Motto:

It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Senin, 24 Januari 2011

SIKAP BAHASA, KOMPETENSI KOMUNIKATIF, DAN PEMILIHAN BAHASA


Much. Khoiri
Abstract: Language attitude, communicative competence, and language choice have a relatively close relationship. One’s language attitude and communicative conpetence can determine how s/he chooses what language to use in social communicaton and interaction. In Weinrich’s paradigm, communicative competence can be categorized as an intralinguistic factor, while language attitude as an extralinguistic factor. This study, which was conducted to Javaneve community at Perumnas Kota Baru Driyorejo Gresik, shows that communicative competence has a stronger impact on one’s language choice rather than language attitude.  It is therefore evident that, in determining one’s language choice, intralinguistic factors have a greater role than extralinguistic factors.

Key Words: language attitude, communicative competence, language choice

Pengantar

Pemilihan bahasa (language choice) lazimnya lahir akibat penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bilingual (dwibahasa) atau multilingual (multibahasa). Menurut Fasold (1984), timbulnya pemilihan bahasa disebabkan oleh terjadinya kontak bahasa, sosial, dan budaya sehingga tumbuh kelompok masyarakat tutur yang memiliki kemampuan untuk memilih bahasa atau kode bahasa dalam peristiwa tertentu, baik mempertahankan bahasa pertama  maupun melakukan pergeseran bahasa ke bahasa baru  atau mencampurkan bahasa pertama dan bahasa baru.

            Kontak bahasa, sosial, dan budaya antaretnis merupakan implikasi langsung dari mobilitas penduduk dari suatu wilayah geografis satu ke wilayah lainnya. Saat demikian terjadi pula gerakan wilayah pakai bahasa sehingga terdapat wilayah pakai bahasa yang meluas dan menyempit, bahkan ada wilayah pakai bahasa yang hilang sama sekali dan menjadi wilayah pakai bahasa lain. Tendensinya ialah bahwa bahasa-bahasa mayoritas dipelajari oleh penutur bahasa lain yang pada gilirannya melahirkan situasi masyarakat bilingual  atau multilingual.       
Masyarakat Perumnas Kota Baru Driyorejo (KBD) Gresik terlibat dalam berbagai kontak sosial dan budaya dalam situasi kebahasaan yang bilingual/ multilingual.  Mereka berasal dari berbagai daerah dan etnis yang membawa serta bahasa daerahnya masing-masing, sehingga di tempat baru ini mereka mau tak mau melakukan pemilihan bahasa dalam kehidupan sosialnya. Pemilihan bahasa ini bisa menimbulkan tindakan berupa pemertahanan  dan pergeseran bahasa daerahnya, atau pengakomodasian bahasa baru ke dalam bahasa daerahnya untuk menjadi semacam kode bahasa campuran (code-mixing).  Sementara itu, masyarakat Jawa merupakan etnik paling dominan  di Perumnas KBD Gresik ini, yang tentu saja juga mengalami  problematika dalam pemilihan bahasa.
            Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa pemilihan bahasa seseorang secara umum dideterminasi oleh faktor-faktor intralinguistik dan ekstralinguistik (Weinrich 1953).  Salah satu faktor intralinguistik adalah kompetensi komunikatif, sementara faktor ekstralinguistik bisa meliputi sikap bahasa. Agaknya menarik diungkap tentang bagaimana hubungan sikap bahasa dan kompetensi komunikatif ini berkaitan dengan pemilihan bahasa. Karena itu, tema tulisan ini dimaksudkan untuk memetakan hubungan antara sikap bahasa, kompetensi komunikatif, dan pemilihan bahasa. 
            Tulisan ini dimulai dengan uraian mengenai kajian teoretik berkaitan dengan sikap bahasa, kompetensi komunikatif, dan pemilihan bahasa. Kemudian bahasan akan diarahkan untuk menampilkan ringkasan sebagian temuan penelitian penulis yang dilakukan pada masyarakat Jawa di Perumnas Kota Baru Driyorejo Gresik.  Sebuah simpulan singkat akan dikemukakan  setelah serangkaian diskusi yang dipaparkan.

