Much. Khoiri
Abstrak
Abstrak
Tulisan ini berupaya untuk mengkaji fenomena mafia perizinan di pemerintah kota (pemkot) Surabaya yang akhir-akhir ini cukup ramai menghiasi media massa. Studi teoretis dan empiris ini akan menguak mekanisme kerja atau sepak terjang orang-orang yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam mafia perizinan yang beroperasi di dalam tubuh pemkot Surabaya. Kajian akan diarahkan untuk mengkritisi bagaimana mafia perizinan tersebut hakikatnya merupakan paradoks peran birokrasi---suatu kondisi di mana peran birokrasi yang semakin lemah, dan yang seharusnya diharumkan imej-nya lewat optimalisasi fungsi dan layanan terbaik, malah digerogoti dan dirapuhkan secara perlahan tetapi dramatis oleh mafia perizinan. Setelah itu, kajian akan diupayakan untuk menawarkan implikasi dan solusi yang barangkali patut dipertimbangkan. Simpulan akan diambil berdasarkan keselruruhan pembahasan. Sub-sub kajian dalam tulisan ini mencerminkan urutan sistematika tiga bidikan pembahasan di atas. Untuk kepentingan sub-sub kajian tersebut, berikut ini akan disajikan terlebih dahulu sekilas tentang konsep perizinan dan birokrasi.
Konsep Perizinan dan Birokrasi
Pada hakikatnya, secara konseptual, izin merupakan suatu “dispensasi dari suatu larangan.” (Suhirman, 2002: 78). Hal ini bermakna peraturan perundang-undangan melarang suatu tindakan tertentu atau tindakan-tindakan yang saling berhubungan. Dalam larangan semacam ini tidak ada kemutlakan, tetapi hanya untuk pengendalian; dan karena itu, masih bisa didispensasi dengan pemberian izin. Maka, izin berangkat dari suatu ketentuan yang memperbolehkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan setelah memenuhi syarat dan prosedur yang telah ditetapkan.
Dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, kita juga tak lepas dari dunia izin untuk melakukan tindakan atau perbuatan tertentu. Maka, istilah yang paling akrab di telinga kita adalah bahwa kita mengurus perizinan, agar kita mengantongi dispensasi tertentu untuk melakukan sesuatu tanpa melanggar rambu-rambu pemerintah. Di mata pemerintah, perizinan merupakan alasan untuk memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk melakukan perbuatan, tindakan, atau kegiatan meskipun sebelumnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Melalui instrumen perizinan, sebagai bentuk pelaksanaan hukum dan peraturan, pemerintah menetapkan mana kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat dan sektor swasta. Perizinan, karena itu, merupakan mekanisme pengendalian pemerintah agar tidak terjadi kegagalan pasar. Dengan mengeluarkan izin, pemerintah memberikan hak kepada penerima izin untuk melakukan tindakan, perbuatan atau kegiatan yang semula dilarang, baik berupa lisensi (izin yang diberikan untuk kegiatan komersial, semisal izin usaha), konsesi (penetapan yang memugnkinkan pihak penerima izin untuk mengambil-alih wewenang pemerintah, semisal izin prinsip dan lokasi lahan perumahan), maupun dispensasi (izin yang memberikan kewenangan kepada sesorang/badan hukum yang sebelumnya tidak boleh dilakukan oleh siapapun yang belum memiliki izin tersebut, misalnya izin mengemudi atau mendirikan bangunan).
Dalam konteks Indonesia, perizinan sebagai salah satu keputusan administrasi dikeluarkan oleh pemerintah pada semua tingkatan (pemerintah pusat dan pemerintah daerah). Namun, perizinan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat dan kegiatan usaha yang berdampak pada publik dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, dalam perizinan ini peran pemerintah daerah sangatlah penting dan menentukan.
Untuk menjalankan fungsi pengaturan dan perizinan, pemerintah (pusat/daerah) memerlukan dan memiliki organisasi yang disebut birokrasi. Dalam konteks pemerintah Indonesia, Santosa dalam Suhirman (2002: 81) mendefinisikan birokrasi sebagai keseluruhan organisasi pemerintah, yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga nondepartemen, baik di pusat maupun di daerah.
