Pemilihan bahasa (language choice) lazimnya lahir akibat penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bilingual (dwibahasa) atau multilingual (multibahasa). Menurut Fasold (1984), timbulnya pemilihan bahasa disebabkan oleh terjadinya kontak bahasa, sosial, dan budaya sehingga tumbuh kelompok masyarakat tutur yang memiliki kemampuan untuk memilih bahasa atau kode bahasa dalam peristiwa tertentu, baik mempertahankan bahasa pertama maupun melakukan pergeseran bahasa ke bahasa baru atau mencampurkan bahasa pertama dan bahasa baru.
Kontak bahasa, sosial, dan budaya antaretnis merupakan implikasi langsung dari mobilitas penduduk dari suatu wilayah geografis satu ke wilayah lainnya. Saat demikian terjadi pula gerakan wilayah pakai bahasa sehingga terdapat wilayah pakai bahasa yang meluas dan menyempit, bahkan ada wilayah pakai bahasa yang hilang sama sekali dan menjadi wilayah pakai bahasa lain. Tendensinya ialah bahwa bahasa-bahasa mayoritas dipelajari oleh penutur bahasa lain yang pada gilirannya melahirkan situasi masyarakat bilingual atau multilingual.
Masyarakat Perumnas Kota Baru Driyorejo (KBD) Gresik terlibat dalam berbagai kontak sosial dan budaya dalam situasi kebahasaan yang bilingual/ multilingual. Mereka berasal dari berbagai daerah dan etnis yang membawa serta bahasa daerahnya masing-masing, sehingga di tempat baru ini mereka mau tak mau melakukan pemilihan bahasa dalam kehidupan sosialnya. Pemilihan bahasa ini bisa menimbulkan tindakan berupa pemertahanan dan pergeseran bahasa daerahnya, atau pengakomodasian bahasa baru ke dalam bahasa daerahnya untuk menjadi semacam kode bahasa campuran (code-mixing). Sementara itu, masyarakat Jawa merupakan etnik paling dominan di Perumnas KBD Gresik ini, yang tentu saja juga mengalami problematika dalam pemilihan bahasa.
Dalam komunikasi-interaksi sosial tersebut, orang mengidentifikasi dirinya dengan kode bahasa/dialek yang digunakan, dan kemudian akan menentukan perilaku pemilihan bahasanya yang, antara lain, berwujud apa yang disebut alih kode (code switching), misalnya peralihan dari ragam bahasa satu ke ragam bahasa lain, atau dari dialek satu ke dialek lain. Dalam masyarakat multietnis dan multilingual, kiranya tiada seorang pun yang hanya memiliki satu kode bahasa dalam repertoir-nya. Yang kerap terjadi, bahkan, adalah orang akan senantiasa terlibat dalam kontak antar-bahasa atau antar dialek.
Sementara itu, kita mafhum, bahwa dari sekian fungsi bahasa, ada yang disebut fungsi interaksional dan fungsi informatif (Halliday 1984:17). Ini berarti, bahwa bahasa bisa berfungsi untuk menciptakan hubungan sosial dan komunikasi-interaksi, serta untuk saling-tukar informasi di antara komunitas bahasa penuturnya. Kelancaran hubungan ini banyak dideterminasi oleh sama/mirip-tidaknya ragam bahasa yang digunakan. Komunikasi-interaksi akan lambat, atau bahkan mandek, manakala ragam bahasa yang dipakai oleh penutur-pendengar tidak bisa saling dimengerti.
Untuk membangun interaksi sosial menjadi cukup lancar, orang akan berusaha menerapkan kemampuan integrasi sosial dengan kelompok masyarakat dimana ia tinggal. Tingkat integrasi sosial (dan psikologis) seseorang diasumsikan cukup menentukan cepat-tidaknya ia melakukan akomodasi sosial, termasuk akomodasi berbahasa. Asumsi didasarkan pada realitas bahwa kesupelan seseorang dalam pergaulan akan banyak menentukan cepat-tidaknya ia diterima oleh lawan bicaranya.