Sikap Bahasa
             Istilah ‘sikap’ seringkali digunakan masyarakat kita secara kurang tepat dan kurang proporsional. Jika sebuah keluarga bertandang ke rumah sanak-famili yang sedang memiliki hajat mantu, misalnya, si ayah atau ibu akan berpesan kepada si bungsu demikian: “Nak, nanti jangan lupa cium tangan, sungkem. Sikapmu jangan sampai memalukan.” Dalam konteks ini, cium tangan dan sungkem sebenarnya sudah termasuk tindakan psikomotorik yang nyata atau manifes. Jadi si ayah atau ibu telah menggunakan istilah ‘sikap’ di luar proporsi yang selayaknya.
             Untuk membicarakan sikap bahasa, pengertian ‘sikap’ dirujukkan pada makna katanya ketika ia dimplikasikan berkait dengan konteks interaksi sosial dan bahasa. Dalam hal ini secara jelas Baker (1988) memetakan ciri-ciri utama sikap sebagai berikut:
·         Sikap bersifat kognitif (yakni dapat dipikirkan) dan afektif (yakni melekat padanya perasaan dan emosi).
·         Sikap itu dimensional daripada bipolar—bervariasi dalam derajat favourability atau unfavourability.
·         Sikap memberi kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dalam cara tertentu, tetapi hubungan antara sikap dan tindakan bukanlah hubungan yang kuat.
·         Sikap dipelajari, tidak diwariskan atau diturunkan secara genetik.
·         Sikap cenderung persisten tetapi dapat dimodifikasi dengan pengalaman.
      Ciri-ciri tersebut menggambarkan betapa sikap sebenarnya bukanlah merupakan tindakan nyata (manifes) yang bersifat psikomotorik. Sikap masih berada dalam tahap kognisi dan afeksi. Karena itu, dalam sikap seseorang terhadap sesuatu terkandung pikiran dan perasaan senang atau tidak senang, positif atau negatif. Dialah yang mendasari seseorang untuk berbuat sesuatu, meskipun sikap dan tindakan “tidak selalu”  berkorelasi secara kuat dan signifikan.
            Sejalan dengan itu, sikap bahasa dapat didefinisikan sebagai “fungsi keyakinan” (Suharsono 1995:27). Hakikatnya, ia merupakan konstruk yang ada di dalam pikiran dwibahasawan (Oskamp 1977:14; Setiawan 2001).  Sebagai suatu konstruk, sikap bahasa tidak dapat diakses hanya dari satu respons saja tetapi harus diinferensikan dari sejumlah respons yang mencakup representasi penggunaan bahasa dan penerapan keyakinan. Dalam pengukurannya, sikap bahasa—sebagaimana sikap yang merupakan entitas abstrak—selayaknya diukur dengan menderajatkannya pada skala sikap. (Setiawan 2001).
             Untuk melacak sikap bahasa seseorang, perlu dipetakan bentuk-bentuk manifestasi dari sikap tersebut. Sejalan dengan Ellis (1997:198), manifestasi sikap seseorang dapat berupa sikap terhadap: (1) bahasa sasaran; (2) penutur bahasa sasaran; (3) budaya bahasa sasaran; (4) nilai sosial pembelajaran bahasa sasaran; (5) kegunaan-kegunaan khusus bahasa sasaran; (6) diri sendiri sebagai anggota dari budayanya sendiri.  Bentuk-bentuk manifestasi sikap bahasa tersebut merefleksikan setting sosial di mana seseorang menemukan dirinya sendiri.  Pernyataan-pernyataan investigatif dapat didesain untuk mengetahui bagaimana sikap seseorang etnis Batak, misalnya, terhadap bahasa Indonesia, penutur bahasa Indonesia, dan seterusnya (Ardiana 1995).
             Dalam kehidupan masyarakat multilingual, di mana kontak bahasa dan budaya terjadi, bahasa memiliki fungsi bukan hanya sebagai alat komunikasi dan/atau interaksi antara masyarakat penuturnya, akan tetapi juga merupakan simbol identitas sosial atau kelompok etnik, bahkan merupakan suatu emblem keanggotaan kelompok dan emblem solidaritas (Grosjean: 1982:117; Setiawan 2001). Dalam kondisi demikian, sikap bahasa yang favourable dan unfavourable bisa muncul terhadap bahasa kelompok sendiri dan bahasa orang lain. Implikasinya, orang mungkin memandang secara positif bahasa orang lain sehingga ia berminat untuk mempelajari atau menggunakannya dalam komunikasi.
             Sudah barang tentu lazimnya ada pemerian bahasa bermartabat (prestisius) dan bahasa kurang bermartabat (kurang prestisius) atau kadang disebut dengan bahasa Tinggi dan bahasa Rendah. Tumbuhlah penilaian yang ekstrem untuk membedakan kedudukan dan fungsi sosialnya. Bahasa Tinggi, misalnya, dianggap sebagai lebih indah, lebih bermartabat, lebih ekspresif, lebih logis, dan lebih baik digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan yang abstrak. Sebaliknya, bahasa Rendah dianggap kuno, tidak gramatikal, tidak bermartabat, dan sebagainya. Singkatnya, predikat-predikat yang tidak favourable acapkali diarahkan untuk mendeskripsikan bahasa Rendah, dan bukan untuk bahasa Tinggi. Karena itu wajar kiranya bila bahasa-bahasa minoritas di dalam masyarakat bilingual atau multilingual telah dijadikan objek serangan oleh kelompok yang dominan (Grosjean 1982:123; Setiawan 2001).
              Sebagai konsekwensinya, bahasa yang digunakan kelompok dominan lazimnya dipelajari baik oleh anggota masyarakat kebanyakan maupun oleh kelompok minoritas, sementara itu bahasa minoritas hanya dipelajari oleh anggota kelompok minoritas itu sendiri. Dalam konteks sosial kebahasaan di Indonesia terbukti bahwa bahasa Indonesia kini dipelajari oleh seluruh bangsa Indonesia, termasuk etnis Jawa. Sementara itu, bahasa Jawa hanya praktis dipelajari oleh masyarakat etnis Jawa. Bahkan  tidak sedikit generasi muda Jawa yang tidak lagi berminat mempelajari dan/atau menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
             Sejalan dengan pemikiran Baker (1988), kendati tidak berada dalam hubungan yang kuat dan signifikan, sikap bahasa memberikan kecenderungan seseorang untuk menunjukkan perilaku tertentu dalam berbahasa. Orang yang memiliki sikap bahasa positif terhadap bahasa Indonesia, misalnya, mungkin akan mempelajarinya saja, menggunakannya saja, atau mempelajari sekaligus menggunakannya. Sedangkan orang yang memiliki sikap bahasa negatif, mungkin dia tidak berminat menggunakannya meskipun dia terpaksa mempelajarinya. Orang Madura dengan sikap bahasa tertentu mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia logat Madura hampir di mana pun mereka berada. Inilah antara lain bukti hubungan sikap bahasa terhadap perilaku pemilihan bahasa.
             Fahri (1989), dalam penelitiannya, semula meyakini bahwa sikap bahasa mahasiswa bahasa Inggris IKIP Surabaya berkorelasi potitif terhadap prestasi belajar bahasa Inggris. Mereka mayoritas orang Jwa. Akan tetapi, ternyata penelitiannya justru menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara sikap bahasa mahasiswa dan prestasi belajar bahasa mereka. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan sebelumnya oleh Joshua A. Fishman terhadap mahasiswa Sastra Inggris Universitas Indonesia, dan hasilnya setali tiga uang alias sama saja.
             Jika belajar bahasa merupakan suatu perilaku berbahasa, dapatlah dikatakan bahwa sikap bahasa positif seseorang belum tentu berpengaruh langsung terhadap perilaku berbahasa secara positif. Namun, justru logis bahwa orang yang bersikap bahasa negatif akan cenderung menunjukkan perilaku berbahasa yang negatif pula. Artinya, seseorang yang tidak suka bahasa Inggris lazimnya tidak akan belajar bahasa Inggris dengan giat dan meraih prestasi terbaik di kelasnya.
             Akan tetapi, sejalan dengan pemikiran Baker (1988) di atas, sikap bahasa diperoleh dan dipupuk lewat proses pembelajaran, serta dapat dimodifikasi dengan pengalaman (berbahasa). Dalam pandangan ini, pendidikan memiliki peran tertentu di dalam membentuk atau membangun sikap bahasa seseorang.  Bangsa Indonesia, yang berasal dari berbagai etnis dan bahasa daerah, kini cenderung menggunakan bahasa Indonesia dalam hampir semua situasi dan peristiwa komunikasi. Ini semua berkat peran pendidikan yang mewajibkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Orang tua yang beretnis Jawa pun, misalnya, tidak selalu bangga mengajarkan pemakaian bahasa Jawa di rumah karena mereka khawatir anaknya akan ketinggalan pelajaran di sekolah.

