau aktor dalam sebuah alur cerita yang berkembang: ‘realisme naratif’. Realisme naratif mengklaim bahwa struktur-struktur naratif ada dalam dunia manusia itu sendiri dan tidak hanya dalam cerita-cerita yang diceritakan orang-orang tentang dunia. Kehidupan manusia sudah terbentuk ke dalam cerita-cerita sebelum para ahli sejarah atau penulis biografi (yang menghidupkan kehidupan ini) berusaha menceritakan cerita-cerita tersebut. Dalam kalimat lain, berbagai cerita yang benar ditemukan, bukan disusun (Fay 2002: 261).
Dalam kondisi ini, tugas ahli sejarah atau penulis biografi adalah menceritakan cerita-cerita yang permulaannya, pertengahannya, dan akhirnya mencerminkan permulaan, pertengahan, dan ahir berbagai peristiwa sebenarnya yang dinarasikan. Struktur naratif telah ada dalam materinya, dan sejarah dan biografi yang baik mampu mereproduksi struktur yang telah ada sebelumnya. Ada titik-titik awal, akhir, dan klimaks dalam berbagai urusan manusia (Fay 2002:265). Bagi kaum realis, identitas suatu tindakan tertentu berasal dari niat yang diungkapkannya, dan niat itu sendiri merupakan setting sejarah di mana agen memposisikan niat itu ke dalamnya (Fay 2002:266). Jadi, niat, tindakan, dan pengaruh diperhitungkan.
Meski demikian, sub-tesis kedua, ‘konstruktivisme naratif’ berpandangan bahwa ‘realisme naratif’ menghilangkan peran akibat kausal dalam berbagai cerita suatu kehidupan; dan realisme naratif mengabaikan pentingnya signifikansi. (Signifikasi dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan kapasitas untuk memajukan pola naratif yang muncul.) Konstruktivisme naratif mengklaim bahwa para ahli sejarah memposisikan struktur-struktur sejarah pada arus peristiwa yang tak berbentuk. Lebih lanjut, naratif adalah produk seni sebagaimana usaha para ahli sejarah dan penulis biografi untuk memahami kehidupan, bukan produk dalam kehidupan itu sendiri. Kehidupan hanya terdiri atas rangkaian peristiwa yang menuntut penulis biografi selanjutnya untuk memposisikan pada rangkaian ini sebuah struktur naratif untuk menganggapnya dapat dimengerti. Bagi konstruktivisme naratif, ‘naratif’ harus disusun, bukan ditemukan, merupakan kreasi setelah adanya fakta ketika seseorang dapat—dari perspektifnya sendiri—memposisikan peran-peran tertentu dalam berbagai cerita tertentu ke berbagai macam peristiwa dan hubungan kehidupan manusia (Fay 2002: 279).
Dengan bersikeras pada karakter agen-agen naratif yang disusun secara murni untuk menceritakan kepada diri mereka sendiri dan orang lain, konstruktivisme naratif bersifat satu sisi (Fay 2002: 284). Ia gagal berbuat adil terhadap fakta bahwa berbagai aktivitas para agen yang sedang berlangsung baik secara individu maupun kolektif telah mewujudkan naratif. Jadi, konstruktivisme naratif gagal menjelaskan fakta bahwa agen-agen intensional menggunakan bentuk-bentuk naratif untuk menunjukkan inteligibilitas (kondisi dapat dimengerti) atas berbagai tindakan mereka. Ia gagal melihat cara-cara bahwa kehidupan dan cerita adalah penggalannya.
Menurut Fay, sub-tesis ketiga, yakni ‘narativisme’, melihat bahwa pandangan yang benar tentang hubungan naratif dan kehidupan perlu menangkap apa yang benar tentang realisme (bahwa bentuk naratif tidak bersifat kebetulan, juga bukan hanya alat penggambaran saja; dan bahwa identitas kita sebagai agen mewujudkan naratif) tanpa memasukkan apa yang salah tentang realisme (bahwa kehidupan masing-masing orang hanyalah satu naratif tunggal yang dilakukan di mana agen merupakan pengarang parsialnya dan penulis biografi hanyalah reporter belaka.) Realisme harus berbuat adil terhadap pandangan-pandangan konstruktivisme naratif (bahwa karangan naratif setiap kehidupan dapat terus menerus direvisi secara tak terbatas) tanpa membuat kesalahan-kesalahannya (bahwa keterangan naratif dan bentuk naratif hanyalah penciptaan yang dikenakan pada materi yang tidak bersifat naratif). ‘Narativisme’ berusaha untuk menjadi suatu pandangan semacam ini, suatu pandangan yang mengarahkan jalan tengah antara ‘realisme naratif’ dan ‘konstruktivisme naratif’, dengan harapan bisa memahami apa yang berguna dalam keduanya (Fay 2002: 285).