Terdapat tiga kategori organisasi birokrasi. Pertama, birokrasi pemerintahan umum yang menjalankan fungsi pengaturan. Kedua, birokrasi yang memberikan pelayanan umum. Ketiga, birokrasi pembangunan, yakni organisasi pemerintah yang menjalankan salah satu bidang khusus untuk mencapai tujuan pembangunan, seperti organisasi pemerintah yang betgerak di sektor pertanian, industri, pendidikan, dan sebagainya. (Suhirman, ibid). Dalam praktik pemerintahan, perizinan dikategorikan sebagai pemberian pelayanan, sehingga dikerjakan oleh birokrasi yang memberikan layanan umum.
Untuk menjalankan fungsinya dengan baik, birokrasi pelayanan umum lazimnya menyusun mekanisme dan prosedur yang harus ditempuh oleh seseorang atau badan usaha untuk mendapatkan izin tertentu yang didasari oleh berbagai perangkat hukum. Mekanisme, prosedur, dan perangkat hukum yang mendasari tidaklah bersifat netral, melainkan disusun untuk melayani tujuan tertentu misalnya efisiensi, keadilan, dan pemerataan. (Suhirman, 2002: 82).
Dalam hal ini, masyarakat dan swasta adalah pelanggan perizinan. Sebagai pelanggan, kedua pihak dapat mengajukan keluhan atas pelayanan yang diberikan. Masalahnya, dewasa ini di banyak daerah belum ada institusi yang kredibel dan berwewenang secara memadai dalam menampung dan menindaklanjuti keluhan. Institusi penampung keluhan saat ini masih merupakan bagian atau subordinasi dari lembaga pemberi izin tersebut. Akibatnya, institusi ini tak akan berdaya jika malpraktik administrasi yang terjadi dalam perizinan dilakukan oleh atasannya atau produk sistemikn dari kebijakan perizinan. Sementara itu, media massa, kendati mampu berfungsi sebagai corong keluhan mereka, toh tidak memiliki akses ke dalam tubuh birokrasi yang dimaksud.
Jika penyampaian keluhan tidak efektif, pelanggan perizinan hanya memiliki dua pilihan: berkolaborasi dengan sistem birokrasi atau keluar dari sistem yang ada. Berkolaborasi berarti mau merogoh biaya ekstra, bahkan “suka-rela” melakukan pelanggaran yang dilegalisai oleh pihak birokrasi. Jika pelanggan tidak mau mengambil pilihan pertama ini, dia otomatis keluar dari sistem, tidak mengurus izin dan membiarkan kegiatan (usaha)-nya masuk dalam sektor informal. Ini menyebabkan pengendalian dan akselerasi kegiatan sosial dan ekonomi sebagai salah satu fungsi perizinan tidaklah berjalan.
Dalam konteks semacam inilah birokrasi Indonesia sangat rentan akan penyelewengan peran dan wewenangnya—dan ini mengarus ke buruknya birokrasi kita di mata internasional, yang terkenal korup dan sarat kroniisme. (Rozi, 2000: 1). Kepemilikan wewenang dan dominasi birokrasi atas masyarakat pelanggan, dan kebutuhan pelanggan izin yang tak mungkin ditunda-tunda, memungkinkan organisasi birokrasi untuk tergoda melakukan malpraktik perizinan, termasuk korupsi. Mereka akan berusaha “mengakali” (dengan dalih-dalih tertentu) peraturan-peraturan perizinan agar maksud pelanggan izin terpuaskan. Dan, sebagaimana lazimnya, jarak antara birokrasi dan pelanggan izin ini telah diisi oleh deretan orang yang “berprofesi” sebagai penjembatan atau makelar perizinan.
Jika demikian halnya, tak pelak lagi, birokrasi menjadi julukan yang mengacu pada inefisiensi dan inefektivitas (organisasi) pemerintahan (Blau & Meyer, 2003: 3; Suaedi, 2003: 4). Praktik birokrasi semacam ini tentu telah menyimpang dari idealitas birokrasi yang sebenarnya. Sudah terjadi semacam malpraktik birokrasi di sana. Meski demikian, di antara kerentanan birokrasi di Indonesia, kita boleh sedikit lega karena, menurut Haryanto dkk. (2003: 640), ternyata tidak semua birokrasi pelayanan publik di negeri ini menunjukkan kinerja yang buruk. Buktinya, kantor pelayanan KTP/KK dan Akta di KPT kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah menunjukkan kinerja yang baik, secara struktural maupun kultural, yang didukung teknologi dan stake-holder yang kondusif bagi terciptanya pelayanan publik yang memuaskan.