Kompetensi Komunikatif
            Chomsky (1965) secara rapi memecahkan kajian sistem kaidah bahasa dari studi kaidah sosial yang menentukan penggunaan bahasa secara kontekstual. Dia melakukan hal ini dengan membuat pembedaan antara kompetensi (competence) dan performansi (performance), sama halnya antara kompetensi komunikatif (communicative competence) dan performansi komunikatif (communicative performance). Menurut Chomsky, ‘kompetensi’ terdiri atas representasi mental aturan-aturan linguistik yang mendasari tata-bahasa internal penutur-pendengar. Tata-bahasa ini lebih bersifat implisit daripada eksplisit dan terbukti ada dalam intuisi-intuisi yang dimiliki penutur-pendengar tentang kegramatikalan kalimat. ‘Performansi’ terdiri atas pemakaian tata-bahasa ini di dalam pemahaman dan pemroduksian bahasa. Pembedaan antara kompetensi dan performansi telah dikembangkan untuk mencakup aspek-aspek komunikatif bahasa (Ellis 1997:13).
            Secara lebih sederhana, kompetensi mengacu pada pemahaman seseorang tentang sistem kaidah, sedangkan performansi berhubungan dengan penggunaan sistem kaidah itu secara sosial. Kompetensi mengacu pada manusia yang diabstraksikan dari batasan-batasan kontekstual; performansi mengacu pada manusia dalam batasan-batasan kontekstual yang menentukan tindak ujarannya. Kompetensi mengacu pada yang Ideal; performansi mengacu pada kenyataan dalam komunikasi.
             ‘Kompetensi komunikatif’ meliputi pengetahuan (knowledge) yang penutur-pendengar miliki tentang apa yang mendasari perilaku bahasa (language behavior) atau perilaku tutur (speech behavior) yang tepat dan benar, dan tentang apa yang membentuk perilaku bahasa yang efektif dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan komunikatif. Karena itu, ia mencakup pengetahuan linguistik dan pengetahuan pragmatik. Sementara itu, ‘performansi komunikatif’ terdiri atas pemakaian aktual (sesungguhnya) dari dua jenis pengetahuan ini—pengetahuan linguistik dan pragmatik—dalam memahami dan menghasilkan wacana (discourse). Dengan demikian, performansi komunikatif merupakan manifestasi dari kompetensi komunikatif seseorang dalam komunikasi, dan pada hakikatnya identik dengan perilaku bahasa.
             Berikut ini disajikan paparan yang lebih jelas mengenai kompetensi komunikatif, dengan harapan bahwa pengertian atau pemahaman mengenai performansi komunikatif juga semakin komprehensif dan utuh.
             Kompetensi komunikatif melibatkan pengetahuan tidak  saja mengenai kode bahasa, tetapi juga apa yang akan dikatakan kepada siapa, dan bagaimana mengatakannya secara benar dalam situasi tertentu. Kompetensi komunikatif berkenaan dengan pengetahuan sosial dan kebudayaan yang dimiliki penutur untuk membantu mereka menggunakan dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Seorang yang menggunakan ekspresi tabu di muka umum dan menyebabkan kejengkelan dikatakan tidak “mengetahui dengan baik”, yakni, dia tidak memperoleh kaidah tertentu untuk tindak sosial dalam penggunaan bahasa.
        Fonologi, gramatika, dan leksikon yang merupakan sasaran deskripsi linguistik tradisional hanyalah merupakan sebagian dari elemen-elemen dalam kode yang digunakan untuk komunikasi. Yang juga dimasukkan (dalam komunikasi) adalah fenomena paralinguistik dan non-verbal yang memiliki makna konvensional dalam masyarakat tutur, dan pengetahuan mengenai rentangan varian dalam semua elemen yang tersedia untuk mentransmisikan informasi sosial dan referensial. Kemampuan untuk membedakan antara varian-varian yang berfungsi sebagai pemarkah (marker) kategori sosial atau membawa makna lain dan makna yang tak signifikan, dan pengetahuan tentang makna suatu varian dalam situasi tertentu, semuanya merupakan komponen komunikatif.
             Sebagai deskripsi praktisnya, kompetensi komunikatif menjangkau baik pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu, kapan mengatakannya dan bilamana harus tetap diam, siapa yang bisa diajak bicara, bagaimana seseorang berbicara kepada orang yang status atau peranannya berbeda, perilaku non-verbal apakah yang sesuai untuk berbagai konteks, rutin-rutin apakah yang terjadi untuk alih-giliran dalam percakapan, bagaimana menawarkan bantuan atau kerjasama, bagaimana meminta dan memberi informasi, bagaimana menekankan disiplin, dan sebagainya—pendeknya, segala sesuatu yang melibatkan penggunaan bahasa dan dimensi komunikatif dalam setting sosial tertentu.
             Konsep kompetensi komunikatif perlu ditambahkan dalam konsep kompetensi kebudayaan, atau keseluruhan pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi. Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan kebudayaan sebagai makna, dan memandang semua etnografer (komunikasi) berhubungan dengan simbol (Douglas 1970; Setiawan 2001). Terlebih lagi, sistem kebudayaan hakikatnya merupakan pola simbol, dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini.
             Yang paling utama, semua aspek kebudayaan relevan dengan komunikasi, tetapi aspek-aspek yang memiliki pengaruh langsung pada bentuk-bentuk dan proses komunikatif adalah struktur sosial, nilai dan sikap yang dimiliki mengenai bahasa dan cara-cara berbicara, kerangka kategori konseptual yang berasal dari pengalaman yang sama, dan cara-cara pengetahuan dan ketrampilan (termasuk bahas) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan kepada anggota baru kelompok. Dengan kata lain, struktur sosial, nilai dan sikap individu, dan kompetensi komunikasi ikut menentukan adanya bentuk dan proses komunikasi (Troike 1970).  Meskipun demikian, kompetensi dimensi reseptif dam produktif agaknya tidak selalu koeksisten. Anggota-anggota dari masyarakat sama bisa memahami varietas bahasa yang berbeda menurut kelas sosial, daerah, jenis kelamin, usis, pekerjaan, tetapi hanya sedikit mimik muka yang berbakat yang mampu berbicara dengan mereka semua. Dalam masyarakat tutur multilingual, anggota memiliki kompetensi reseptif yang sama dalam lebih dari satu bahasa tetapi bervariasi secara luas dalam kemampuan relatifnya untuk berbicara bahasa yang satu atau bahasa lain.