Dengan demikian, kembali ke tesis kesembilan Fay, apakah cerita dihidupkan atau diceritakan? Jawabannya: menyerang dikotomi palsu yang diduganya: baik dihidupkan maupun diceritakan. Cerita dihidupkan karena aktivitas manusia secara melekat bersifat naratif dalam karakter dan bentuknya: dalam bertindak kita “merajut masa lalu dan masa depan bersama-sama.” Tetapi cerita juga diceritakan dalam pengertian bahwa dengan pandangan sekilas kita dapat mengapresiasikan pola-pola naratif yang tidak dapat kita apresiasikan pada saat bertindak. Kita menceritakan cerita dalam bertindak dan kita terus menceritakan cerita setelahnya mengenai tindakan-tindakan yang telah kita lakukan. Untuk menciptakan dua kata guna mengekspresikan pandangan yang rumit ini, mungkin kita dapat mengatakan bahwa kehidupan kita diceritakan dan cerita-cerita kita dihidupkan.
Bertolak dari paparan di atas, penulis akan mendiskusikan bagaimana kita, sebagai bangsa Indonesia, yang terdiri atas pluralitas aneka budaya (etnik), perlu memahami, membangun dan menghidupkan spirit multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diskusi tentang spirit multikulturalisme, dengan kesaling-pahaman (mutual understanding) dalam pluralitas budaya, akan diarahkan untuk menimbang (kembali) wacana tentang identitas nasional kita. Selanjutnya diskusi terbatas ini akan diarahkan untuk menemukan signifikansi identitas nasional dalam rangka upaya menggugah kesadaran kita sebagai bangsa guna menegakkan kesatuan dan kemandirian bangsa.
Spirit Multikulturalisme: Mutual Understanding
Multikulturalisme hakikatnya muncul sebagai kritik terhadap modernisme yang gagal menciptakan kehidupan global yang berkeadilan, manusiawi, dan berkelanjutan. Multikulturalisme merupakan pembedaan terhadap masyarakat sipil (madani) sebagai kritik terhadap negara yang cenderung tidak memihak publik. Kemajuan teknologi transportasi dan informasi menumbuhkan pola hubungan baru antar manusia dengan keragaman budayanya. Ada semacam kesadaran untuk menceritakan dan menghidupkan kehidupan berbudaya manusia akibat situasi yang kurang menguntungkan.
Kebangkitan kesadaran inilah yang memungkinkan manusia mengubah pandangan homogenisasi menjadi heterogenisasi yang berkeadilan—yang diistilahkan multikulturalisme. Menurut Ardhika (2006), multikulturalisme mengandung prinsip-prinsip berikut ini:
1. Otherness (liyan/lain-nya) lebih penting dari keseragaman atau kesamaan.
2. Seseorang atau sesuatu akan penting apabila dapat dibedakan dari orang lain.
3. Kesetaraan dan keadilan yang didasarkan atas uniformitas dan perbedaan.
4. Demokrasi sebagai mekanisme untuk mempertahankan kebebasan berekspresi sehingga tidak mengurangi hak individu atau kelompok untuk menunjukkan kekhususannya.
Mencermati prinsip-prinsip tersebut, penulis melihat bahwa keseragaman atau kesamaan mengindikasikan adanya kondisi statis, dan cenderung melanggengkan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Unjuk kekuatan hegemonik muncul bukan hanya dalam tataran pengetahuan dan kancah intelektual, melainkan juga dalam tataran praksis. Sebab itu, individu atau kelompok perlu dipandang penting sesuai dengan kapasistas perannya dalam kehidupan bersama.
Memang dalam hidup kita memiliki keseragaman dalam nilai-nilai tertentu yang dijunjung bersama (universalitas)—yang bukan untuk kepentingan hegemoni satu kelompok atas kelompok lain, namun di dalam konteks inilah kita juga memiliki perbedaan-perbedaan yang mencirikhasi kita (partikularitas). Dalam rentang dua kutub inilah berdiri kepentingan menumbuhkan kearifan yang terdidik; karena pemahaman yang adil tentang universalitas dan partikularitas inilah yang memungkinkan kita memaknai kesetaraan dan keadilan dengan benar. Jika pemahaman semacam ini berkembang, tak pelak jiwa demokratis bakal mewarnai hubungan sosial-budaya kita secara luas.
Dalam aras demikian, kita memang tak menutup mata adanya kesadaran kolektif berbagai budaya etnik di berbagai pelosok negeri. Gerakan ‘etnosentrisme’ tampak, misalnya, dalam revitalisasi budaya Jawa. Melihat gejala dekulturasi dalam masyarakat Jawa, terutama generasi muda, para pakar dan penjunjung budaya Jawa mengkampanyekan penghidupan kembali budaya Jawa (Koiri 2005). Keterpurukan budaya Sunda juga telah dibangkitkan kembali dengan memproklamirkan semacam “renaisans budaya Sunda” (Alwasilah 2006). Demikian pula di Bali. Belakangan ini, tokoh-tokoh budaya Bali memproklamirkan dan mensosialisasikan Ajeg Bali. Lepas apakah ‘gerakan kembali ke kandang budaya’ ini sejalan dengan prinsip transformasi sosial-budaya, kenyataan itu benar-benar menyedot perhatian kita semua.
Revitalisasi budaya Jawa, renaisans budaya Sunda, dan Ajeg Bali hanya contoh kecil yang menggambarkan bahwa etnosentrisme itu ada dan dikonstruksi (kembali) secara internal oleh anggota komunitas budaya pendukungnya. Pada satu sisi kita dapat melihat gerakan tersebut sebagai perwujudan partikularitas budaya; namun pada sisi lain tersembunyi potensi konflik antar-etnik karena masing-masing etnik menganggap bahwa dirinya yang lebih baik, lebih adiluhung, lebih bermartabat, dan sebagainya. Di sinilah multikulturalisme penting dipahami secara komprehensif dan berkelanjutan.