Sejalan dengan otonomi daerah, birokrasi agaknya perlu berfungsi sebagai prime mover yang menggerakkan jalannya pembangunan dengan semangat reformasi melalui penyelenggaraan otonomi secara luas dan bertanggungjawab. Sebagai lembaga sentral, birokrasi diciptakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi pemetintah [dengan pendekatan yang tepat, mk] yang misi utamanya adalah di bidang pelayanan publik dengan mendasarkan diri pada konsep social equity. (Suaedi, 2002: 3).
Kini masyarakat atau publik kita menuntut birokrasi yang mampu memainkan peran secara profesional. Peran seperti apa? Ismaryati (2000: 4) memetakan peranan pemerintahan: Pertama, birokrasi sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat. Dengan peran ini, birokrasi dihadapkan pada keharusan untuk mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat lebih layak dan bermartabat. Kedua, peran birokrasi dalam fungsi pengaturan. Dengan peran ini, birokrasi banyak terlibat dalam pengarahan atau pembatasan perilaku masyarakat. Ketiga, peran birokrasi dalam pemberdayaan masyarakat. Ini sebenarnya peran birokrasi yang amat strategis, guna memampukan warga negara agar berpartisipasi dalam pembangunan pada umumnya. Keempat, peran birokrasi dalam “pendidikan” masyarakat. Dengan kegiatan pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan, birokrasi “mengajarkan” kepada masyarakat tentang kebijakan dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang senyatanya.
Dalam hal perizinan, sangat boleh jadi masyarakat atau publik pelanggan izin juga menuntut birokrasi mampu memainkan keempat peran tersebut secara baik. Jika harapan publik tidak terpenuhi, sebagaimana disinggung di muka, terpaksa melakukan kolaborasi atau kompromi dengan sistem birokrasi yang tidak beres, atau menarik diri dari sistem yang ada. Tentu saja, hal terakhir ini tidak diharapkan oleh birokrat sesungguhnya.
Mafia Perizinan: Pengertian, Operasi, dan Alasan
Istilah mafia perizinan dalam tulisan ini dipakai untuk merujuk jaringan calo atau makelar perizinan yang bergentayangan dan dengan santainya keluar-masuk dari satu instansi ke instansi lain, termasuk di pemkot Surabaya. Terlibat juga di dalamnya adalah orang-orang dalam birokrasi—yang biasanya disebut sebagai oknum—yang secara pribadi atau atas kehendak atasannya bermain dalam perbantuan layanan perizinan “cepat jadi” itu. Kuatnya jaringan di antara para makelar dan dengan oknum-oknum pemkot dalam perizinan tak pelak menyebabkannya laik dinamakan “mafia perizinan”—dan telah dilansir oleh Jawa Pos tanggal 2-5 Juli 2004 lalu.
Hampir setiap mereka duduk-duduk di pemkot Surabaya untuk mencari “mangsa” alias pelanggan izin. Dengan pakaian necis dan rapi, serta menenteng map, mereka sangat percaya diri untuk menemukan mangsa yang tepat. Sepertinya mereka sudah hapal setiap gelagat orang yang berseliweran di kantor pemkot, sehingga mampu membedakan mana yang benar-benar membutuhkan jasa mereka. Dan, jangan lupa, mereka rata-rata memiliki kecakapan komunikasi dan persuasi yang tinggi untuk memikat calon pelanggan.
Lingkup perizinan yang mereka tangani mencakup izin-izin yang banyak terkait dengan proses pembangunan, baik milik pribadi maupun untuk usaha, antara lain: izin zoning, izin mendirikan bangunan (IMB), izin gangguan atau hinder ordonantie (HO), reklame, amdal lalu lintas, amdal banjir, dan sebagainya. Untuk kepengurusan izin itu secara lengkap, mereka mematok tarif yang berbeda-beda, bergantung jenis perizinan yang ditangani, mulai ratusan ribu rupiah sampai puluhan atau ratusan juta rupiah. Dan mereka sudah memiliki mekanisme tertentu dalam pembagian hasilnya.
Meski demikian, bentuk perkara yang paling mendominasi perizinan adalah pelanggaran garis sempadan (GS) dan perubahan peruntukan lahan. Sekedar diketahui, GS adalah lahan kosong yang harus disediakan setiap bangunan. Rekayasa GS terjadi karena peniadaan lahan kosong tersebut untuk kepentingan pribadi si pemilik bangunan, dan ini tidak mungkin bisa dilakukan tanpa memperoleh izin dari pihak birokrasi pemkot. Contoh paling nyata untuk rekayasa GS adalah bangunan di Jl. Kusuma Bangsa No. 84 dan pertigaan Jl. Mayjend Sungkono/Jl. Pakis Argosari III. Kalau didesak, sang pejabat pasti berkelit dengan berbagi dalih pembenaran.