Pemilihan Bahasa
           Dengan adanya berbagai varietas bahasa di dalam repertoir komunikatif masyarakat, dan berbagai subvariasi yang tersedia bagi subkelompok dan individu, para penutur haruslah memilih kode dan strategi interaksi untuk digunakan dalam konteks yang spesifik. Kemampuan untuk mengetahui alternatif dan kaidah untuk menentukan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif itu merupakan bagian dari kompetensi komunikatif penutur.
           Dengan kata lain, seseorang yang melakukan pemilihan bahasa dalam komunikasinya sebenarnya sedang menerapkan kompetensi komunikatifnya, atau sedang menunjukkan performansi komunikatifnya. Sebagai perilaku, pemilihan bahasa hakikatnya merupakan tindakan atau perilaku dalam menggunakan bahasa terpilih berdasarkan situasi yang tersedia. Karena itu, Fasold (1984) dalam Ibrahim (1992:92) menggunakan istilah “perilaku pilihan bahasa.”
           Meski demikian, untuk kajian ini, istilah ‘pemilihan bahasa’ digunakan secara praktis untuk merujuk ke performansi komunikatif dan/atau perilaku bahasa (language behavior)—kendati perilaku bahasa mengandung cakupan pengertian yang lebih luas.                          Sebuah contoh baik tentang pemilihan bahasa di dalam masyarakat bilingual atau multilingual dapat ditemukan dalam studi Blom & Gumperz (1972). Studi mereka berfokus pada pemilihan bahasa di Norwegia dimana penutur dihadapkan pada pilihan antara varietas bahasa lokal dan varietas bahasa standar (baku). Situasi ini mirip dengan Indonesia dimana masyarakat juga dihadapkan pada pilihan antara bahasa daerah sebagai bahasa ibu/pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
           Dalam hal ini, Blom & Gumperz (1972) mengajukan dua tipe pilihan kode: peralihan situasional (situational switching) dan peralihan metaforik (metaphorical switching).  Peralihan situasional digunakan untuk mengacu ke pemilihan bahasa yang bergantung pada aneka aspek situasi, termasuk pula derajat formalitas. Sebagaimana yang dipkrediksikan, ketika situasi kebahasaannya formal dan relatif bebas dari masalah pribadi, varietas bahasa standarlah yang dipilihnya, sedangkan varietas lokal dipilih tatkala situasinya informal. Peralihan metaforik digunakan untuk menjelaskan pemilihan bahasa yang ditentukan oleh hubungan para partisipan. Lazimnya partisipan yang menjadi anggota komunitas etnis tertentu, dia akan menggunakan bahasa etnis tersebut. Dalam hal ini, Blom & Gumperz (1972) menemukan, bahwa di kantor orang masih menggunakan varietas lokal (bukannya varietas standar) meskipun varietas standar semestinya justru perlu digunakan. Orang menyambut yang lain dalam varietas lokal, begitu pula saat menanyakan tentang masalah keluarga. Dalam situasi ini varietas lokal berfungsi sebagai simbol persahabatan.
           Para psikolog memiliki pandangan berbeda dalam memahami pemilihan bahasa. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, penutur menerapkan asumsi dasar pengetahuan tentang potensi linguistik lawan-bicaranya (Clyne 1991; Setiawan 2001). Asumsi semacam ini didasarkan pada Teori Akomodasi bahasa atau Speech Accomodation Theory (Giles & Smith 1979; Thakerar, Giles & Cheshire 1982). Menurut mereka, tatkala penutur mengalami proses wacana interaktif, dia mungkin akan konvergen terhadap kode bahasa lawan bicaranya, atau mungkin divergen terhadap kode bahasanya sendiri. Keputusan untuk menggunakan salah satu kode bahasa bergantung pada ongkos (cost) atau reward yang dipersepsikan akan diperolehnya.
           Sebagai ilustrasi konkretnya, situasi kebahasaan yang ada di Perumnas KotaBaru Driyorejo Gresik dapat disajikan sepintas. Seorang pendatang di tengah masyarakat tutur yang baru akan berkecimpung secara kultural (termasuk kebahasaan). Ketercimpungan itu membawa ia untuk mengalami kontak-kontak bahasa (dan kultural), dan terjadilah adaptasi antar bahasa atau antar dialek dalam komunikasi-interaksi sosial, utamanya yang bersifat informal. Dari situ, muncullah berbagai sikap dan/atau perilaku bahasa yang ia tunjukkan: kadang ia membaur dengan bahasa/dialek setempat, kadang memakai bahasa/dialek asalnya, kadang menuturkan kombinasi antar-bahasa/dialek yang ada dan berkembang, dan kadang memakai bahasa nasional yang bisa dipahami oleh berbagai kelompok penutur.
            Dalam komunikasi-interaksi sosial tersebut, orang mengidentifikasi dirinya dengan kode bahasa/dialek yang digunakan, dan kemudian akan menentukan perilaku pemilihan bahasanya yang, antara lain, berwujud apa yang disebut alih kode (code switching), misalnya peralihan dari ragam bahasa satu ke ragam bahasa lain, atau dari dialek satu ke dialek lain. Dalam masyarakat multietnis dan multilingual, kiranya tiada seorang pun yang hanya memiliki satu kode bahasa dalam repertoir-nya. Yang kerap terjadi, bahkan, adalah orang akan senantiasa terlibat dalam kontak antar-bahasa atau antar dialek.
            Sementara itu, kita mafhum, bahwa dari sekian fungsi bahasa, ada yang disebut fungsi interaksional dan fungsi informatif (Halliday 1984:17).  Ini berarti, bahwa bahasa bisa berfungsi untuk menciptakan hubungan sosial dan komunikasi-interaksi, serta untuk saling-tukar informasi di antara komunitas bahasa penuturnya. Kelancaran hubungan ini banyak dideterminasi oleh sama/mirip-tidaknya ragam bahasa yang digunakan. Komunikasi-interaksi akan lambat, atau bahkan mandek, manakala ragam bahasa yang dipakai oleh penutur-pendengar tidak bisa saling dimengerti.
            Untuk membangun interaksi sosial menjadi cukup lancar, orang akan berusaha menerapkan kemampuan integrasi sosial dengan kelompok masyarakat dimana ia tinggal. Tingkat integrasi sosial (dan psikologis) seseorang diasumsikan cukup menentukan cepat-tidaknya ia melakukan akomodasi sosial, termasuk akomodasi berbahasa.  Asumsi didasarkan pada realitas bahwa kesupelan seseorang dalam pergaulan akan banyak menentukan cepat-tidaknya ia diterima oleh lawan bicaranya.
Deskripsi di atas menunjukkan, bahwa pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual memiliki pola yang rumit dan tidak mudah dipetakan.  Akan tetapi, hakikatnya,  konvergensi dan divergensi bahasa tersebut dapat dipetakan dengan merujuk Fasold (1984:184), yakni ada tiga jenis pilihan dalam berbahasa: (1) memilih satu variasi bahasa yang sama (intra language variation), (2) alih kode (code switching), dan (3) campur kode (code mixing).  Sebelum itu, Giles dalam Setiawan (2001) mengidentifikasi tiga pola penggunaan bahasa: (1) penggunaan bahasa etnik minoritas; (2) bilingual dalam bahasa etnik dan bahasa dominan; (3) monolingual dalam dalam bahasa dominan. Sejalan dengan dua pemetaan itu, Koiri dan Fahri (1991) juga menemukan empat tipe perilaku berbahasa kaum migran Jawa di Surabaya: (i) adaptasi dan integrasi sosial dengan dialek Surabaya; (ii) divergensi berbahasa (linguistik atau psikologis) yang agak antipati terhadap dialek Surabaya; (iii) pencampuran dialek asal daerah dan dialek Surabaya; dan (iv) pemakaian bahasa Indonesia.
             Merujuk Giles (1979), Fasold (1984) dan Koiri dan Fahri (1991), dapatlah dikemukakan, bahwa seorang anggota masyarakat berkemungkinan menerapkan pemilihan bahasa berikut ini: (1) menggunakan bahasa daerah/pertamanya (divergen); (2) menggunakan bahasa daerah/pertamanya dan bahasa Indonesia (konvergen); dan (3) menggunakan bahasa Indonesia (konvergen).  Pola pemilihan bahasa semacam ini diprediksikan akan dapat ditemukan dalam penelitian.
           Dalam konteks semacam ini Teori Akomodasi Bahasa sangat penting dalam studi ini karena ia akan mampu mendeskripsikan situasi linguistik diantara penuturnya. Aneka bahasa-etnis dan etnisitas menuntun penuturnya untuk lebih menyadari akan ongkos dan hadiah dari pemilihan bahasa yang dilakukannya. Setiap pemilihan bahasa yang diambil akan membawa konsekwensi tertentu bagi penutur bersangkutan.
           Masalahnya, apakah yang lazim mendorong orang memilih bahasa tertentu daripada bahasa lain dalam situasi tertentu? Dalam masyarakat bilingual (dwibahasa) atau multilingual (multibahasa), pemilihan bahasa dideterminasi oleh dua faktor utama: ‘intra-linguistik’ dan ‘ekstra-linguistik’ (Weinreich 1953:3; Setiawan 2001).  Intralinguistik mengacu ke profisiensi atau penguasaan penutur terhadap bahasa (sasaran) yang dimaksud.  Esktralinguistik berkaitan dengan kode-kode estetik atau etika perilaku (Smith 1973:105). Implikasinya, ketika seseorang memilih suatu bahasa daripada bahasa yang lain dalam situasi komunikasi tertentu, hal ini menunjukkan bahwa dia telah menguasai pengetahuan tentang ketepatan menggunakan bahasa-bahasa tersebut (Suharsono 1995:13). Performasi komunikatif  yang ditunjukkannya , yakni pemilihan bahasa, merupakan perwujudan atau manifestasi dari kompetensi komunikatifnya. Penutur bilingual sadar akan konsekwensi yang harus ditanggungnya kalau dia menggunakan satu bahasa daripada bahasa lain.
           Dalam kerangka pandang demikian, kompetensi komunikatif dapat dikategorikan sebagai faktor intralinguistik. Adapun sikap bahasa kiranya dapat dikategorikan sebagai faktor ekstralinguistik.