Sejalan dengan F Budi Hardiman (dalam Kymlicka 2003: xvii), penulis melihat bahwa di Indonesia “masyarakat kita membutuhkan sebuah politik [budaya] yang dapat mengatasi perspektif etnosentrisme karena belum berkembangnya sistem hak-hak, etos demokrasi, proseduralisme legal dan netralisme politis dalam tradisi kehidupan bernegara.” Mengapa demikian? Jika tidak hati-hati, “politik multikulturalisme [yang ditunggangi perspektif etnosentrisme, pen.] mudah berkembang menjadi politik aliran yang dengan penuh kebencian meradikalkan dan mendramatisasikan segala perbedaan kecil, sehingga orang kehilangan perspektif keseluruhan.” Bahkan, secara ekstrem, etnosentrisme dapat berubah menjadi “politik sektarianisme dan fundamentalisme etnis atau religius yang memutlakkan klaimnya dengan mengabaikan eksistensi kelompok-kelompok lain di dalam masyarakat multikultural.”
Penelitian Liliweri (1994) terhadap masyarakat multietnik di Kupang mungkin dapat melukiskan kasus tersebut. Tidak adanya dominasi suatu budaya di Kupang menggambarkan bahwa etnisitas setiap etnik sangat kuat, sehingga semakin sulit pembentukan kota Kupang sebagai melting pot, atau suatu setting sosial yang mampu melahirkan suatu bentuk atau ciri budaya baru. Karena hal itu tidak terjadi maka lahir suatu relativisme budaya di mana nilai-nilai yang positif dari suatu etnik bisa diterima oleh kalangan etnik lain dan sebaliknya. Sulitnya pembentukan melting pot cenderung meningkatkan etnisitas setiap etnik yang bisa memecah-belah kesatuan dan persatuan antaretnik. Tanpa adanya suatu tantangan dari luar terhadap semua etnik maka etnisitas setiap etnik tetap bertahan pada masalah yang dihadapinya. Tetapi manakala terdapat tantangan berupa ancaman baik fisik maupun nonfisik sebagai perwujudan perluasan batas-batas etnik atau budaya material dan immaterial dari Orang Luar NTT maka Orang NTT akan bersatu padu.
Hal tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa masih terbentang jalan panjang untuk mengakomodasikan kepentingan-kepentingan daerah agar sama-sama terpayungi oleh kepentingan nasional. Mengapa gagasan semacam ini penting dicamkan? Karena etnosentrisme partikularistik daerah-daerah berkemungkinan berubah menjadi bahaya disintegrasi sosial-budaya bangsa manakala tidak dibarengi dengan pemahaman akan universalitas—berperspektif keseluruhan. Ada kecenderungan kelompok etnik satu lebih memperjuangkan kepentingan-kepentingannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan-kepentingan kelompok etnik yang lain. Benturan berbagai kepentingan inilah yang sebenarnya merupakan ekses etnosentrisme partikularistik sempit dan chauvinistik.
Tentu saja bukan hal mengkawatirkan ini yang kita harapkan. Sebaliknya, kita harus membangun dan mendinamiskan spirit multikulturalisme yang anti-etnosentrisme chauvinistik (yang menganggap diri serba paling). Etnosentrisme chauvinistik harus dicairkan sedemikian rupa, tidak hanya dengan dialektika sejarah dan kajian intelektual, melainkan dengan mensosialisasikan penyadaran terhadap berbagai anggota kelompok etnik yang tersebar luas di dalam kehidupan berbangsa ini.
Kehidupan berbangsa dapat diibaratkan sebagai sebuah bangunan rumah, yang disokong oleh pondasi, tembok, tiang, kusen, atap, dan sebagainya. Komponen-komponen ini beragam dan berbeda-beda, baik wujud maupun fungsinya; namun, tujuannya satu, yakni bahwa masing-masing menjadi salah satu bagian dari keseluruhan dan bersama-sama membentuk satu kesatuan bangunan rumah tersebut. Jika, misalnya, pondasi dibuat paling kuat, sementara atapnya dibiarkan bocor, maka cepat atawa lambat rumah itu pasti akan roboh. Dengan kalimat lain, masing-masing komponen rumah itu harus dimaknai memiliki keunggulan dan keunikan fungsional sendiri-sendiri.
Penulis yakin, spirit multikulturalisme, ditunjang politik multikulturalisme yang berkeadaban, dapat mendukung integritas dan stabilitas dalam kehidupan demokrasi dan pluralitas budaya. Spirit multikulturalisme, yang dilandasi kearifan berbudaya, merangsang bertumbuh-kembangnya kesaling-pahaman (mutual understanding) kita dalam pluralitas budaya. Dengan demikian, kita akan menyadari secara mendalam bahwa dalam kehidupan bersama kita harus mengakui “keberagaman dalam kesatuan, kesatuan dalam keberagaman,.” Ini mengimplikasikan dua hal, yakni pentingnya pengakuan bersama dan kebenaran sebagai kebenaran relatif yang dipahami secara bersama-sama. Spirit multikulturalisme sedemikian mengandung sifat pencerahan, dan tampaknya inilah yang sangat dibutuhkan untuk membangun rasa kebangsaan dan identitas nasional sebagai perwujudan universalitas dalam pluralitas budaya.