Untuk perubahan peruntukan lahan, mafia perizinan mampu membantu bagaimana mengubah ruang terbuka hijau (RTH), fasilitas umum (fasum) atau lahan pemukiman untuk dijadikan lahan bisnis komersial. Bangunan Jl. Welirang 14 yang kini untuk kantor perdagangan, semula diperuntukkan bagi pemukiman. Caranya, si pemilik lahan semula menjual sebagian kecil lahan itu kepada temannya. Tetangga, sekaligus temannya, itu lalu tidak berkeberatan jika ada bangunan komersial.
Mirip dengan trik itu adalah pebangunan SPBU Jl. Biliton. Semula lahan itu untuk pemukiman, tetapi akhirnya berubah menjadi SPBU yang cukup besar. Dengan peran tertentu dari mafia perizinan, HO (izin gangguan dan keramaian) pun diakali. Pemilik lahan itu menjual sebagian tanahnya kepada temannya. Teman ini kemudian membuat rumah kantor di sana. Dengan begitu, SPBU memiliki tetangga baru yang tidak berkeberatan alias menyetujui keluarnya izin HO.
Lalu, di manakah mafia perizinan beraksi? Wilayah-wilayah yang paling banyak dimanfaatkan untuk operasi mafia perizinan adalah Dinas Tata Kota, Dinas Bangunan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Bina Marga dan Utilitas Kota, Dinas Pendapatan Kota, serta Dinas Pengendalian dan Penanggulangan Banjir. Dinas-dinas inilah yang sangat dekat berkaitan dengan perizinan. Namun, tidak tertutup kemungkinan ada dinas atau instansi lain di tubuh pemkot Surabaya yang telah dijadikan sarang (perantara) mafia perizinan.
Bagaimanakah modus operandinya? Ada pemain mafia perizinan yang berkeliling mencari mangsa dari lembaga satu ke lembaga lain; tetapi ada pula yang hanya stand-by di daerah (loket) pemkot Surabaya. Ternyata, pemain-pemain individu itu juga melibatkan para staff pemkot bawahan, guna memperlancar serangkaian pengurusan perizinan. Mereka mempersuasi pejabat tertentu untuk bisa “ngakali” aturan-aturan yang berkaitan dengan, misalnya, garis sempadan dan peruntukan lahan. Karena itu, tidaklah mengherankan bila Kasi, Kasubdin, dan Kabag TU diduga mendapat setoran dari mafia perizinan, termasuk staff-nya sendiri. Begitu pula para kepala dinas juga diduga kecipratan. “Para kepala dinas memang aman, sebab yang bermain adalah sanak buahnya. Dia hanya tingal teken saja,”kata seorang makelar.
Mengapa mafia perizinan sampai terjadi? Penulis mengidentifikasi sejumlah alasan mengapa mafia perizinan hidup subur di dalam tubuh birokrasi pemkot Surabaya:
1. Pelanggan tidak tahu secara persis syarat-syarat dan biaya perizinan yang seharusnya dipenuhi. Tak jarang ada syarat dan biaya siluman yang benar-benar di luar ketentuan baku.
2. Berbelit-belitnya prosedur perizinan, membuat orang memanfaatkan jasa makelar perizinan. Kesibukan orang sering membuatnya memilih sesuatu yang praktis. Mereka lebih memilih membayar orang lain daripada menghabiskan waktu untuk antre panjang hanya menunggu proses perizinan.
3. Makelar perizinan melihat peluang untuk mencari uang dengan mudah dan cepat. Mereka mengaku, penghasilan yang bisa mereka raup dari “profesi” ini sangat menggiurkan. Terlebih, jika mangsa atau pelanggan izin yang mereka layani adalah orang yang berduit, mereka bisa mengantongi jutaan dan bahkan puluhan juta rupiah.
4. Pemkot Surabaya memberi angin kepada praktik mafia perizinan. Bahkan staff-nya ada yang terlibat dalam praktik mafia itu. Terlebih, karena tidak adanya merit-system (sistem imbaran) dalam karir birokrasi kita, pemkot mungkin “memaklumi” tindakan bawahannya untuk meraup pemasukan tambahan.