Temuan Penelitian
           Dalam paparan berikut ini dikemukakan temuan penelitian penulis yang dilaksanakan dengan metode survei di dalam masyarakat Jawa di Perumnas Kota Baru Driyorejo Gresik (Khoiri, 2005). Akan tetapi, yang dikemukakan di sini terutama hanya ringkasan diskusi yang berkaitan dengan hubungan antara sikap bahasa dan pemilihan bahasa, serta antara kompetensi komunikatif dan pemilihan bahasa.
A.   Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa
            Sikap bahasa memberikan kecenderungan seseorang untuk menunjukkan perilaku tertentu dalam berbahasa. Orang yang memiliki sikap bahasa positif terhadap bahasa Jawa, misalnya, mungkin akan mempelajarinya saja, menggunakannya saja, atau mempelajari sekaligus menggunakannya. Sedangkan orang yang memiliki sikap bahasa negatif, mungkin dia tidak berminat menggunakannya meskipun dia terpaksa mempelajarinya.
            Ditemukan dalam analisis penulis, bahwa sikap bahasa responden berpengaruh signifikan  terhadap perilaku pemilihan bahasa. Kontribusinya sedang. Hanya sikap bahasa negatif dan netral terhadap bahasa Jawa yang pengaruhnya sangat signifikan, sedangkan sikap positif dan sangat positif memberikan pengaruh tidak signifikan.
            Kontribusi pengaruh yang sedang menunjukkan, bahwa sikap bahasa bukan satu-satunya faktor yang menentukan pemilihan bahasa responden. Dalam kedudukannya sebagai faktor ekstralinguistik, jaraknya dengan pemilihan bahasa tidaklah sedekat kompetensi komunikatif misalnya. Yang mengejutkan justru adanya temuan, bahwa sikap bahasa negatif dan netral mempengaruhi pemilihan bahasa secara signifikan. Jika dikonfrontasikan dengan pemilihan bahasa, sikap negatif memberikan kecenderungan penutur bahasa Jawa untuk perlahan-lahan mengarah ke penggunaan bahasa Indonesia. Idealnya, orang Jawa akan divergen berkat kebanggaannya pada bahasa Jawa; tetapi dalam hal ini, mereka mulai bergeser ke bahasa Indonesia. Orientasi pengasuhan anak, pengadaptasian dengan kebutuhan anak akan pendidikan, atau tuntutan pekerjaan—misalnya—ikut menyebabkan orang Jawa bersikap negatif dan netral, sehingga pemilihan bahasanya jatuh ke bahasa Jawa yang mengarah ke bahasa Indonesia.
            Akan tetapi, jika dicermati, pola umum pemilihan bahasa mengindikasikan para responden menggunakan campuran bahasa Jawa (lebih dominan) dan bahasa Indonesia (kurang dominan).  Rinciannya, responden  yang bersikap negatif  terhadap bahasa Jawa menunjukkan pola pemilihan bahasa penggunaan bahasa Jawa yang mengarah ke penggunaan bahasa Indonesia.  Untuk responden yang bersikap netral, positif, dan sangat positif, pemilihan bahasanya jatuh pada campuran bahasa Jawa (lebih dominan) dan bahasa Indonesia (kurang dominan).   
Apa maknanya? Hal tersebut mengindikasikan, bahwa lebih dari sepertiga responden yang kurang menghargai bahasa Jawa, sehingga enggan untuk menggunakannya dalam komunikasi. Yang paling kentara, kebanyakan mereka mencari posisi aman, dengan berlindung di bawah bendera nasionalisasi bahasa Indonesia, yakni melakukan pencampuran penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia—kendati bahasa Jawa masih lebih dominan.
Pemilihan bahasa campuran (campur kode) itu membuktikan sejumlah pemikiran teoretis dan kajian empirik sebelumnya. Pertama, secara teoretis, Baker (1988) menyatakan hubungan sikap dan tindakan bukanlah selalu menjadi hubungan yang kuat. Dalam konteks pembelajaran bahasa asing, Fahri (1989) juga menemukan tiadanya korelasi antara sikap bahasa mahasiswa Bahasa Inggris dan prestasi belajarnya. Dalam konteks pemakaian dialek oleh kaum urban Jawa di Surabaya, Koiri dan Fahri (1991) juga menemukan bahwa sikap bahasa bukan termasuk faktor yang sangat vital dalam perilaku berbahasa. Temuan penelitian ini, dengan konteks setting yang sama sekali berbeda, akhirnya memperkuat keyakinan bahwa sikap bahasa tidak selalu berpengaruh signifikan terhadap tindakan atau pemilihan bahasa.
Dengan kata lain, sikap bahasa negatif, netral, maupun positif mengantarkan orang Jawa di Perumnas KBD Gresik—menurut Teori Akomodasi (Giles & Smith 1979; Giles & Powesland 1997)—mengalami perilaku konvergen. Di sini terjadi antagonisme nilai dan keyakinan yang memanifestasi ke dalam sikap bahasa. Isu alamiah konflik yang dialami oleh masyarakat Jawa di Perumnas KBD Gresik, bahkan, menunjukkan suatu ironi situasi yang memprihatinkan. Sebagai orang Jawa mereka tidak lagi sangat bangga dan loyal terhadap bahasa Jawa. Karena berbagai kepentingan yang menyudutkan posisinya, termasuk nasionalisasi bahasa Indonesia, mereka kemudian menjadi lumer dan mulai bergeser ke arah penggunaan bahasa Indonesia.
Menurut Teori Interaksi Simbolik, tujuan konvergensi berbahasa ini antara lain untuk meraih makna tertentu dari penyesuaian diri dengan lawan bicara—terutama agar mendapatkan pengakuan atau penerimaan secara sosial oelh lawan bicaranya. Dengan simbol bahasa yang digunakan dalam komunikasi, terlebih lagi menyesuaikan dengan bahasa lawan bicara, keberterimaan (acceptability) orang di mata lawan bicara semakin terbuka lebar.
Hal ini selaras dengan premis kedua Teori Interaksi Simbolik (dalam Coleman 1990), bahwa makna merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia. Dalam berinteraksi (komunikasi) mereka tampaknya sudah saling memahami bahwa bahasa yang digunakan harus dimengerti satu sama lain. Kesepakatan ini, tanpa disadari, telah mengikis kebanggaan dan loyalitasnya terhadap bahasa ibu (bahasa Jawa). Dengan demikian, bahasa Jawa menjadi medium interaksi kondisional, yang digunakan sesuai dengan kondisi interaksi yang melibatkan mereka.
            Dalam pandangan Teori Pilihan Rasional (dalam Ritzer & Smart 2001;  Ritzer & Goodman 2004), masyarakat Jawa di Perumnas KBD Gresik merasakan keterbatasan sumber daya bahasa (yakni tidak selalu bisa dipahami oleh semua orang), sedangkan lembaga sosialnya (yang diwarnai heterogenitas bahasa etnik) tidak selalu kondusif untuk berbahasa Jawa, maka mereka menempuh tujuan komunikasi yang bersifat altruistik dan egoistik. Agar komunikasi lancar, mereka mungkin mengira bahwa pemilihan bahasa mereka hanya berdampak pada diri sendiri—sehingga lebih mengincar kondisi altruistik bagi peristiwa komunikasi di antara mereka dan warga etnik lain. Dalam hal ini, rasionalitas mereka menjadi terbatas. Mereka mungkin rela mengorbankan kecintaan dan loyalitas mereka kepada bahasa-budaya Jawa, untuk berakomodasi, untuk berkonvergensi, atau untuk berbaur menjadi anggota masyarakat soft-shelled di dalam pluralitas (keberagaman).


B.   Kompetensi Komunikatif dan Pemilihan Bahasa
            Dalam masyarakat bilingual (dwibahasa) atau multilingual (multibahasa), pemilihan bahasa dideterminasi oleh dua faktor utama: ‘intra-linguistik’ dan ‘ekstra-linguistik’ (Weinreich 1953:3).  Intralinguistik mengacu ke profisiensi atau penguasaan penutur terhadap bahasa (sasaran) yang dimaksud.  Esktralinguistik berkaitan dengan kode-kode estetik atau etika perilaku (Smith 1973:105). Implikasinya, ketika seseorang memilih suatu bahasa daripada bahasa yang lain dalam situasi komunikasi tertentu, hal ini menunjukkan bahwa dia telah menguasai pengetahuan tentang ketepatan menggunakan bahasa-bahasa tersebut (Suharsono 1995:13). Performasi komunikatif  yang ditunjukkannya, yakni pemilihan bahasa, merupakan perwujudan atau manifestasi dari kompetensi komunikatifnya.
            Dalam kerangka pandang ini, kompetensi komunikatif dikategorikan sebagai faktor intralinguistik. Pasalnya, kompetensi komunikatif hakikatnya merupakan kompetensi penutur tentang kaidah-kaidah kebahasaan dan bagaimana menerapkan kaidah-kaidah itu dalam situasi komunikasi. Secara teoretis, dengan demikian, kompetensi komunikatif seseorang mempengaruhi pemilihan bahasanya.
Dalam analisis ditemukan, bahwa kompetensi komunikatif responden berpengaruh sangat signifikan, dengan kontribusi tinggi, terhadap perilaku pemilihan bahasa. Baik kompetensi komunikatif rendah (sedikit) maupun cukup, apalagi baik, mempengaruhi pemilihan bahasa secara sangat signifikan.  Temuan ini merupakan bukti nyata, bahwa pemilihan bahasa atau performansi komunikatif adalah manifestasi atau perwujudan kompetensi komunikatifnya.
            Pola umum pemilihan bahasa mengindikasikan para responden menggunakan campuran atau campur kode antara bahasa Jawa (lebih dominan) dan bahasa Indonesia (kurang dominan), kecuali jika kompetensi komunikatifnya sangat baik—dimana bahasa Indonesianya lebih dominan daripada bahasa Jawa..  Secara rinci dapat dikemukakan, responden  yang berkompetensi komunikatif  sedikit menunjukkan penggunaan bahasa Jawa yang mengarah ke penggunaan bahasa Indonesia.  Untuk responden yang berkompetensi komunikatif cukup, dan berkompetensi komunikatif baik, pemilihan bahasanya jatuh pada campuran bahasa Jawa (lebih dominan) dan bahasa Indonesia (kurang dominan). Adapun responden yang berkompetensi komunikatif sangat baik pemilihan bahasa Indonesianya lebih dominan dan mengarah ke penggunaan bahasa Indonesia secara penuh.
Menurut Teori Pilihan Rasional, pemilihan bahasa yang cenderung ke penggunaan campuran bahasa Jawa-bahasa Indonesia dilakukan sesuai dengan kondisi tindakan. Mereka tidak mungkin menempuh kondisi parametrik yang tanpa mempedulikan lawan bicara dalam komunikasi. Sebaliknya, mereka membuat perhitungan bagaimana lawan bicara akan bertindak atau berkeputusan dalam berbahasa. Karena itulah, mereka menetapkan pilihan strategis: yakni menggunakan bahasa campuran itu untuk menciptakan keluwesan dan suasana kondusif untuk saling terbuka dalam komunikasi. Dengan kondisi tindakan demikian, mereka bisa leluasa berbicara dalam bahasa Jawa jika lawan bicaranya berbahasa Jawa, dan dalam bahasa Indonesia jika lawan bicaranya berbahasa Indonesia, atau bahkan menggunakan campuran kedua-duanya. Dalam konteks ini, pilihan merupakan proses pengoptimalan. Teori Interaksi Simbolik juga memandang bahwa mereka melakukan campur kode bahasa itu karena melihat makna dan manfaat yang diperolehnya.
            Adapun dalam pandangan Teori Akomodasi, orang yang berkompetensi komunikatif rendah masih memiliki perilaku divergen, menarik diri ke dalam sistem kaidah bahasa dan budaya Jawa—tetapi mulai mengarah ke perilaku konvergen. Kompetensi komunikatif yang cukup dan baik melakukan konvergensi bahasa, yakni menggunakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sedangkan yang berkompetensi komunikatif sangat baik melakukan perilaku paling konvergen, yakni menggunakan bahasa Indonesia secara total. Kelompok terakhir ini, sebagai kelompok soft shelled, menjadi kelompok yang berseberangan dengan kelompok penjunjung divergensi bahasa. Sebagaimana diketahui, proses akomodasi hakikatnya juga proses pemeliharaan status kelompok.

Simpulan
Berdasarkan diskusi di atas, dapatlah digariswahi bahwa kendati sikap bahasa dan kompetensi komunikatif berperan dalam menentukan pemilihan bahasa seseorang, kompetensi komunikatif berperan lebih besar dari pada sikap bahasa. Kompetensi komunikatif merupakan kemampuan dasar komunikasi yang tidak boleh tidak ada dalam diri seseorang; sehingga ia termasuk faktor intralinguistik dalam pemilihan bahasa. Pemilihan bahasa hakikatnya merupakan performansi komunikatif, sedangkan performansi komunikatif sangat ditentukan oleh kompetensi komunikatif. Sementara itu, sikap bahasa, sebagai faktor ekstralinguistik, masih memerlukan faktor-faktor lain seperti  jarak sosial, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan sejenisnya untuk memberikan pengaruh kuat terhadap pemilihan bahasa.
Dengan demikian, semakin jelas bahwa faktor intralinguistik memiliki pengaruh yang lebih menentukan terhadap pemilihan bahasa dibandingkan dengan faktor ekstralinguistik.  Kajian ini, karena itu, dalam kapasitasnya sendiri telah ikut memperkaya kajian sosial-psikologis tentang pemilihan bahasa, terutama berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Berdasarkan kajian ini, agaknya menarik untuk mengkaji bagaimana pengaruh faktor-faktor intralinguistik dan ekstralinguistik lain terhadap pemilihan bahasa. Pemerian yang cermat terhadap kedua jenis faktor linguistik ini, dalam berbagai situasi interaksi  dan ranah  kebahasaan, akan memungkinkan adanya temuan penelitian yang lebih tajam dan komprehensif.


DAFTAR PUSTAKA

Ardiana, Leo Idra. 1995. Pengukuran Sikap Bahasa. Dalam Prasasti., FBS IKIP
Surabaya, Th.V No. 19, Juli, 159-169.
Baker, C. 1988. Key Issues in Bilingualism and Bilingual Education. Clevedon, Avon:
 Multilingual Matters.
Blom, J.P. and J.J. Gumperz. 1972. Social Meaning in Linguistic Structure: Code-
Switching in Norway. Dalam J.J. Gumperz dan D.Hymes. Directions in Socio-
linguistics. New York: Holt, Rinehart & Winston, 213-250.
Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, Mass.: Massachusetts
Institute of Technology.
Clyne, J. 1982. Multilingual Australia. Melbourne: River Seine Publications.
Coleman, James. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge: Belknap Press of
 Harvard University Press.
Douglas, Mary. 1970. Natural Symbols: Explorations in Cosmology. New York: Random House.
Ellis, Rod. 1997. The Study of Second Language Acquistion. Oxford: Oxford University Press
Fahri. 1989. Language Attitude and Language Learning Achievement. Skripsi S1.
Tidak Dipublikasikan. Surabaya, FPBS IKIP Surabaya.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolingustics of Society. New York: Basil Blackwell.
Giles, H. 1979. Ethnicity Matters in Speech. Dalam Speech. London: Cambridge
University Press, hlm. 251-290.
_______ & P. Smith. 1979. Accomodatin Theory: Optimal Levels of Convergence.
Dalam H.Giles & R.S. Clair. Language and Social Psychology. Oxford: Basic Black Well, 45-65.
_______ & Peter Powesland. 1997. Accommodation Theory.  Dalam Nikolas Coupland and Adam Jaworski, ed. Sociolinguistics: A Reader and Course Book. London: Macmillan Press Ltd, 232-239
Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University Press.
Halliday, M.A.K. 1984. Explorations in the Functions of Language. London: Edward
Arnold.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Penerbit Usaha
Nasional.
Khoiri, Much. 2005. Stratifikasi Sosial dan Pemilihan Bahasa:  Studi Kasus Masya-
rakat Jawa di Perumnas Kota Baru Driyorejo. Tesis S2, Tidak Dipublikasikan, PPs Unair Surabaya.
___________. & Fahri. 1991. Sikap dan Perilaku Berbahasa di Kalangan Kaum Urban di Kota
Surabaya: Suatu Pengamatan Awal. Prasasti., FBS IKIP Surabaya, Th. I No. 2, April, 15-31.
Oskamp, S. 1977. Attitude and Opinion. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Ritzer, George and Barry Smart, ed.. 2001. Handbook of Social Theory. London: Sage Publications Ltd.
____________ & Douglas J Goodman, ed.. 2004. Teori Sosiologi Modern (edisi 6)
 (Terjemahan: Alimandan). Jakarta: Kencana.
Setiawan, Slamet. 2001. Language Shift in A Bilingual Community: The Case of
Javanese in Surabaya, East Java. Tesis MA, Tidak diterbitkan. New Zealand, The University of Auckland.
Smith, D.M. 1973. Language, Speech, and Ideology. Dalam R.W. Shuy & Fasold, ed.
Language Attitude: Current Trends and Prospects. New York: Georgetown University.
Suharsono. 1995. Attitudes of Young Javanese Towards Their Native Language. 
Tesis M.A, Tidak diterbitkan. Western Australia: Murdoch University.
Suhartono. 2005. Implikatur Percakapan Dalam Tuturan Berbahasa Indonesia Lisan
Informal Warga Masyarakat Tutur Mojokerto. Disertasi. Tidak Diterbitkan, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, PPs Universitas Negeri Malang.
Troike, Rudolph C. 1970. Receptive competence, productive competence, and  performance. Dalam
James E. Alatis, ed. Linguistics and the Teaching of Standard English to Speakers of Other Languages or Dialects. Washington DC: Georgetown University Press., 63-74.
Weinreich, U. 1953. Language in Contact. New York: Press Linguistic Circle of New York.

Tidak ada komentar:

Promo Email

Dear friend, I want to introduce you to a website that I recently found to make big earn online. It works all around the clock, and for not just days or weeks, but for months and months, making you big of profit. $0.00 invest - earn hunders daily. It's real and easy way to make money in online. Open the link below to learn more: http://www.bux4ad.com/aft/b1d99e16/2a7dab89.html See you, Much. Khoiri