Gagasan demikian urgen untuk terus diwacanakan dan perlu dikembangkan dalam tataran praktik. Spirit multikulturalisme tidak cukup hanya dengan dipahami untuk diri sendiri, melainkan harus dibagi dan disebarluaskan kepada anggota bangsa Indonesia secara menyeluruh. Berbagai forum dan wahana dapat dimaksimalkan fungsinya untuk mensosialisasikan wacana semacam ini—terutama lewat jalur pendidikan formal, informal, dan nonformal kita. Aksentuasi juga perlu ditambahkan pada bagaimana wacana tersebut menjadi pengalaman nyata sehari-hari.
Multikulturalisme dan Identitas Nasional
Telah disinggung di atas bahwa kebudayaan tidaklah statis, melainkan mengalami suatu proses yang terus berlangsung; dan agen akan menekan maknanya bila diposisikan dalam suatu proses semacam itu. Kebudayaan sebagian terkonstruksi dari berbagai cerita yang dengannya kita memintal jaringan-jaringan yang signifikan—yang bisa memahami masa lalu dan menggambarkan pilihan-pilihan masa depan. Kita juga mencatat, bahwa kehidupan kita diceritakan dan cerita-cerita kita dihidupkan. Sekarang, bagaimana spirit multikulturalisme (dengan mutual understanding) kiranya perlu diarahkan untuk menimbang kembali identitas nasional kita?
Identitas nasional, sebagai fenomena budaya, menyiratkan suatu ketidakstabilan, atau kedinamisan. Terlebih jika dilihat dalam konteks globalisasi, identitas nasional berada dalam posisi berubah dan terus berubah. Demikian juga ketika identitas nasional diposisikan dalam konteks pluralitas budaya (etnik)—identitas nasional pun mengalami dinamika dalam wujud dan pemaknaannya.
Situasi ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam wacana global membawa kita pada pemahaman, bahwa kebudayaan dan identitas senantiasa merupakan pertemuan dan percampuran dari berbagai kebudayaan dan identitas yang berbeda-beda melalui proses hibridasi, yang berakibat kabur dan labilnya batas-batas kebudayaan yang mapan (Sayuti 2005:3). Dengan demikian, pada hakikatnya bangsa Indonesia secara keseluruhan (sebagai suatu kesatuan) juga perlu mengalami suatu ‘konstruksi identitas.’ Identitas nasional bukan entitas final yang dapat berlaku untuk segala ruang dan waktu, melainkan entitas yang selalu mengalami rekonstruksi dan transformasi pada taraf yang disepakati bersama.
Memang, dalam dinamika identitas budaya etnik di satu sisi dan kebutuhan mengidentifikasi diri dalam percaturan budaya global, masyarakat (etnik) cenderung melakukan redifinisi diri sendiri dan budayanya. Soedjatmoko dalam Alwasilah (2006:179) juga mengakui, bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih dalam proses mewujudkan corak-coraknya sendiri—identitasnya sendiri. Maksudnya, hingga kini belum jelas sosok kebudayaan—sosok identitas—yang mengindonesia secara utuh dan kental. Kini hanya ada corak-corak, yakni masing-masing kebudayaan daerah yang terus berubah karena langsung berinteraksi dengan kebudayaan asing; seolah melampaui garis budaya nasional. Dalam kalimat lain, identitas nasional, meski sudah cukup lama diwacanakan, belum memenuhi harapan seluruh elemen bangsa yang demikian plural.
Meski demikian, sebagai bangsa yang besar, dengan wilayah geografis yang demikian luas, kita harus merasa tertantang untuk senantiasa menghidupkan spirit multikulturalisme untuk melakukan internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai budaya sehingga melahirkan kesepakatan nilai universalitas keindonesiaan, yang bernama identitas nasional. Dialektika kebudayaan tampaknya masih harus dipacu dan diberdayakan agar sosok identitas nasional segera menemukan sosok atau bentuknya yang utuh dan kental.
Sejalan dengan pemikiran bahwa budaya nasional merupakan puncak-puncak budaya daerah (etnik)—tanpa mengabaikan pro-kontramya (karena masih berkembang dan belum sosoknya belum final dan definitive)—, identitas nasional agaknya perlu dimaknasi sebagai atribut-atribut identitas budaya daerah (etnik) yang dianggap representatif dan diterima secara sukarela oleh seluruh kelompok etnik di negeri bangsa kita. Dalam kalimat lain, identitas nasional merupakan partikularitas-partikularitas identitas etnik yang diterima bersama sebagai nilai universalitas dalam kehidupan yang plural. Identitas nasional merupakan perwujudan kesepahaman kita tentang prinsip “keberagaman dalam kesatuan, dan kesatuan dalam keberagaman” untuk kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan spirit multikulturalisme, persilangan dialektik antara yang “lain” dan dorongan untuk mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang independen dalam suatu proses transformasi berkesinambungan—baik reaktualisasi, reinterpretasi, revitalisasi, atau entah apa namanya—menjadi imperatif untuk dilaksanakan. Tujuannya, menyiapkan sebuah habitat agar figur-figur yang terlibat di dalamnya mampu menghayati nilai (etnik) lokal, dan sekaligus mampu membuka ruang dialektika dengan yang lain dalam dirinya: untuk menjadi lokal sekaligus translokal dan global. Nilai lokal dan translokal yang diberi bingkai kesadaran multikultural hendaknya tetap menjadi sesuatu yang diutamakan (Sayuti 2005:5) dalam kaitannya dengan konstruksi identitas nasional. Dalam istilah lain, identitas nasional menuntut adanya pengembangan wacana ‘kearifan dialektika’ yang dinamis dan berkelanjutan (Kasiyan 2002:9).