5. Regulasi (perda) yang kurang jelas dan tegas. Jika dicermati, ada beberapa perda yang mengatur tentang garis sempadan, pendirian bangunan dan peruntukan lahan, tetapi sekaligus ada yang memang membolehkan adanya perubahan peruntukan lahan.
6. Kecenderungan birokrat terseret dalam dunia politik untuk menjamin posisi aman. Di satu sisi mereka mengamankan diri dari goncangan politik, dan di sisi lain setengah hati melaksanakan tugas birokratiknya. Asal semua senang, begitu kiranya.
Paradoks Peran Birokrasi
Telah dibahas tentang seluk-beluk mafia perizinan di dalam tubuh birokrasi layanan publik pemkot Surabaya. Sekarang, kajian ini akan memaparkan bagaimana mafia perizinan telah ikut menimbulkan paradoks peran birokrasi.
Kondisi umum paradoks birokrasi mengindikasikan bahwa semakin demokratis suatu negara, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah makin melemah. Pasalnya, masyarakat makin sejahtera, makin banyak keinginan dan pilihan, makin bebas memilih, cenderung membandingkannya dengan negara lain, dan sebagainya. Singkatnya, masyarakat makin meninggalkan ketergantungannya pada pemerintah. (Priyatmoko, 2004). Dalam kondisi demikian, semestinya pemerintah (biokrasi) sadar diri dan memperbaiki imej serta melakukan pendekatan-pendekatan terhadap masyarakat. Jika sebaliknya, pemerintah pastilah makin tidak mampu memainkan peran birokratis-nya.
Mencermati praktik mafia perizinan yang terpaparkan di atas, dengan acuan peran birokrasi yang dikemukakan Ismaryati (2000: 4), penulis mencoba mengidentifikasi sejumlah paradoks peran birokrasi pemkot Surabaya berikut ini:
1. Mafia perizinan telah mengubah peran birokrasi pemkot Surabaya sebagai penyedia layanan menjadi “pengambang” layanan. Maksudnya, layanan diambangkan untuk wahana permainan negosiasi, tawar-menawar, dan kesepakatan tak sehat. Terlalu ekstrem memang, tetapi dalam kasus-kasus perizinan biaya tinggi, birokrasi bisa menjadi subordinat dan inferior dibanding si pelanggan izin. Lagi pula, jika layanan publik dipahami secara jernih, birokrasi pemkot Surabaya seharusnya meminimalkan biaya administrasi.
2. Mafia perizinan menyebabkan birokrasi pemkot Surabaya tidak mampu optimal memainkan peran pengaturan, tetapi malah mempeluangi pelanggaran. Mungkin ada slogan-slogan yang intinya meminta publik untuk mewaspadai makelar atau calo perizinan. Akan tetapi, peran birokrasi untuk mengarahkan atau membatasi perilaku publik tidaklah berjalan efektif. Mengapa? Mereka sendiri yang membiarkan praktik pelanggaran terhadap slogan-slogan atau aturan main yang telah dikeluarkan. Birokrasi meminta publik untuk mewaspadai makelar, tetapi kenyataannya mereka membiarkan mafia perizinan bergentayangan secara bebas.
3. Mafia perizinan hakikatnya mengurangi peran birokrasi pemkot Surabaya dalam pemberdayaan masyarakat, dan cenderung melakukan penguasaan dan/atau pengendalian. Dengan perizinan, masyarakat pelanggan izin sebenarnya diajak untuk mampu berpartisipasi sebagai warga negara dalam pembangunan. Jika pengurusan perizinan dioper oleh mafia perizinan, maka target pemberdayaan oleh birokrasi mengalami penyempitan atau kemunduran. Jarak antara birokrasi pemerintah dan masyarakat terasa makin jauh. Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa masyarakat makin tidak berdaya di bawah penguasaan dan/atau pengendalian birokrasi.
4. Mafia perizinan juga menyebabkan birokrasi pemkot Surabaya kehilangan peran “pendidikan” masyarakat, dan malah secara tak langsung menguatkan “pembodohan” masyarakat. Mestinya, melalui kegiatan pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan, birokrasi pemkot Surabaya bisa “mengajarkan” kepada masyarakat mengenai kebijakan dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sebenarnya. Nah, akibat maraknya mafia perizinan, masyarakat disuguhi berbagai penyelewengan dari kebijakan dan praktik pemerintahan. Masyarakat mungkin malah akan mempertanyakan akuntabilitas publik, soliditas tubuh birokrasi, serta profesionalisme.
5. Birokrasi layanan publik di pemkot Surabaya, akhirnya, belum berhasil alias gagal mengarahkan orientasi perkembangannya ke perintisan demokratisasi dan terciptanya suatu clean and good governance. Seharusnya dalam masa-masa transisi semacam ini, upaya pencapaian kepemerintahan yang bersih dan berwibawa sudah dirintis dengan meletakkan dasar-dasar pengembangan struktural-kulturalnya.
Berbagai paradoks peran birokrasi tersebut tentulah berbahaya jika dibiarkan dalam waktu yang panjang. Mereka akan berurat-berakar yang berjalin-kelindan dan akan teramat sulit terurai. Membiarkan mafia perizinan, dan sekaligus membiarkan tumbuhnya paradoks-paradoks itu, justru akan menenggelamkan kapal birokrasi pemkot Surabaya ke dalam palung laut yang menganga tajam.
Solusi Sistemik: Masihkah Diperlukan?
Melihat praktik mafia perizinan yang telah menimbulkan berbagai paradoks peran birokrasi, agaknya perlu dipertimbangkan solusi sistemik. Reformasi birokrasi layanan publik tidak cukup hanya melibatkan aspek struktural, melainkan juga aspek kultural. Secara teoretis, ada baiknya kita melihat gagasan Denharat dan Denharat (2003: 42-43) tentang The New Public Service yang menggariskan sejumlah prinsip berikut ini:
1. Layanilah warga (negara), bukan pelanggan;
2. Temukanlah apa kepentingan publik;
3. Hargailah kewargaan atas kewirausahaan;
4. Berpikirlah strategis, bertindaklah demokratis;
5. Sadarilah bahwa akuntabilitas tidak sederhana;
6. Layanilah, jangan menyetir;
7. Hargailah manusia, bukan hanya produktivitas.
Untuk kepentingan jangka panjang, butir-butir teoretis tersebut memang baik untuk dijadikan sebagai wacana memperbaiki citra birokrasi, terutama dalam aspek kultural yang menyangkut birokrat. Sementara itu, untuk solusi sistemik yang diharapkan, wacana itu perlu dikembangkan lebih lanjut ke dalam reformasi menyeluruh, termasuk dalam aspek struktural. Dan ini membutuhkan perenungan tersendiri yang mendalam.
Oleh karena itu, dalam hal ini, penulis sengaja menawarkan solusi praktis untuk mengurangi atau setidaknya mencegah makin merajalelanya praktik mafia perizinan di dalam tubuh birokrasi pemkot Surabaya.
Pertama, pemkot Surabaya seharusnya berani membedakan orientasi, dan semakin memahami bahwa perizinan adalah layanan publik/umum, bukan semata layanan komersial. Ketidakjelasan orientasi dan pemahaman ini telah menyebabkan kesalah-kaprahan dalam kategorisasi perizinan. Haruslah jelas mana perizinan yang bersifat komersial dan mana perizinan yang termasuk layanan publik.
Kedua, pemkot Surabaya perlu melakukan sosialisasi tentang syarat-syarat dan biaya pengurusan izin, agar tidak dibodohi oleh makelar-makelar yang ada. Hal ini sekaligus diupayakan untuk menunjukkan transparensi publik yang patut dibuktikan. Jika perlu, sosialisasi itu menggunakan semacam Buku Pedoman Perizinan yang baku, jelas, pasti, dan bersanksi tegas—yang dapat dibeli di toko-toko buku, bukan hanya di lembaga/instansi terkait. (Lihat Santoso dkk., 2003: 325-326).
Ketiga, pemkot seharusnya membuat perda Izin Penggunaan Bangunan (IPB) yang menceminkan keadilan bagi kepentingan banyak pihak. Selama ini perda-perda terkait, konon, banyak sekali celahnya, sehingga memungkinkan para mafia perizinan atau oknum birokrat untuk mengakali pasal-pasal perda tersebut. Kecermatan dan ketelitian sangat dibutuhkan untuk merancang dan menyelesaikan perda yang adil bagi semua orang.
Keempat, Pemkot Surabaya melimpahkan wewenang perizinan ke tingkat kecamatan agar tidak selalu terjadi sentralisasi. Dengan desentralisasi ke tingkat kecamatan, penumpukan berkas perizinan dapat dikurangi dan/atau dihindari, dan karena itu juga mengurangi “daya tawar” para makelar perizinan. Dan ini akabn memotong berbelit-belitnya proses perizinan yang selama ini terjadi. Konon, pemkot Surabaya akan melakukan pelimpahan ini ke enam kecamatan: yakni Krembangan, Pabean Cantikan, Sukomanunggal, Semampir, Kenjeran, Mulyosari. Ke depan pelimpahan ini perlu diteruskan dengan kecamatan-kecamatan lain. Pada akhirnya pemkot Surabaya akan berfungsi sebagai koordinator dan monitor pelaksanaan perizinan di tingkat kecamatan tersebut.
Kelima, seiring dengan pelimpahan wewenang ke tingkat kecamatan itu, pemkot Surabaya perlu melakukan pengawasan yang lebih membangkitkan rasa-hormat (respect-commanding), bukannya membangkitkan rasa takut (fear-provoking). Manusia akan lebih tersentuh didekati dengan pendekatan kemanusiaan. Pengawasan itu, dengan demikian, juga mengisyaratkan pentingnya “melayani publik” (serving the public), bukan “memerintah publik” (telling the public). (Lihat Hassan, 1983: 21).
Keenam, terakhir, pemkot Surabaya urgen menyarankan pelanggan izin untuk mengurus sendiri perizinan yang dimaksudkan. Dengan mengurus sendiri, pelanggan izin akan banyak belajar dan mampu menekan biaya yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, pihak pemda secara tak langsung akan menjalankan peran birokrasi yang diharapkan banyak orang.
Sejumlah butir praktis tersebut tidak lain dan tidak bukan diarahkan untuk mendorong pemkot Surabaya agar mempercepat upayanya mewujudkan demokratisasi dan merintis penciptaan clean and good governance. Dalam bahasa Miftah Thoha (2003: 62), pemerintah yang berkarakter demikian dapat menekankan pada peran manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi. Atau, dalam bahasa Syafuan Rozi (2000: 8), tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountability) secara teratur.
Akan tetapi, sesuatu yang ideal dan pantas dilakukan belum tentu diterima secara lapang dada. Banyak kepentingan yang sering menghambat implementasi suatu gagasan brilian sekalipun. Banyak contoh, termasuk penanganan PKL di berbagai pelosok kota Surabaya, yang sebenarnya bukan karena tidak ada gagasan-gagasan brilian (karena, konon, sudah bertumpuk-tumpuk makalah dan penelitian yang menkritisi masalah PKL Surabaya) tetapi lebih karena kepentingan-kepentingan para policy maker dan decision maker yang belum memiliki keberpihakan pada gagasan-gagasan brilian tersebut. Dan, solusi penulis terhadap masalah mafia perizinan ini sama sekali bukan suatu perkecualian.
Simpulan dan Epilog
Perizinan, yang merupakan bidang garap birokrasi layanan publik, di pemkot Surabaya seharusnya membangun mekanisme dan prosedur standar yang harus diikuti oleh masyarakat atau publik pelanggan izin.
Dalam praktiknya, telah muncul mafia perizinan yang melibatkan tidak hanya individu-individu luar tetapi juga “orang-orang dalam” pemkot Surabaya sendiri yang ber-kongkalikong dengan para pejabatnya. Mereka menggunakan berbagai macam modus operandi, baik dalam memikat korban-korbannya maupun dalam upaya memperoleh izin untuk merekayasa garis sempadan dan peruntukan lahan—demi kepentingan komersial pemiliknya.
Mafia perizinan yang menggejala di tubuh birokrasi pemkot Surabaya disebabkan oleh beberapa hal: (1) ketidaktahuan dan/atau keengganan publik tentang seluk-beluk perizinan; (2) berbelit-belitnya proses perizinan yang harus dilalui; (3) ambisi makelar untuk mencari uang dengan mudah dan cepat; (4) adanya peluang dari oknum pejabat/birokrat bagi para makelar untuk melakukan aksinya; (5) ketidakjelasan Perda tentang peruntukan lahan; dan (6) kecenderungan birokrat untuk mengamankan diri dengan kompromi politik.
Praktik mafia perizinan sebenarnya mengindikasikan adanya paradoks peran birokrasi. Dalam masyarakat yang kian demokratis, tingkat kepercayaan mereka terhadap birokrasi makin menurun; maka, semestinya birokrasi layanan publik harus mengkatrol imej-nya di mata publik. Namun, celakanya, mafia perizinan di pemkot Surabaya, bukannya memperbaiki, malah semakin memperburuk imej birokrasi.
Paradoks peran birokrasi itu mencakup hal-hal berikut: (1) birokrasi bukannya penyedia layanan tetapi “pengambang” layanan, (2) birokrasi bukannya menjalankan fungsi pengaturan tetapi mempeluangi pelanggaran atau penyelewengan; (3) birokrasi bukannya memberdayakan publik tetapi malah menguasai dan/atau mengendalikan publik; (4) birokrasi bukannya “mendidik” publik tetapi malah “membodohi” publik. Selain itu, (5) birokrasi layanan publik belum mengarah secara optimal ke upaya demokratisasi dan terciptanya clean and good governance.
Kondisi demikian menuntut solusi yang proporsional, baik secara struktutal maupun kultural: mulai penegasan orientasi dan pemahaman kembalik makna perizinan, sosialiasi prosedur dan biaya perizinan, pembuatan Perda yang mencerminkan rasa keadilan, pelimpahan wewenang perizinan ke tingkat kecamatan, pengawasan yang respect-commanding, hingga pemberian himbauan kepada publik untuk mengurus perizinan sendiri. Ujung-ujungnya, tidak lain ditujukan untuk mewujudkan birokrasi layanan publik yang mendorong demokratisasi dan clean and good governance tersebut.
Sebagai epilog, ada baiknya birokrasi layanan publik pemkot Surabaya mempertimbangkan dan menerjemahkan prinsip-prinsip The New Public Service yang telah disodorkan oleh Janet V. Denharat dan Robert B. Denharat di atas. Meskipun demikian, semuanya akan berpulang kepada elit-elit pemkot Surabaya sendiri. Tanpa good-will dan political will mereka, sebagus apapun gagasan dan saran yang diberikan, hanya akan utuh sebagai gagasan dan saran bagus yang tak dimanfaatkan.
***
Daftar Acuan
Blau, Peter M. & Marshall W. Meyer. 2000. Birokrasi dalam Masyarakat
Modern.(Terj. Slamet Rijanto). Jakarta: Penerbit Prestasi Pustakaraya.
Denharat, Janet V. & Robert B. Denharat. 2003. The New Public Service:
Serving not Steering. New York: M.E. Sharpe.
Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-Organisasi Modern (Terj. Nuryatim).
Jakarta: Penerbit UI-Press.
Haryanto, Aris Tri. Dkk. 2003. “Kinerja Organisasi Pelayanan Umum (Kasus
Pelayanan KTP/KK dan Akta di Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten
Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah.” Dalam Sosiohumanika., 16A (3),
September, hlm. 631—641.
Hassan, Fuad. 1983. “Pendayagunaan Fungsi Pengawasan dalam Rangka
Disiplin pembangunan.” Dalam Prisma, Th. XII No. 2, Februari,
hlm. 14-21.
Hofstede, Geert. 1991. Cultures and Organizations: Software of the Mind.
London: McGraw-Hill Book Co.
Ismaryati, Siti. 2000. “Peranan dan Kedudukan Birokrasi dalam Era Globali-
sasi.” Dalam Masyarakat Ilmu Pemerintahan., No. 10, hlm. 3—11.
Priyatmoko. 2004. “Kuliah tentang Pengertian Birokrasi & Politik, dan Birokra-
si dalam konteks Globalisasi.” PPs Unair Surabaya, tgl. 8/29 April.
Rozi, Syafuan. 2000. “Model Reformasi Birokrasi Indonesia.” Makalah, PPW
LIPI Jakarta.
Santoso, Sam. Dkk. 2003. The Art of Corruption: Seni Korupsi di Perusahaan.
Surabaya: Penerbit Jawa Pos Press.
Suaedi, Falih. 2003. “Reformasi Birokrasi dalam Pelaksanaan Otoda: Tinjauan
Teori Kultur Administrasi.” Dalam Masyarakat Kebudayaan dan
Politik, Th. XVI No.1, Januari, hlm. 1--14.
Suhirman. 2002. “Desentralisasi dan Ekonomi Politik Perizinan: Mengambil
Hak yang Terampas.“ Dalam Jurnal Analisis Sosial., Vol. 7 No. 2, Juni,
hlm.77—106.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar