Motto:

It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Jumat, 11 Februari 2011

TIGA JAGOAN POSMO: LYOTARD, DERRIDA, FOUCAULT (Part 1)


Much. Khoiri
Pengantar
 Posmodern ditandai perubahan budaya yang terjadi sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Perubahan yang luar biasa itu dianggap telah menyebabkan dasar-dasar pemikiran yang mendasari kebudayaan modern tetapi tidak lagi memadai bagi kebudayaan yang sedang tumbuh (posmodern). Karena itu muncul berbagai kritik terhadap aspek-aspek kebudayaan modern, seperti: seni, sastra, politik, arsitektur, sosiologi dan lain-lain dengan menggunakan pemikiran baru yang disebut dengan posmodernisme (Turner 2003). Kritik-kritik itu menunjukkan bahwa posmodern secara luas telah memasuki unsur-unsur kebudayaan.

Para pemikir posmodern menyadari hal tersebut dan menuntut perubahan dalam aktivitas keilmuan dengan mempertimbangkan aspek subyektivitas, obyektivitas, aspek sosial-historis (budaya), aspek bahasa, paradigma dan kerangka konseptual yang semuanya berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Berbagai paradigma, perspektif (pluralisme ilmiah) tampil dengan memiliki cirri dan aturan permainan yang berbeda dengan paradigma ilmiah sebelumnya (Lubis, 2004: 40-41).

Secara umum ada tiga kelompok utama pemikir posmodernisme. Kelompok pertama, yang ditokohi Capra dan Carry Sukar, menegakkan pemikiran yang merevisi pemikiran modernitas; bahkan ada kecenderungan mengarah ke pemikiran pramodern (misalnya metafisika New Age, Fisika Baru). Kelompok kedua, tokoh posmodernis yang memegang pemikiran yang terkait dengan dunia sastra dan linguistik; dan memandang bahasa sebagai cermin untuk menggambarkan dunia. Realitas ingin dilaluinya. Cara melampauinya dengan mendekonstruksi gambaran dunia (tentang diri, Tuhan, makna, kebenaran). Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida termasuk pendekar-pendekar posmodernisme (selanjutnya disingkat posmo) kelompok kedua ini. Adapun kelompok ketiga adalah tokoh-tokoh posmo seperti Whitehead, Habermas, Gadamer, Rorty, Ricoueuer. Mereka memegang pemikiran yang merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan sana-sini yang dianggap perlu. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi negative modernism. Mereka juga tidak meolak sains, yang ditolaknya adalah sains sebagai ideologi atau dikenal dengan istilah saintisme.  Dengan demikian, mereka mengakui sumbangan modernisme terhadap peradaban manusia.

Tulisan berikut ini hanya akan memperbincangkan tiga pendekar posmo dari kelompok kedua, yakni Lyotard, Derrida, dan Foucault. Pemilihan tiga pendekar ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa mereka memiliki pemikiran-pemikiran yang mencolok dan bahkan mencirikhasi posmo. Uraian akan berkisar pada pokok-pokok pikiran Lyotard, Derrida dan Foucault secara berurutan, dan selanjutnya diarahkan untuk melihat mosaik relevansi (atau kemungkinan aplikasinya) untuk  berbagai kajian dalam perspektif Kajian Budaya.

Jean-Francois Lyotard
Matinya Narasi Besar,
Berkembangnya Narasi Kecil, dan
Permainan Kebenaran dalam Perspektif Posmodernisme


Sebagai salah satu pendekar posmo, Lyotard mengistilahkan postmodern sebagai pemutusan total dengan kultur modern dan bukanlah sekedar koreksi atas berbagai pemikiran dan kultur modern itu sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Habermas dan Giddens. Gagasan Lyotard sekitar posmo secara khusus terfokus pada masalah seputar posisi pengetahuan ilmiah di era yang disebut sebagai abad informasi atau teknologi tinggi yang menuntut perubahan mendasar.

Lyotard menegaskan bahwa perkembangan teknologi tinggi telah mengubah cara pandang baru terhadap realitas dan ilmu pengetahuan. Ciri utama ilmu pengetahuan posmo, menurut Lyotard, adalah hilangnya kepercayaan terhadap narasi atau cerita-cerita besar (grand-narratives, meta-narratives) dan menurutnya perlu digantikan oleh cerita-cerita dan kebenaran kecil tentang realitas.

Meta-narasi atau narasi besar, menurut Lubis (2004:56), adalah teori-teori atau konstruksi dunia  yang mencakup segala hal/masalah, dan menetapkan kriteria kebenaran dan obyektivitas ilmu pengetahuan. Narasi ini memberi tekanan pada ide kemajuan, pengetahuan dan teknologi yang kesemuanya dipercaya mampu membebaskan umat manusia dari belenggu kegelapan, kebodohan dan penindasan. Konsekwensinya, narasi-narasi lain yang berada di luar narasi besar dianggap sebagai narasi non-ilmiah. Akan tetapi narasi ini ditolak oleh para pemikir posmo seperti yang diungkapkan oleh Lyotard (Sutrisno dam Hendar 2005:238), bahwa masyarakat disusun bukan melulu berdasarkan teknologi melainkan juga seputar permainan bahasa dan wacana (wacana). Kaum posmo, termasuk Lyotard, tidak percaya lagi bahwa sains dan akal budi dapat menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan sosial atau dengannya dapat membangun tatanan dunia yang lebih baik.

Lebih jelasnya, apabila dalam era modern dominasi paradigma positivisme ilmiah (fundasionalisme epistemologi) dengan menekankan: kesatuan (bahasa, obyek, metode), keseragaman, obyektivitas, universalitas ilmiah, maka posmodern telah kehilangan kepercayaan pada narasi modern (dengan metanarasi) itu. Modernitas tidak hanya melahirkan legitimasi dalam dunia ilmiah, melainkan juga terdapat pada gagasan: emansipasi kemanusiaan (zaman Pencerahan), teleologi Spirit (Geist) pada idealisme,  kebebasan dan kemajuan, marxisme, liberalisme, dan lain-lain.

Lyotard (dalam Agger 2005:75) menyatakan, bahwa meta-narasi tentang sejarah dan masyarakat yang diungkapkan oleh kaum Marxis yang menerjemahkan Pencerahan harus diabaikan dalam dunia yang posmo, majemuk dan polivokal. Narasi besar tidak meliputi perbedaan dan variasi lokal ataupun politik otoritarian, konsisten dengan konsep milineal tentang sejarah. Sebaliknya, Lyotard lebih menyukai narasi kecil tentang fenomena sosial yang dikatakan oleh manusia sendiri pada level kehidupan dan perjuangan mereka pada tingkat lokal.

Dengan kalimat lain, bagi Lyotard (dalam Ritzer & Goodman 2004:215), posmo kemudian dimaknai sebagai ketidakpercayaan  pada berbagai bentuk meta-narasi, juga pada klaim kebenaran ilmu pengetahuan obyektif-universal. Ketidakpercayaan semacam ini didasarkan atas kesadaran akan adanya keterbatasan dan ketidakmampuan dalam melihat realitas secara utuh apa adanya, serta kenyataan bahwa ilmuwan selalu melihat realitas dari perspektif dan paradigma tertentu.  Karena itu ilmuwan mengobservasi sebagian realitas tertentu (lokal, etnis, gender, ras, kelas) berdasarkan perspektif/paradigma pilihannya; konsekwensinya: penjelasan ilmiah hanyalah berupa cerita-cerita kecil (mininarasi). Bila ada keanekaragaman perspektif/ paradigma, maka muncul keanekaragaman aturan permainan atau kriteria kebenaran (language games) narasi ilmiah (Best & Kellner 1991:175-177).

Dengan demikian, menurut Barker (2005:195-196), kebenaran makna bergantung pada tempatnya dalam permainan bahasa lokal tertentu dan tidak mungkin bersifat universal. Bagi Lyotard, pengetahuan modern mendasarkan diri pada ketertarikannya pada meta-narasi yang agung yang memiliki validitas universal, sementara itu posmo, dengan meyakini bahwa pengetahuan bersifat spesifik terhadap permainan bahasa, merangkul banyak pengetahuan lokal yang plural dan beragam. Posmo meninggalkan keyakinan terhadap skema-skema fundasional yang telah menjadi pembenaran bagi proyek-proyek rasional, ilmiah, teknologis, dan politis dalam dunia modern.

Dalam aras demikian adanya pluralisme ilmiah hanya mengembangkan skeptisisme dan relativisme pada kebenaran ilmu pengetahuan. Pandangan ilmu pengetahuan sebagai suatu kesatuan dan teori (bahasa ilmiah) sebagai korespondensi dengan realitas dianggap berakhir. Untuk mengatasi hal ini Lyotard menekankan pentingnya aspek retorik bahasa dengan menghilangkan aspek dominasi dan saling menaklukkan antar permainan bahasa (language games), dengan mengajukan suatu strategi “mikropolitik” posmarxis yang lebih radikal dan demokratis. Strategi yang dimaksud disebutnya dengan “paralogy”, yakni dengan menggerogoti permainan bahasa (paradigma) yang dominan dengan mengembangkan perbedaan dan inovasi terus-menerus. Dalam hal ini rasionalitas tidak homogen melainkan heterogen, kebenaran dan rasionalitas tidak bersifat mutlak dan universal melainkan bersifat konvensional, lokal dan sementara (Lubis 2004:82-83).

To be Continued….

Tidak ada komentar:

Promo Email

Dear friend, I want to introduce you to a website that I recently found to make big earn online. It works all around the clock, and for not just days or weeks, but for months and months, making you big of profit. $0.00 invest - earn hunders daily. It's real and easy way to make money in online. Open the link below to learn more: http://www.bux4ad.com/aft/b1d99e16/2a7dab89.html See you, Much. Khoiri