Identitas nasional yang dinamis dan berkelanjutan sangat penting tidak hanya dalam rangka memayungi dinamika nilai-nilai identitas (etnik) lokal dan translokal, melainkan juga dalam rangka mengantisipasi dan menjawab tantangan budaya global. Identitas nasional akan mampu menjadi perekat kebersamaan dan kesatuan seluruh individu bangsa Indonesia (Adi & Koiri 2003). Dengan memiliki identitas nasional yang jelas dan mengikat kepentingan berbagai elemen bangsa, kita akan terpanggil untuk menunjukkan sikap-perilaku budaya yang mencerminkan dan menonjolkan nilai-nilai keindonesian. Disamping itu, kekuatan identitas nasional menyebabkan kita memiliki kebanggaan berbangsa, kemampuan bertahan dan tetap hidup (survive), dan kepatutan untuk diperhatikan oleh bangsa lain.
Bagaimana spirit multikultarisme memperkokoh identitas nasional, secara nyata, dapat kita pelajari dari pengalaman bangsa Amerika. Memang setting-nya berbeda dengan kita, namun perjalanan sejarah panjang mereka menunjukkan bahwa negara bangsa yang merupakan melting pot yang penuh pluralitas etnik tersebut—setelah mengalami berbagai beragam dialektika—akhirnya mampu memiliki identitas nasional yang patut dibanggakan dan ‘sangat hegemonik.’. Nilai demokrasi, misalnya, dengan segala kelebihan-kekurangannya, merupakan atribut atau ciri identitas yang tak lepas dari bangsa Amerika. Mereka bahkan mengklaim sebagai gudangnya demokrasi (arsenal of democracy). Singkat kata, dengan identitas nasional yang kokoh, Amerika akhirnya tampil sebagai negara-bangsa superpower dengan kekuatan paling dominan dalam percaturan global.
Kalau bangsa Amerika yang terkonstruksi dari sukubangsa Anglo-saxon, Indian, hispanik, Asia, dan beragam ras “migran” saja—dengan jarak budaya (cultural distance) jauh antara satu dan lainnya—mampu membangun indentitas yang kokoh, maka bangsa Indonesia seharusnya lebih mampu untuk itu. Mengapa demikian? Memang benar bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam sukubangsa, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, namun kita memiliki modal budaya berupa jarak budaya yang berdekatan dan bahkan persamaan/kesamaan. Kedekatan jarak budaya ini merupakan potensi besar untuk saling melengkapi dan mengokohkan diri secara bersama, guna menegakkan identitas nasional yang jelas dan berterima (acceptable) bagi semua sukubangsa.
Tentu saja, kita juga perlu memahami, bahwa identitas nasional Amerika dikembangkan dalam rentang waktu yang panjang dan ditebus dengan berbagai pengalaman historis pahit. Era Depresi, Perang Sipil, dan politik ras, antara lain, telah mematangkan identitas bersama di bawah semboyan “E pluribus unum”-nya. Meskipun demikian, dalam perspektif Fay di atas, bangsa Amerika telah berhasil menceritakan sejarah keamerikaannya dan sekaligus menghidupkan cerita atau sejarah bangsanya sehingga pluralitas budaya (negara bagian) kemudian menemukan “puncak-puncak”-nya pada kebudayaan nasional. Dari aras inilah seyogianya kita mengambil pelajaran positif tentang makna sebuah identitas nasional.
Meretas Kemandirian Bangsa
Berdasarkan pemikiran atas pentingnya spirit multikulturalisme untuk memantapkan identitas nasional di atas, tibalah saatnya penulis mendiskusikan signifikansi identitas nasional dalam rangka meretas kemandirian bangsa. Gagasan dasarnya, kekuatan identitas nasional memberikan pengaruh besar—meski tidak harus selalu menentukan—motivasi untuk membangun kemandirian bangsa, dalam artian melepaskan ketergantungan pada bangsa-bangsa maju dan berdiri secara mandiri dan meyakinkan dalam kehidupan berbangsa (dan bernegara).
Sementara ini, kita harus mengakui, bahwa jumlah penduduk Indonesia menduduki peringkat dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat, namun kita belum memiliki identitas nasional yang kuat, belum memiliki peradaban yang berpengaruh. Kita belum diperhitungkan sebagai bangsa yang penting dalam percaturan dunia—bahkan hanya dianggap sebagai bangsa “Dunia Ketiga” yang lemah dan tidak memiliki daya tawar yang layak. Kebesaran jumlah penduduk masih identik dengan berbagai kelemahan. Bahkan, menurut survei ASEAN Foundation terhadap 2.170 mahasiswa berusia 17-25 tahun baru-baru ini, Indonesia kurang terkenal di kalangan muda dan terpelajar—kalah dibandingkan dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia, sebagai salah satu negara pendiri ASEAN, terbesar, terluas, dan terbanyak penduduknya, secara ironis hanya dianggap sebagai negeri yang kecil (Jawa Pos, 17 Januari 2008).
Kekurang-populeran Indonesia, bahkan di kawasan ASEAN sekalipun, mengimplikasikan betapa lemahnya kedudukan Indonesia dalam percaturan regional, terlebih lagi dalam percaturan internasional, dan karena itu daya tawarnya tidak laik dianggap kuat. Dalam kalimat lain, Indonesia mungkin lebih patut diibaratkan sebagai manusia tambun yang tidak lincah bergerak, dan yang identik dengan inferioritas. Hal demikian menyebabkan bangsa-bangsa maju yang superior dapat dengan leluasa memandang rendah kita, dan mengklaim dominasi atau hegemoninya—bahkan melancarkan imperialisme baru baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Dengan pintu globalisasi, negara-negara maju melemahkan kita habis-habisan. Lewat globalisasi, mereka telah melancarkan gerakan ‘hegemoni’, yakni menggiring kita agar menilai dan memandang problematika sosial [ekonomi] dan budaya dalam kerangka yang diinginkan, dengan suka-rela dan tanpa paksaan (Gramsci dalam Patria & Arief, 2003: 120-121). Negara-negara maju tersebut menciptakan sejumlah mekanisme, sistem maupun simbol, dan dengannya berusaha untuk menghegemoni dan mengangkangi opini masyarakat internasional; dan bahkan berusaha mengarahkan masyarakat internasional untuk berpikir dan merasa menurut apa yang dikehendaki untuk dipikirkan dan dirasakan.
Bahkan, kalau kita memakai bahasa Dirks et.al (1994: 596), negara-negara maju tidak hanya menghegemoni kita pada tingkat ideologi, manipulasi atau indoktrinasi, tetapi juga meliputi hampir keseluruhan praktik dan harapan atas kehidupan secara utuh, termasuk indera dan energi kita, dan bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri dan dunia kita. Alangkah dahsyat dan halusnya globalisasi dikampanyekan ke sekeliling kita. Dan alangkah tidak berdayanya kita menghadapinya.
Dari perspektif ekonomi politik, aktor-aktor utama globalisasi itu—yakni TNCs, WTO, dan IMF/World Bank—menetapkan aturan-aturan tentang investasi, hak milik intelektual dan kebijakan internasional, serta mendesak atau mempengaruhi negara-negara untuk menyesuaikan kebijakan nasionalnya bagi kelancaran globalisasi atau pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Dalam hal ini mereka telah memainkan ‘ekonomi politik internasional’ yang canggih, yakni mengakses peran kekuasaan [negara-negara Dunia Ketiga] untuk mempengaruhi dan mewarnai pengambilan keputusan ekonomi (Mas’oed, 1994; Staniland, 2003)—tentu saja agar sejalan dengan kepentingan globalisasi.
Mekanisme pengintegrasian itu ditempuh dengan mengubah berbagai kebijakan yang menghalangi ketiga aktor globalisasi tersebut (terutama TNCs) untuk melancarkan ekspansi produksi, pasar, dan investasi. Permainannya tingkat tinggi; target pemainnya adalah elit-elit politik dan ekonomi yang memiliki kepentingan tersembunyi. Retorika politik yang mengatasnamakan rakyat hanyalah isapan jempol—dan merupakan akumulasi ironi dan paradoks yang sulit dinalar. Mereka dalam posisi dominan dan menentukan. Langkah-langkah reformasi yang mereka dukung dimaksudkan untuk melapangkan jalan menuju tercapainya target penguasaan ekonomi global. Dengan pasal-pasal IMF dan World Bank, mereka bisa menekan negara-negara peminjam, termasuk Indonesia tentunya, untuk mematuhi kehendak dan ambisi tersembunyi mereka.
Begitulah, negara-negara maju, dengan berlindung di bawah panji Globalisasi, telah membuat kita benar-benar bergantung dan tidak berdaya. Dalam soal hutang saja, Siswono Yudo Husodo (2006) memaparkan, bahwa sejak awal berdirinya negeri ini hingga tahun 2002 cicilan pokok dan bunga utang Luar Negeri Pemerintah RI yang telah dibayar mencapai USD 127 miliar, dan utang Pemerintah ke luar negeri pada waktu ini masih tercatat USD 77 miliar. Itu pun belum ada keputusan politik kapan berhenti berhutang. Bahkan, hutang baru yang dibuat Pemerintah ke luar negeri sejak lama selalu lebih besar dari pembayaran angsuran pokok utang lama. Dalam parodi Husodo, “Negeri kita telah berada pada posisi gali lubang tutup lubang dengan lubang yang semakin dalam.”
Husodo telah membuka mata kita, bahwa bangsa kita dalam kontrol Pemerintah memiliki kemandirian yang rendah, dan justru memiliki ketergantungan yang (makin) meningkat. Manifestasinya, misalnya, terlihat dari orientasi solusi yang diambil tatkala menghadapi peningkatan kebutuhan yang sebenarnya bisa kita produksi sendiri. Kekurangan beras, solusinya impor beras, hingga kita pernah menjadi negara importir beras terbesar dunia pada 1998-2001. Apa yang digembar-gemborkan sebagai swasembada pangan, misalnya, hanyalah isapan jempol belaka. Aneh, sebagai negeri agraris, kita masih berstatus pengimpor beras. Saat kekurangan gula, solusinya impor, hingga kini kita mengimpor 30% dari kebutuhan nasional. Saat kekurangan daging sapi, solusinya juga impor, dan kini setiap tahun kita mengimpor 25% konsumsi daging sapi. Demikian juga tatkala kita kekurangan garam.
Padahal sejatinya potensi alam yang begitu melimpah sangat memungkinkan manusia Indonesia untuk mengatasi ketergantungan tersebut, tentu dengan sentuhan tangan-tangan trampil dan pemikiran-pemikiran yang brilian. Sayangnya, potensi sumber daya manusia itu kurang dioptimalkan. Terlebih, virus hedonisme yang telah menjangkiti sebagian banyak dari kita seakan memustahilkan terwujudnya ketersediaan pangan secara memadai. Kebijakan pemerintah pun akhirnya lebih diorientasikan untuk mengatasi berbagai masalah pangan dengan pendekatan paling pragmatis.
Lebih jauh, ketidakmandirian kita juga kentara dalam mengelola sumber daya alam kita. Tambang tembaga dan emas di Papua dan Sumbawa diserahkan pengelolaannya kepada Freeport dan Newmont. Cadangan minyak di Cepu diserahkan kepada Exxon. Padahal, dengan dukungan tenaga-tenaga ahli dan modal yang tersedia di dunia ini, kita juga mampu mengerjakannya sendiri, seperti yang sudah dilakukan oleh India misalnya. India sukses dengan pembangunan yang bertema “Pro-People” dengan tingkat pemerataan tinggi dan kemandirian besar. India memenuhi kebutuhan sehari-harinya—dari makanan, pakaian, mobil, traktor, tank, kapal selam, pesawat tempur, dan lain-lain—dengan buatan sendiri, meski kurang bagus. Ini bukti, bahwa inti kemajuan bangsa adalah kepercayaan diri untuk melandasi kemandirian politiknya dengan kemandirian ekonomi; karena tidak ada kemandirian politik tanpa kemandirian ekonomi.
Jika dicermati, lemahnya kemandirian ekonomi—dan implikasinya juga lemahnya kemandirian politik—menunjukkan bahwa identitas nasional kita rapuh dan keropos di mata dunia. Retorika bahwa negara Indonesia besar dan tangguh masih jauh panggang dari api. Nah, “kelemahan” inilah yang tampaknya kini menjadi incaran bagi negara-negara maju untuk memainkan hegemoni dan dominasinya—tidak hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang-bidang lain. Karena itu, membangun dan “memantapkan kemandirian bangsa” (istilah Husodo) merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Strategi kebudayaan semacam apakah yang sepatutnya diambil untuk mendekati permasalahan yang sangat rumit ini?
Yang paling mendasar, bagi penulis, adalah membangun (kembali) mental bangsa agar menjadi bangsa yang mandiri, yang lepas dari ketergantungan pada bangsa lain. Fakta menunjukkan, bahwa selama ini banyak pengelola negeri ini yang bermental kuli dan kerdil, yang rela diperbudak oleh kepentingan bangsa asing. Jika pemimpin India menantang setiap investor dengan ”Sejauh mana Anda [calon investor] menguntungkan negara (termasuk penyerapan tenaga kerja)?”, maka oknum-oknum pemimpin Indonesia lebih suka dengan pertanyaan,”Berapa Anda mampu memberikan komisi ke rekening kami?” Kepentingan pribadi dan kelompok dikedepankan dengan segala antusiasme, sementara kepentingan bangsa keseluruhan malah ditelantarkan dan diabaikan sama sekali. Konyolnya, orang-orang yang bermental “lurus dan benar” malah dibabat, dilibas, dan disingkirkan. Singkatnya, dengan demikian, pembangunan mentalitas bangsa seharusnya digarap dengan harga yang pantas.
Pembangunan mentalitas ini secara vertikal ditempuh dengan pendidikan yang mencerahkan. Ini mungkin terdengar klise, namun benar, bahwa sampai detik ini harapan untuk memajukan pendidikan secara optimal belum pernah tercapai. Paradigma pembangunan terlampau menitikberatkan pembangunan ekonomi, fisik, infrastruktur, dan mengabaikan pembangunan jiwa dan mentalitas bangsa. Sudah tiba saatnya pendidikan memperoleh perlakukan serius, termasuk pendanaan yang memadai. Meski belakangan ini dunia pendidikan mulai diperhatikan, toh kita perlu selalu mendorong akan perbaikannya. Sementara itu, secara horizontal, kita seharusnya menggalakkan dialektika budaya untuk meneguhkan spirit multikulturalisme. Berbagai dialog lintas-budaya, yang juga pernah dirintis oleh sejumlah elemen bangsa, juga harus diupayakan peningkatannya. Upaya ini mesti terus-menerus digalakkan untuk mendefiniskan identitas nasional secara dinamis selaras dengan perkembangan zaman.
Dalam teropong tesis Fay, sebagai agen aktif, kita harus bertindak aktif dalam proses kebudayaan, untuk senantiasa memupuk spirit multikulturalisme, menciptakan identitas nasional yang membanggakan, dan meretas kemandirian bangsa. Kemandirian bangsa haruslah kita susun, kita hidupkan, dan kita rebut—tidak cukup hanya kita serahkan pada kenyataan dan dinamika sejarah. Kemenangan tidak akan pernah jatuh dari langit, atau datang tiba-tiba, dan muncul dengan sendirinya. Kemenangan besar harus disusun dengan sekian banyak kemenangan kecil dengan tujuan jelas dan terarah.
Epilog
Berdasarkan diskusi di atas, gagasan multikulturalisme perlu dilandasi pemikiran bahwa, sejalan narativisme, cerita hidup manusia tidak saja harus ditemukan dan diceritakan, melainkan juga harus dihidupkan dan disusun. Sebagai agen, kita perlu aktif berperan dalam proses kebudayaan.
Kita harus memahami multikulturalisme dengan kearifan untuk menangkal dan mengikis etnosentrisme chauvinistik. Sebaliknya, kita harus memupuk spirit multikulturalisme yang mampu membangkitkan kesaling-pahaman (mutual understanding) antar-kelompok (etnik) kedaerahan dalam pluralitas budaya di negeri ini. Kesalingpahaman ini, jika dipupuk dan dikembangkan secara dinamis dan berkelanjutan, diharapkan akan mengukuhkan identitas nasional—sosok identitas yang kita sepakati bersama yang menjunjung tinggi prinsip “keberagaman dalam kesatuan, dan kesatuan dalam keberagaman.”
Dengan memiliki identitas nasional yang kuat dan patut dibanggakan, secara gradual kita sebagai bangsa besar meretas, membangun, dan memantapkan kemandirian, baik kemandirian ekonomi, kemandirian politik, kemandirian budaya—dan secara simultan: kemandirian bangsa. Dengan kemandirian ini, akan lepas pulalah ketergantungan bangsa kita terhadap bangsa lain. Mudah-mudahan kita suatu saat mampu menjadi agen yang berperan sebagai subjek, penentu, pemain yang diperhitungkan dunia internasional.
Masalahnya berpulang kepada itikad kita, maukah kita mewujudkan kemandirian itu sendiri? Kita memiliki potensi besar—kekayaan alam dan budaya—yang dapat dimanfaatkan untuk merebut kemandirian itu. Kembali lagi ke mentalitas kita. Ibarat berperang, kita perlu bersemboyan begini: “It is not only the gun, nor the man behind the gun, but the spirit that really stimulates the man behind the gun.” (Yang terpenting bukanlah senjatanya, juga bukan orang di belakang senjata, melainkan spirit yang menggerakkan orang di belakang senjata tersebut.)
1. Adi, Tirto dan Much. Koiri. 2003. Urgensi Ketahanan Kebudayaan di Tengah Keterbukaan
Ideologi (bagian 2) . Bende, edisi 7, November: 45-48.
2. Ardhika, I Wayan. 2006. Prinsip Multikulturalisme dan Implementasinya. Materi Anvulen
S3 Kajian Budaya, PPS Universitas Udayana, Denpasar, 22 Agustus.
Pusat Studi Sunda.
4. Dirks, N.B, G. Eley & S.B. Ortner (eds). 1994. Culture/Power/History: A Reader in
Contemporary Social Theory.
5. Fay, Bryan. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. (Terj. M. Muhith). Yogyakarta:
Penerbit Jendela-Tadarus.
6. Hardiman, F Budi. 2003. Belajar dari Politik Multikulturalisme. Dalam Will Kymlicka.
Kewargaan Multikultural. Jakarta: PT Pustaka LP3ES
7. Husodo, Siswono Yudo. 2006. Memantapkan Kemandirian Bangsa. Makalah Kuliah
Umum, PPS Universitas Udayana, Denpasar, 2 September.
8. Kasiyan. 2002. Revitalisasi Pluralitas Budaya Global dalam Perspektif Postkolonial.
Makalah Seminar Internasional Relevansi Pemikiran STA: Kini dan Masa Depan, LP Unika Atma Jaya, Jakarta, 30-31 Juli.
9. Jawa Pos. 2008. Di Kawasan Asia Tenggara, Indonesia Kurang Populer. 17 Januari, hlm.16
10. Liliweri, Alo. 1994. Prasangka Sosial dan Komunikasi Antaretnik: Kajian tentang Orang
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Prisma, No. 12, Desember: 3-21.
11. Mas’oed, Mohtar. 1994. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
12. Koiri, Much. 2006. Dekulturasi Generasi Muda Jawa dalam Proses Transformasi Sosial-
Makalah disampaikan Diskusi Jurusan. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya,
8 Maret.
13. Patria, Nezar & Andi Arief (eds). 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
14. Sayuti, Suminto A. 2005. Identitas Nasional dalam Seni. Makalah Seminar Nasional
‘Reposisi dan Revitalisasi Nilai-Nilai Nasionalisme bidang Bahasa, Sastra dan Seni’, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, 16 November.
15. Staniland, Martin. 2003. Apakah Ekonomi-Politik Itu?: Sebuah Studi Teori Sosial dan
Keterbelakangan. (Terjemahan Haris Munandar & Dudy Priatna).
PT RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar