Motto:

It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Sabtu, 16 Agustus 2008

Dekulturasi Generasi Muda Jawa

Abstrak

Gejala dekulturasi generasi muda Jawa telah tampak dalam wujud perilaku wicara—sebagai wujud perilaku budaya—yang telah berangsur meninggalkan budaya Jawa. Bagi penjunjung budaya Jawa, sikap negatif generasi muda terhadap bahasa-budaya Jawa dan ketidakmampuan mereka untuk berbahasa Jawa dengan benar bisa dimaknai sebagai pengingkaran identitas etnik Jawa atau pencerabutan diri dari akar budaya Jawa. Mereka secara tipe etnik adalah Jawa, tetapi secara mitos-kultural mereka bukan lagi orang Jawa tulen. Namun, dalam perspektif perubahasan sosial-budaya, gejala dekulturasi tersebut agaknya merupakan suatu kewajaran dan keniscayaan. Saat ini barangkali sedang terjadi anomi, tetapi agaknya masih belum berada pada taraf anomi gawat. Kendati demikian, pihak-pihak yang berkepentingan perlu menunjukkan kearifan yang mendalam, termasuk dalam menyikapi perubahan tersebut, sekaligus mengupayakan politik bahasa yang berkeadilan.

Pengantar: Gejala Dekulturasi

Beberapa waktu silam dalam suatu perkuliahan seorang mahasiswa mencoba meng-krama-kan ungkapan ngoko “Bapak turu aku adus” (Bapak tidur selagi saya mandi). Tanpa rasa bersalah, mahasiswa itu mengatakan,”Bapak sare kula siram.” Mendengar ungkapan spontan itu, sebagian teman-temanya tertawa lepas, dan selebihnya hanya terdiam saja. Mengapa ungkapan itu menyebabkan sebagian temannya tertawa, sedangkan sebagian lain tidak? Tampaknya di antara mereka terdapat mahasiswa yang mendapati ungkapan tersebut menggelikan.

Nah, jika diperhatikan dan dirasakan secara seksama, bukankah ungkapan tersebut menggelikan? Ungkapan itu menyiratkan kramanisasi kata-kerja dua subjek yang seharusnya berbeda kedudukan. Seharusnya, si mahasiswa tidak memakai klausa “kula siram” yang berarti meninggikan derajat diri sendiri, melainkan (mungkin) cukup memakai klausa “kula adus” misalnya. Rasa geli timbul karena kata “siram” yang seharusnya merupakan krama dari “adus” sebenarnya juga merupakan kata ngoko “siram”. Jika ini yang terjadi, makna ungkapan tersebut bisa menjadi “tatkala bapak sedang tidur saya menyiramnya dengan air.”
Banyak ungkapan semacam “Bapak sare kula siram” tersebut dapat ditemukan di dalam berbagai forum dan kesempatan. Dan itu diungkapkan oleh generasi muda keturunan etnik Jawa dewasa ini, yang merupakan cerminan sikap dan perilaku budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, tidak sedikit dari generasi muda etnik Jawa yang tidak lagi mencerminkan budaya orang Jawa. Simbol-simbol budaya Jawa sudah luntur dan bahkan mulai hilang dari sikap-perilaku mereka.
Mahasiswa tersebut, sebagai representasi generasi muda Jawa, tidak mampu berbahasa Jawa dengan benar. Kompetensi komunikatifnya dalam bahasa Jawa bisa dikatakan rendah, dan karena itu sebenarnya dia sedang tercerabut dari kehidupan berbudaya Jawa—atau sedang mengalami suatu dekulturasi Jawa.
Memang, orang Jawa memiliki klasifikasi unik dalam interaksi kultural Jawa. Ada orang yang beretnik Jawa, berbudaya Jawa, maka dia dipredikati sebagai wong Jawa. Ada orang bukan beretnik Jawa, tapi berbudaya Jawa, maka dipredikati njawani. Ada pula kelompok orang beretnik Jawa, tapi tidak berbudaya jawa, maka predikatnya adalah ora Jawa. Dan celakanya, mahasiswa yang saya maksudkan, adalah mahasiswa beretnik Jawa, yang ternyata bukan penjunjung budaya Jawa. Hal ini sangat ironis dengan kondisi “orang asing” (bukan etnik Jawa) yang justru mampu berbahasa dan berbudaya Jawa secara benar.
Cukup banyak studi yang menguak makin tidak populernya bahasa Jawa di kalangan generasi muda Jawa. Khoiri dan Fahri (1991), misalnya, menguak sikap-perilaku kaum urban di Surabaya, terutama etnik Jawa. Hasilnya, masyarakat urban Surabaya, selain mengkonvergensikan bahasa Jawa asalnya dengan dialek Surabaya, juga sekaligus memakai bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari.
Murdiyanto dan Sawardi (2000) juga membeberkan banyak bukti bagaimana generasi Jawa tidak mampu lagi menerapkan tingkat tutur (undha usuk) bahasa Jawa dengan benar. Tampak sekali bahwa tingkat tutur bahasa Jawa sudah dianggap sebagai sesuatu yang sangat rumit, dan karena itu sangat sulit pula untuk diterapkan. Ada keengganan mendalam di kalangan generasi muda Jawa untuk menggunakan tingkat tutur yang benar-benar kontekstual dan situasional. Akibatnya, mereka gagu atau kikuk setiap kali berbahasa Jawa dengan benar.
Maka, tidaklah mengherankan bila banyak dari generasi muda Jawa kemudian hanya memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Dalam penelitiannya, Khoiri (2005) menemukan bahwa di Perumnas KBD Gresik terdapat 54,16% masyarakat Jawa berbahasa campuran Jawa-Indonesia, 24,30% selalu berbahasa Indonesia, dan hanya 21,53% loyal pada bahasa Jawa. Sebelum itu Setiawan (2001) menemukan bahwa masyarakat (bilingual) Jawa Timur sedang mengalami pergeseran bahasa secara gradual menuju pemakaian bahasa Indonesia. Bahasa Jawa hanya dominan digunakan di rumah, tempat-tempat ibadah, dan di sekolah antar teman—meski masih juga digunakan dengan dalam kelompok dan dengan generasi lebih tua.
Secara khusus sikap-sikap generasi muda Jawa terhadap bahasa Jawa juga telah diteliti oleh Suharsono (1995), dan ditemukan bahwa generasi muda Jawa telah mengalami perubahan sikap signifikan terhadap bahasa-budaya Jawa. Lebih lanjut Suharsono (2004) menandaskan, bahwa budaya nasionalisme dan merosotnya otoritas budaya Jawa ikut menyebabkan orang Jawa bersikap negatif terhadap bahasa-budayanya sendiri, dan enggan menggunakannya dalam komunikasi dan interaksi sosial.
Kini hanya sedikit generasi muda Jawa yang mampu memahami dan menerapkan berbagai ungkapan yang sesuai dengan ranah-ranah kebahasaan yang diperlukan. Pahamkah mereka makna dari ungkapan dengan konteks tuturan semisal “aja cedhak kebo gupak” (jangan dekat kerbau kotor)? Pahamkah mereka makna dari ungkapan sebagai wadah konsep semisal “memayu ayuning bawana” (mengatapi kecantikan dunia)? Pernahkah mereka mempraktikkan ungkapan sebagai wujud rasa keindahan semacam “ora awur ora sembur” (tidak menabur tidak menyemprot)? Dan seringkah mereka menggunakan ungkapan sebagai satuan lingual semisal “ngono ya ngono ning aja ngono” (begitu ya begitu tetapi jangan begitu)?
Jangankan berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah. Di dalam rumah pun, banyak generasi muda Jawa yang mengalami kemerosotan dalam pemakaian undha-usuk bahasa Jawa. Implikasinya, budaya Jawa sebagai akar dan landasan bahasa Jawa juga tidak bisa ditegakkan. Unggah-unggah atau suba-sita antara anak dan orangtua sudah semakin “demokratis” yang tentunya keluar dari pakem budaya Jawa. Banyak anak Jawa yang menyebut orangtua di depan teman-temannya dengan “ebes” dan “memes”. Sungguh memprihatinkan!
Masalahnya, apakah gejala dekulturasi budaya Jawa tersebut dapat dijadikan parameter atau ukuran yang absah dipakai untuk menilai bahwa mereka masih termasuk dalam komunitas budaya Jawa? Dengan kata lain, masihkah mereka memiliki identitas etnik yang benar-benar Jawa? Pertanyaan-pertanyaan ini, agaknya, perlu didekati dengan menjawab pertanyaan ini: Apakah perilaku wicara identik dan representasi perilaku budaya? Apakah perilaku budaya mahasiswa tersebut telah “melanggar kepatutan” budaya dan menisbikan identitas budaya Jawanya? Lalu, dalam perspektif perubahan sosial-budaya, bagaimana hal ini perlu dipandang dan diposisikan?
Perilaku Wicara dan Perilaku Budaya
Asofie (2000) menggambarkan, perilaku budaya itu adalah perilaku sosial yang dilandasi penundukan diri pelakunya kepada du conscience collective (kesadaran kolektif), suatu conscience mengenai patterns of and for action. Dalam perilaku tersebut pelaku masih mendapatkan kebebasan memilih alternatif-alternatif yang diperkenankan sebatas yang terdiltekan oleh masyarakat. Pilihan tersebut dapat menyangkut masalah unit-unit budaya a-la Schneider (1973), yakni of action-nya dan masalah for action-nya, tempat pola sistem nilai kepantasannya Parsons (aspek culture), yang kadang-kadang mengalahkan efisiensi, ikut menjadi perhatian yang penting.
Kemudian, apakah perilaku wicara merupakan perilaku budaya? Sejalan dengan pemikiran S. Pit Corder tentang tujuan belajar bahasa kedua, Asofie (2000) menyatakan bahwa perilaku wicara merupakan wujud dari perilaku budaya. Implikasinya, perubahan pola perilaku wicara seseorang yang berasal dari suatu budaya merupakan wujud dari perubahan perilaku budaya penuturnya.Dengan demikian, membicarakan perilaku wicara Jawa dalam budaya Jawa adalah membicarakan perilaku yang berlaku pada umumnya seperti yang diutarakan di atas. Yang menjadikan khas Jawa dalah modus yang khas pada beberapa proses produksinya.
Dalam pandangan demikian, hakikatnya, prinsip umum yang berlaku universal berlaku pula pada perilaku wicara Jawa. Maksudnya, perilaku wicara Jawa adalah perilaku individual, tetapi yang selalu dilakukan dengan cara sesesuai mungkin dengan cara yang dilakukan oleh orang-orang lain anggota masyarakat etnik-budaya Jawa. Yang dimaksud budaya Jawa adalah apa yang dinamakan kesadaran kolektif yang akan senantiasa menjadi patterns of and for action.
Perilaku wicara Jawa juga adalah satu molekul budaya dari satu unit atau subunit yang lebih besar. Di dalamnya masih terdapat berbagai acts yang masing-masing dapat dikenali atau diidentifikasi. Unit yang besar itu adalah perilaku interpersonal yang di dalamnya melibatkan perilaku verbal—umumnya dikenal sebagai konunikasi.
Warna budaya Jawa hakikatnya ada pada setiap langkah, baik produktif maupun reseptif, yang berupa pembatasan diri dalam pilihan dari alternatif-alternatif yang diperkenankan, baik tentang representasi kesadaran kolektif bagi patterns of maupun patterns for action. Akan tetapi, tahapan yang paling rentan untuk masuknya intervensi nilai-nilai budaya adalah pada perencanaan (planning).
Terdapat satu variabel yang memiliki posisi sentral dalam planning, yaitu hubungan peran (role relationship), yang akan berpengaruh terhadap pemilihan alternatif yang lain. Untuk mengetahui unsur budaya mana, Parsons dalam Schneider & Bonjean (1973: 36) mengenalkan empat sistem simbolisasi: (1) kognitif, (2) moral evaluatif, (3) ekspresif, (4) konstitutif. Oleh masyarakat Jawa sistem simbolisasi moral evaluatif adalah yang paling disadari, yaitu simbolisasi yang menyangkut nilai kepantasan, kesopanan, unggah-ungguh yang menyangkut hubungan strata, dan suba-sita yang menyangkut gejala kehalusan budi-pekerti. Orang Jawa memiliki istilah yang tepat untuk kasus ini, yakni empan mawa papan.
Sistem tanda bahasa Jawa telah menjadi alat lengkap untuk merepresentasikan semua yang menjadi consience collective budaya Jawa, telah menjadi patterns of and for action yang berisikan ideas and standards yang didiktekan oleh masyarakat. Lain kata, orang yang sedang berbahasa Jawa yang benar adalah orang yang sedang berbudaya Jawa yang benar. Secara negatif, orang Jawa yang tidak dapat berbahasa Jawa yang benar adalah orang yang sedang mengalami dekulturisasi Jawa. Makin kecil kompetensi komunikatif bahasa Jawanya, makin jauh dia tercerabut dari kehidupan berbudaya Jawa. Pada suatu saat seseorang secara tipe etnik adalah Jawa, tetapi secara mitos-kultural dia bukan orang Jawa. Ketika itulah dia orang Jawa, tetapi bukan orang (berbudaya) Jawa.
Apakah Mereka Masih Orang Jawa?

Dengan kerangka pandang di atas, bagaimana kita mendudukkan generasi muda Jawa yang sedang mengalami dekulturasi budaya Jawa? Berdasarkan tinjauan teoretis di atas, perlu digarisbawahi, bahwa perilaku wicara merupakan wujud dari perilaku budaya. Implikasinya, perubahan pola perilaku wicara seseorang yang berasal dari suatu budaya merupakan wujud dari perubahan perilaku budaya penuturnya.

Dalam konteks ini generasi muda yang sudah gagu dan gagal dalam menerapkan tingkat tutur bahasa Jawa dengan tepat—sebagaimana dikemukakan Murdiyanto dan Sawardi (2000) di atas—secara ekstrem sebenarnya dapat dikatakan mengalami dekulturasi. Adapun seberapa besar atau kecilnya tingkat dekulturasi itu tentu saja berpulang pada generasi muda Jawa sebagai individual.
Kecenderungan generasi muda untuk tidak loyal menggunakan bahasa Jawa tidak dipisahkan dari sikap bahasa mereka. Bagaimanapun juga, sejalan dengan pemikiran Baker (1988), kendati tidak berada dalam hubungan yang kuat dan niscaya, sikap bahasa memberikan kecenderungan seseorang untuk menunjukkan perilaku tertentu dalam berbahasa. Sikap generasi muda Jawa yang lebih positif terhadap bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa telah menyebabkan mereka enggan mempelajari bahasa Jawa dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap unfavorable generasi muda Jawa terhadap bahasa Jawa secara halus dan tak disadarinya telah menempatkan mereka untuk menganggap bahasa Jawa kurang prestisius dibandingkan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Mereka memiliki penilaian ekstrem untuk membedakan kedudukan dan fungsi sosial bahasa. Sangat mungkin mereka telah menganggap bahasa Jawa sebagai bahasa rendah, tidak modern, tidak bermartabat, tidak bernilai ekonomis, menghambat kemajuan, dan sebagainya. Jarang yang menyadari bahwa bahasa Jawa memiliki fungsi tidak hanya sebagai alat komunikasi dan/atau interaksi sosial, akan tetapi juga sebagai simbol identitas sosial atau kelompok etnik Jawa, bahkan merupakan suatu emblem keanggotaan kelompok dan emblem solidaritas (Grosjean 1982; Setiawan 2001).
Sikap bahasa generasi muda Jawa semacam itu telah diakibatkan oleh nasionalisasi bahasa Indonesia pada satu sisi dan merosotnya otoritas budaya Jawa pada sisi lain. Kita tahu, isi Sumpah Pemuda dan kebijakan politik pembangunanisme di negeri ini mewajibkan seluruh rakyat untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sementara itu, bahasa daerah, dengan retorika yang manis, ditempatkan untuk memperkaya bahasa nasional tersebut. Karena itu, generasi muda Jawa pun terkondisikan untuk tidak loyal terhadap bahasa dan budaya Jawa. Sementara itu, orang tua mereka, dengan serba salah, juga harus mengikuti mainstream (arus utama) kebijakan bahasa tersebut.
Belum lagi jika keberadaan bahasa-budaya generasi muda Jawa dikaitkan dengan membanjirnya unsur-unsur budaya global. Refleksi seni budaya Widayati (2004) menyiratkan adanya keprihatinan mendalam akan masuknya budaya global yang hegemonik dan berupaya mencaplok budaya lokal, karena generasi muda seakan malah menunjukkan kepasrahan yang rela terhadap budaya global tersebut. Akibatnya, “penanaman nilai-nilai luhur dari nenek moyang dewasa ini menjadi terhambat, bahkan ada yang gagal, karena anak atau generasi muda mulai tidak tertarik pada penyampaian secara tradisional.” Harapannya adalah bahwa budaya etnis yang bersifat lokal berfungsi sebagai filter bagi budaya global.
Sayangnya, di keluarga-keluarga Jawa penggunaan bahasa-budaya Jawa bukan lagi menjadi kewajiban; dan berarti, orangtua mereka tidak agaknya tidak lagi sempat untuk mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Selain itu, di lembaga pendidikan dasar dan menengah bahasa Jawa dianggap sebagai mata pelajaran yang sangat sulit, bahkan ada yang menganggapnya lebih sulit daripada bahasa Inggris atau bahasa Mandarin misalnya. Konsekwensinya, kompetensi kebahasaan mereka dalam bahasa Jawa tentu saja tidak menggembirakan. Padahal, kita tahu, bahwa makin kecil kompetensi komunikatif bahasa Jawa seseorang, makin jauh dia tercerabut dari kehidupan berbudaya Jawa.
Barangkali gejala dekulturasi yang dialami generasi muda Jawa itu bukan menjadi masalah serius di kalangan generasi muda sendiri, karena semua itu merupakan pilihan individual dalam kehidupan sosialnya. Akan tetapi, secara makro, di mata penjunjung bahasa-budaya Jawa, pilihan individual semacam ini merupakan “penggerogotan dari dalam” atau pengingkaran terselubung yang mengancam kelestarian bahasa-budaya Jawa. Generasi muda semacam itu dianggap telah mengurangi sakralitas bahasa-budaya Jawa sebagai simbol identitas sosial atau kelompok etnik Jawa, atau suatu emblem keanggotaan kelompok dan emblem solidaritas.
Penjunjung bahasa-budaya Jawa adalah penjaga gawang pertumbuhan dan kelestarian budaya Jawa. Budaya Jawa yang mapan (established) menjadi patokan normatif untuk menilai apakah tindakan budaya masyarakat dan generasinya masih tetap setia atau telah menyimpang dari kesepakatan dan kesadaran kolektif. Mereka sangat sadar bahwa kesadaran kolektif berbudaya Jawa akan senantiasa menjadi patterns of and for action. Patokan standar inilah yang digunakan sebagai fundamen penting untuk menetapkan status keetnikan anggota masyarakat budayanya.
Sistem tanda bahasa Jawa telah menjadi alat lengkap untuk merepresentasikan semua yang menjadi kesadaran kolektif budaya Jawa, telah menjadi patterns of and for action yang berisikan ideas and standards yang didiktekan oleh masyarakat. Tindakan sebagian generasi muda Jawa tersebut, karena itu, telah melanggar simbol moral evaluatif, yang menyangkut nilai kepantasan, kesopanan, unggah-ungguh yang menyangkut hubungan strata, dan suba sita yang menyangkut kehalusan budi pekerti. Ungkapan “Bapak sare kula siram” merupakan ungkapan yang tidak mencerminkan empan mawa papan.

Memang, gejala dekulturasi generasi muda Jawa belum tentu merupakan sesuatu gejala universal bagi seluruh generasi muda Jawa. Akan tetapi, mobilitas sosial mereka—baik vertikal maupun horisontal—menyebabkan mereka bersinggungan dengan budaya-budaya lain tempat mereka tinggal atau bekerja. Jika hal ini yang terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh banyak penelitian, termasuk misalnya Khoiri dan Fahri (1991), maka mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia (atau bahasa lain yang sama-sama terpahami) setelah gagal mencoba menggunakan bahasa Jawa.

Meski demikian, aspirasi sosial yang dicerminkan oleh sikap bahasa generasi muda Jawa sebenarnya telah cukup untuk membuat prediksi umum mengenai gejala dekulturasi mereka. Sikap bahasa yang negatif terhadap bahasa Jawa sebenarnya telah mencerminkan “aspirasi sosial untuk menjadi” bukan penutur bahasa Jawa. Dan “beraspirasi untuk menjadi” bukan penutur bahasa Jawa yang loyal, hakikatnya, telah perlahan-lahan keluar dari komunitas bahasa-budaya Jawa.

Generasi muda Jawa yang bersikap negatif terhadap bahasa-budaya Jawa, apalagi tidak dapat berbahasa Jawa dengan benar, tidak mampu menerapkan tingkat tutur bahasa secara empan mawa papan adalah orang yang sedang mengalami dekulturisasi Jawa, orang yang menjadi keprihatinan para penjunjung budaya Jawa. Memang mereka secara tipe etnik adalah Jawa, tetapi secara mitos-kultural mereka bukan lagi orang Jawa tulen.

Dalam Proses Perubahan Sosial-Budaya

Sekarang, bagaimana gejala dekulturasi generasi muda Jawa dilihat dari sudut pandang proses perubahan sosial-budaya?
Sebenarnya, perubahan sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu keniscayaan. “All sociocultural systems are constantly changing; none is completely static.” (Foster 1973). Maksudnya, seluruh sistem sosial-budaya mengalami perubahan secara konstan; dan tiada satu sistem sosial-budaya pun yang benar-benar statis atau steril dari perubahan.
Banyak stimulan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial-budaya. Foster (1973) memetakan sejumlah stimulan bagi perubahan, yakni: hasrat untuk merebut keuntungan ekonomi (desire for economic gain), hasrat untuk memperoleh prestige dan status (desire for prestige and status), situasi yang kompetitif (competitive situation), keharusan persahabatan (obligations of friendship), adanya dorongan bermaian (play motivation), dan daya-tarik religius (religious appeal).
Dalam kerangka pandang demikian, gejala dekulturasi generasi muda Jawa merupakan sesuatu yang wajar—artinya peristiwa itu bagian dari proses perubahan yang memang seharusnya terjadi. Melemahnya otoritas budaya Jawa dan menguatnya nasionalisasi bahasa Indonesia juga merupakan bukti adanya perubahan sosial-budaya.
Memang, jika dipandang dari sudut pandang penjunjung bahasa-budaya Jawa, dekulturasi generasi muda Jawa merupakan sesuatu yang salah dan telah melanggar kesadaran kolektif berbahasa dan berbudaya Jawa. Ekstremnya, mereka secara mitos-kultural telah dianggap sebagai bukan orang Jawa tulen meskipun mereka secara biologis merupakan keturunan orang Jawa.
Akan tetapi, jika dipandang dari proses perubahan sosial-budaya, dekulturasi generasi muda Jawa merupakan proses dinamisasi, suatu keniscayaan. Salah satu stimulan yang kuat adalah adanya situasi yang kompetitif, dimana bahasa Jawa harus bersaing dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing yang juga harus mereka kuasai. Hasrat mereka untuk merebut keuntungan ekonomi, untuk mamperoleh prestise dan status, untuk menyambung persahabatan, atau untuk memuaskan dorongan bermain telah ikut juga menyebabkan mereka untuk perlahan-lahan “meninggalkan” bahasa-budaya Jawa.
Mengapa demikian? Mereka menganggap, bahwa dalam kehidupan modern ini bahasa-budaya Jawa tidak mampu memberikan imbalan-imbalan praktis dari penggunaan bahasa-budaya Jawa. Mereka menganggap, bahwa bahasa Jawa kurang mendatangkan keuntungan ekonomi—misalnya, sewaktu mencari pekerjaan atau meniti jenjang karir, mereka tidak pernah ditanya atau diukur kemampuan bahasa-budaya Jawanya. Mendapatkan prestise atau status dan menjalin persahabatan (dengan orang di luar etnik Jawa) dianggapnya lebih mudah lewat penggunaan bahasa Indonesia dari pada bahasa Jawa.
Dengan demikian, dekulturasi Jawa yang mereka alami agaknya perlu dilihat sebagai sebuah kewajaran. Siapa tahu semua ini merupakan bagian proses transisi integrasi mereka ke dalam budaya Jawa yang sebenarnya. Saat ini mereka bisa dikatakan sedang mengalami disintegrasi. Manusia dalam setiap masyarakat memiliki kecenderungan akan strain toward consistency (desakan akan konsistensi) akibat konsentrasi atau pengelompokan. Merton menemukan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat desakan akan pemisahan diri atau anomi (Susanto 1999: 168-169)
Menurut perspektif Durkheim dalam Susanto (ibid), generasi muda Jawa bisa tergolong dalam dua bentuk anomi: anomi sederhana (simple anomie) dan anomi gawat (accute anomie). Karena dalam setiap masyarakat demokrasi manusia diajarkan untuk berdiri dan berpikir sendiri, maka anomi sederhana yaitu keadaan dengan pertentangan antar-manusia, antara generasi muda dan generasi tua Jawa, tak dapat dihindari. Terjadi tarik-menarik di antara kedua pihak, antara mempertahankan bahasa-budaya etnik dan bergeser ke bahasa-budaya lain. Konflik laten semacam ini telah terjadi di dalam semua sistem pranata sosial dan budaya manapun juga.
Jika dekulturasi generasi muda Jawa merupakan bentuk anomie sederhana, untungnya, ia akan mudah dikembalikan ke stabilitas. Tetapi, anomi sederhana mereka bisa mencapai taraf anomi gawat ketika telah terdapat suatu proses disintegrasi, khususnya menyangkut ketertiban dan pertahanan norma (normative order). Perubahan sosial-budaya dalam masyarakat Jawa sebenarnya mengisyaratkan adanya gangguan, pergeseran, perubahan, dan/atau pergantian struktur atau pranata sosial yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Jawa. Apakah mereka selama ini telah mengalami anomie gawat, agaknya perlu penelitian tersendiri untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif.
Namun, hal tersebut mengisyaratkan, bahwa stabilitas sebenarnya tidak lain daripada proses anomi (disorganisasi) diimbangi oleh proses reorganisasi. Jika anomi gawat yang terjadi, usaha reorganisasi harus besar pula. Anomi lebih gawat dalam masyarakat luas, karena perubahan pada satu kelompok akan memiliki akibat pada kelompok-kelompok lain, sehingga acap kali terjadi “cultural lag” (kelambanan budaya) terhadap keadaan baru.
Memang, berkaitan dengan bahasa-budaya Jawa, terdapat sebagian masyarakat yang mengharapkan suatu perubahan; sebaliknya, ada juga masyarakat yang menolaknya—yakni mereka yang mencintai kemapanan, sesuatu yang telah “diwariskan” oleh para pendahulunya. Akan tetapi, sejarah telah menunjukkan, bahwa hidup ini senantiasa dinamis—penuh perubahan. Karena itu, sebagaimana hidup ini berubah, kelompok yang mencintai kemapanan lazimnya “terkalahkan” dengan cepat atau lambat oleh masyarakat pencinta perubahan.
Menanggapi hal demikian, para penjunjung bahasa-budaya Jawa mau tak mau harus menunjukkan kearifan kultural yang mendalam untuk memahami gejala dekulturasi generasi muda Jawa. Keprihatinan demi keprihatinan yang selama ini dipendamnya perlu dijadikan sebagai energi kultural untuk menyikapi perubahan sosial-budaya yang menimpa budaya Jawa dengan dewasa dan optimis.
Pada saat sama perlu didorong adanya peran sejumlah stimulan perubahan a-la Foster di atas dalam mempengaruhi perubahan dengan semacam rekayasa atau perencanaan sosial. Demikian pula dalam politik bahasa. Pemerintah dapat terus didorong untuk menentukan secara proporsional bagaimana kedudukan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing dalam proses pembangunan—yang kemudian berdampak kuat terhadap mati-hidupnya bahasa-bahasa daerah.
Simpulan dan Epilog
Sebagai penutup tulisan ini, penulis hanya menggantungkan harapannya, agar politik bahasa Indonesia ditinjau kembali dengan aksentuasi pemberian ruang gerak atau bahkan pemanfaatan bahasa-budaya daerah sebagai pemerkaya bahasa Indonesia. Politik bahasa Indonesia yang unitaristik dan tidak bernilai budaya agaknya yang menjadi sebab terjadinya anomi, dekulturasi, sehingga korbannya tidak lagi mengenal, menghayati, dan mengamalkan simbol-simbol kognitif, dan yang paling mengerikan, tidak mengenal lagi simbol-simbol nilai moral-evaluatif etniknya, dan tidak bergerak ke akulturasi yang manapun karena hakikatnya bahasa Indonesia itu kosong budaya.
Jika tidak ada pemihakan yang adil lewat politik bahasa yang digariskan oleh pemerintah, loyalitas pada bahasa-budaya etnik (Jawa) akan semakin luntur karena otoritas dan fungsinya yang kian terbatas dalam lembaga sosial. Konsekwensinya, bahasa-budaya daerah, termasuk Jawa, perlahan-perlahan akan pudar dan kemudian hilang.
Meski politik bahasa dan perencanaan bahasa (language planning) hakikatnya juga merupakan perencanaan inequality (Tollefson 1991), toh pemerintah perlu mengambil pertimbangan dan tindakan proporsional dalam menentukan politik bahasa di Tanah Air ini—syukur-syukur memberikan peluang lebih bagi bahasa-bahasa etnik untuk menulang-punggungi bahasa Indonesia.
Seharusnya, pemerintah belajar lebih dalam bagaimana politik bahasa pernah diterapkan di Eropah dalam kasus negara Czeko-Slovakia yang akhirnya disadari kekeliruannya. Jika hal ini dilakukan, maksud tema tulisan ini akan mendapatkan jawaban yang memuaskan para penjunjung budaya Jawa. Tentu saja, untuk saat ini, diperlukan kearifan dan optimisme yang luar biasa dari para linguis dan budayawan (Jawa), di samping upaya-upaya praktis yang harus disosialisasikan kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan.

Surabaya, Desember 2007

DAFTAR PUSTAKA

Asofie, A. Dardiri. 2000. Ketika Orang Jawa Bukan Lagi Orang Jawa: Tinjauan
Sosiolinguistik. Dalam Verba. No. 1 Vol. 2, Oktober, hlm. 38-53.
Baker, C. 1988. Key Issues in Bilingualsm and Bilingual Education. Clevedon,
Avon: Multilingual Matters.
Corder, S. Pit. 1973. Introducing Applied Linguistics. London: Penguin.
Foster, George M. 1973. Traditional Societies and Technological Change.
(2nd edition). New York: Harper & Row Publishers.
Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University Press.
Khoiri, Much. 2005. Stratifikasi Sosial dan Pemilihan Bahasa: Studi Kasus Masya-
rakat Jawa di Perumnas Kota Baru Driyorejo Gresik. Tesis S2, Tidak
Dipublikasikan. Surabaya: PPs Universitas Airlangga
___________. & Fahri. 1991. “Sikap dan Perilaku Berbahasa di Kalangan
Kaum Urban di Kota Surabaya: Suatu Pengamatan Awakl.” Dalam Prasasti. FBS IKIP Surabaya, Th. I No. 2, April, hlm. 15-31.
Murdiyanto dan FX Mawardi. “Tingkat Tutur Bahasa Jawa: Kerumitan dan
Tantangannya.” Dalam Verba, FBS Unesa, Vol. 1 No. 3, Juni, hlm. 216-
225.
Parsons, Talcott. 1973. “Culture Revisited.” Dalam L. Schneider & C.M.
Bonjean (eds). The Idea of Culture in the Social Sciences. Cambridge:
CUP.
Setiawan, Slamet. 2001. “Language Shift in A Bilingual Community: The Case of
Javanese in Surabaya East Java”. Tesis S-2. Tidak diterbitkan. New Zealand: The University of Auckland.
Suharsono. 1995. Attitudes of Young Javanese Towards Their Native Language.
Tesis M.A, Tidak Dipublikasikan. Western Australia: Murdoch University.
________. 2004. Javanese in the Eyes of Its Speakers: Reflections from a Suburban
Area of East Java. Disertasi Ph.D, Tidak dipublikasikan. Department of Anthropology and Linguistics, The University of Western Australia.
Susanto, Astrid S. 1999. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (cet.kelima).
Jakarta: Penerbit Putra A Bardin.
Tollefson, James W. 1991. Planning Language, Planning Inequality. London & New
York: Longman
Widayati, Sri Wahyu. 2004. Refleksi Seni Budaya: Budaya Lokal di Tengah Budaya
Global. Dalam Padma. No. 1 Vol. 3, Januari, hlm. 1-2.

1 komentar:

quiteriebabka mengatakan...

Casino City - Mapyro
The Casino City located 태백 출장안마 in Las Vegas, 익산 출장안마 Nevada 양산 출장마사지 (Southwest) is a 5-minute drive 사천 출장안마 from Las Vegas International Airport. The casino has 1,000 slots, 광주 출장마사지 over 40 table games

Promo Email

Dear friend, I want to introduce you to a website that I recently found to make big earn online. It works all around the clock, and for not just days or weeks, but for months and months, making you big of profit. $0.00 invest - earn hunders daily. It's real and easy way to make money in online. Open the link below to learn more: http://www.bux4ad.com/aft/b1d99e16/2a7dab89.html See you, Much. Khoiri