Deskripsi di atas menunjukkan, bahwa pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual memiliki pola yang rumit dan tidak mudah dipetakan. Akan tetapi, hakikatnya, konvergensi dan divergensi bahasa tersebut dapat dipetakan dengan merujuk Fasold (1984:184), yakni ada tiga jenis pilihan dalam berbahasa: (1) memilih satu variasi bahasa yang sama (intra language variation), (2) alih kode (code switching), dan (3) campur kode (code mixing). Sebelum itu, Giles dalam Setiawan (2001) mengidentifikasi tiga pola penggunaan bahasa: (1) penggunaan bahasa etnik minoritas; (2) bilingual dalam bahasa etnik dan bahasa dominan; (3) monolingual dalam dalam bahasa dominan. Sejalan dengan dua pemetaan itu, Koiri dan Fahri (1991) juga menemukan empat tipe perilaku berbahasa kaum migran Jawa di Surabaya: (i) adaptasi dan integrasi sosial dengan dialek Surabaya; (ii) divergensi berbahasa (linguistik atau psikologis) yang agak antipati terhadap dialek Surabaya; (iii) pencampuran dialek asal daerah dan dialek Surabaya; dan (iv) pemakaian bahasa Indonesia.
A. Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa
Ditemukan dalam analisis penulis, bahwa sikap bahasa responden berpengaruh signifikan terhadap perilaku pemilihan bahasa. Kontribusinya sedang. Hanya sikap bahasa negatif dan netral terhadap bahasa Jawa yang pengaruhnya sangat signifikan, sedangkan sikap positif dan sangat positif memberikan pengaruh tidak signifikan.
Kontribusi pengaruh yang sedang menunjukkan, bahwa sikap bahasa bukan satu-satunya faktor yang menentukan pemilihan bahasa responden. Dalam kedudukannya sebagai faktor ekstralinguistik, jaraknya dengan pemilihan bahasa tidaklah sedekat kompetensi komunikatif misalnya. Yang mengejutkan justru adanya temuan, bahwa sikap bahasa negatif dan netral mempengaruhi pemilihan bahasa secara signifikan. Jika dikonfrontasikan dengan pemilihan bahasa, sikap negatif memberikan kecenderungan penutur bahasa Jawa untuk perlahan-lahan mengarah ke penggunaan bahasa Indonesia. Idealnya, orang Jawa akan divergen berkat kebanggaannya pada bahasa Jawa; tetapi dalam hal ini, mereka mulai bergeser ke bahasa Indonesia. Orientasi pengasuhan anak, pengadaptasian dengan kebutuhan anak akan pendidikan, atau tuntutan pekerjaan—misalnya—ikut menyebabkan orang Jawa bersikap negatif dan netral, sehingga pemilihan bahasanya jatuh ke bahasa Jawa yang mengarah ke bahasa Indonesia.
Akan tetapi, jika dicermati, pola umum pemilihan bahasa mengindikasikan para responden menggunakan campuran bahasa Jawa (lebih dominan) dan bahasa Indonesia (kurang dominan). Rinciannya, responden yang bersikap negatif terhadap bahasa Jawa menunjukkan pola pemilihan bahasa penggunaan bahasa Jawa yang mengarah ke penggunaan bahasa Indonesia. Untuk responden yang bersikap netral, positif, dan sangat positif, pemilihan bahasanya jatuh pada campuran bahasa Jawa (lebih dominan) dan bahasa Indonesia (kurang dominan).
Apa maknanya? Hal tersebut mengindikasikan, bahwa lebih dari sepertiga responden yang kurang menghargai bahasa Jawa, sehingga enggan untuk menggunakannya dalam komunikasi. Yang paling kentara, kebanyakan mereka mencari posisi aman, dengan berlindung di bawah bendera nasionalisasi bahasa Indonesia, yakni melakukan pencampuran penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia—kendati bahasa Jawa masih lebih dominan.
Pemilihan bahasa campuran (campur kode) itu membuktikan sejumlah pemikiran teoretis dan kajian empirik sebelumnya. Pertama, secara teoretis, Baker (1988) menyatakan hubungan sikap dan tindakan bukanlah selalu menjadi hubungan yang kuat. Dalam konteks pembelajaran bahasa asing, Fahri (1989) juga menemukan tiadanya korelasi antara sikap bahasa mahasiswa Bahasa Inggris dan prestasi belajarnya. Dalam konteks pemakaian dialek oleh kaum urban Jawa di Surabaya, Koiri dan Fahri (1991) juga menemukan bahwa sikap bahasa bukan termasuk faktor yang sangat vital dalam perilaku berbahasa. Temuan penelitian ini, dengan konteks setting yang sama sekali berbeda, akhirnya memperkuat keyakinan bahwa sikap bahasa tidak selalu berpengaruh signifikan terhadap tindakan atau pemilihan bahasa.
Dengan kata lain, sikap bahasa negatif, netral, maupun positif mengantarkan orang Jawa di Perumnas KBD Gresik—menurut Teori Akomodasi (Giles & Smith 1979; Giles & Powesland 1997)—mengalami perilaku konvergen. Di sini terjadi antagonisme nilai dan keyakinan yang memanifestasi ke dalam sikap bahasa. Isu alamiah konflik yang dialami oleh masyarakat Jawa di Perumnas KBD Gresik, bahkan, menunjukkan suatu ironi situasi yang memprihatinkan. Sebagai orang Jawa mereka tidak lagi sangat bangga dan loyal terhadap bahasa Jawa. Karena berbagai kepentingan yang menyudutkan posisinya, termasuk nasionalisasi bahasa Indonesia, mereka kemudian menjadi lumer dan mulai bergeser ke arah penggunaan bahasa Indonesia.
Menurut Teori Interaksi Simbolik, tujuan konvergensi berbahasa ini antara lain untuk meraih makna tertentu dari penyesuaian diri dengan lawan bicara—terutama agar mendapatkan pengakuan atau penerimaan secara sosial oelh lawan bicaranya. Dengan simbol bahasa yang digunakan dalam komunikasi, terlebih lagi menyesuaikan dengan bahasa lawan bicara, keberterimaan (acceptability) orang di mata lawan bicara semakin terbuka lebar.
Hal ini selaras dengan premis kedua Teori Interaksi Simbolik (dalam Coleman 1990), bahwa makna merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia. Dalam berinteraksi (komunikasi) mereka tampaknya sudah saling memahami bahwa bahasa yang digunakan harus dimengerti satu sama lain. Kesepakatan ini, tanpa disadari, telah mengikis kebanggaan dan loyalitasnya terhadap bahasa ibu (bahasa Jawa). Dengan demikian, bahasa Jawa menjadi medium interaksi kondisional, yang digunakan sesuai dengan kondisi interaksi yang melibatkan mereka.
Dalam pandangan Teori Pilihan Rasional (dalam Ritzer & Smart 2001; Ritzer & Goodman 2004), masyarakat Jawa di Perumnas KBD Gresik merasakan keterbatasan sumber daya bahasa (yakni tidak selalu bisa dipahami oleh semua orang), sedangkan lembaga sosialnya (yang diwarnai heterogenitas bahasa etnik) tidak selalu kondusif untuk berbahasa Jawa, maka mereka menempuh tujuan komunikasi yang bersifat altruistik dan egoistik. Agar komunikasi lancar, mereka mungkin mengira bahwa pemilihan bahasa mereka hanya berdampak pada diri sendiri—sehingga lebih mengincar kondisi altruistik bagi peristiwa komunikasi di antara mereka dan warga etnik lain. Dalam hal ini, rasionalitas mereka menjadi terbatas. Mereka mungkin rela mengorbankan kecintaan dan loyalitas mereka kepada bahasa-budaya Jawa, untuk berakomodasi, untuk berkonvergensi, atau untuk berbaur menjadi anggota masyarakat soft-shelled di dalam pluralitas (keberagaman).
B. Kompetensi Komunikatif dan Pemilihan Bahasa
Dalam analisis ditemukan, bahwa kompetensi komunikatif responden berpengaruh sangat signifikan, dengan kontribusi tinggi, terhadap perilaku pemilihan bahasa. Baik kompetensi komunikatif rendah (sedikit) maupun cukup, apalagi baik, mempengaruhi pemilihan bahasa secara sangat signifikan. Temuan ini merupakan bukti nyata, bahwa pemilihan bahasa atau performansi komunikatif adalah manifestasi atau perwujudan kompetensi komunikatifnya.
Pola umum pemilihan bahasa mengindikasikan para responden menggunakan campuran atau campur kode antara bahasa Jawa (lebih dominan) dan bahasa Indonesia (kurang dominan), kecuali jika kompetensi komunikatifnya sangat baik—dimana bahasa Indonesianya lebih dominan daripada bahasa Jawa.. Secara rinci dapat dikemukakan, responden yang berkompetensi komunikatif sedikit menunjukkan penggunaan bahasa Jawa yang mengarah ke penggunaan bahasa Indonesia. Untuk responden yang berkompetensi komunikatif cukup, dan berkompetensi komunikatif baik, pemilihan bahasanya jatuh pada campuran bahasa Jawa (lebih dominan) dan bahasa Indonesia (kurang dominan). Adapun responden yang berkompetensi komunikatif sangat baik pemilihan bahasa Indonesianya lebih dominan dan mengarah ke penggunaan bahasa Indonesia secara penuh.
Menurut Teori Pilihan Rasional, pemilihan bahasa yang cenderung ke penggunaan campuran bahasa Jawa-bahasa Indonesia dilakukan sesuai dengan kondisi tindakan. Mereka tidak mungkin menempuh kondisi parametrik yang tanpa mempedulikan lawan bicara dalam komunikasi. Sebaliknya, mereka membuat perhitungan bagaimana lawan bicara akan bertindak atau berkeputusan dalam berbahasa. Karena itulah, mereka menetapkan pilihan strategis: yakni menggunakan bahasa campuran itu untuk menciptakan keluwesan dan suasana kondusif untuk saling terbuka dalam komunikasi. Dengan kondisi tindakan demikian, mereka bisa leluasa berbicara dalam bahasa Jawa jika lawan bicaranya berbahasa Jawa, dan dalam bahasa Indonesia jika lawan bicaranya berbahasa Indonesia, atau bahkan menggunakan campuran kedua-duanya. Dalam konteks ini, pilihan merupakan proses pengoptimalan. Teori Interaksi Simbolik juga memandang bahwa mereka melakukan campur kode bahasa itu karena melihat makna dan manfaat yang diperolehnya.
Adapun dalam pandangan Teori Akomodasi, orang yang berkompetensi komunikatif rendah masih memiliki perilaku divergen, menarik diri ke dalam sistem kaidah bahasa dan budaya Jawa—tetapi mulai mengarah ke perilaku konvergen. Kompetensi komunikatif yang cukup dan baik melakukan konvergensi bahasa, yakni menggunakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sedangkan yang berkompetensi komunikatif sangat baik melakukan perilaku paling konvergen, yakni menggunakan bahasa Indonesia secara total. Kelompok terakhir ini, sebagai kelompok soft shelled, menjadi kelompok yang berseberangan dengan kelompok penjunjung divergensi bahasa. Sebagaimana diketahui, proses akomodasi hakikatnya juga proses pemeliharaan status kelompok.
Simpulan
Berdasarkan diskusi di atas, dapatlah digariswahi bahwa kendati sikap bahasa dan kompetensi komunikatif berperan dalam menentukan pemilihan bahasa seseorang, kompetensi komunikatif berperan lebih besar dari pada sikap bahasa. Kompetensi komunikatif merupakan kemampuan dasar komunikasi yang tidak boleh tidak ada dalam diri seseorang; sehingga ia termasuk faktor intralinguistik dalam pemilihan bahasa. Pemilihan bahasa hakikatnya merupakan performansi komunikatif, sedangkan performansi komunikatif sangat ditentukan oleh kompetensi komunikatif. Sementara itu, sikap bahasa, sebagai faktor ekstralinguistik, masih memerlukan faktor-faktor lain seperti jarak sosial, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan sejenisnya untuk memberikan pengaruh kuat terhadap pemilihan bahasa.
Dengan demikian, semakin jelas bahwa faktor intralinguistik memiliki pengaruh yang lebih menentukan terhadap pemilihan bahasa dibandingkan dengan faktor ekstralinguistik. Kajian ini, karena itu, dalam kapasitasnya sendiri telah ikut memperkaya kajian sosial-psikologis tentang pemilihan bahasa, terutama berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Berdasarkan kajian ini, agaknya menarik untuk mengkaji bagaimana pengaruh faktor-faktor intralinguistik dan ekstralinguistik lain terhadap pemilihan bahasa. Pemerian yang cermat terhadap kedua jenis faktor linguistik ini, dalam berbagai situasi interaksi dan ranah kebahasaan, akan memungkinkan adanya temuan penelitian yang lebih tajam dan komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiana, Leo Idra. 1995. Pengukuran Sikap Bahasa. Dalam Prasasti., FBS IKIP
Surabaya, Th.V No. 19, Juli, 159-169.
Baker, C. 1988. Key Issues in Bilingualism and Bilingual Education. Clevedon, Avon:
Multilingual Matters.
Blom, J.P. and J.J. Gumperz. 1972. Social Meaning in Linguistic Structure: Code-
Switching in Norway. Dalam J.J. Gumperz dan D.Hymes. Directions in Socio-
linguistics. New York: Holt, Rinehart & Winston, 213-250.
Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, Mass.: Massachusetts
Institute of Technology.
Clyne, J. 1982. Multilingual Australia. Melbourne: River Seine Publications.
Coleman, James. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge: Belknap Press of
Harvard University Press.
Fahri. 1989. Language Attitude and Language Learning Achievement. Skripsi S1.
Tidak Dipublikasikan. Surabaya, FPBS IKIP Surabaya.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolingustics of Society. New York: Basil Blackwell.
Giles, H. 1979. Ethnicity Matters in Speech. Dalam Speech. London: Cambridge
University Press, hlm. 251-290.
_______ & P. Smith. 1979. Accomodatin Theory: Optimal Levels of Convergence.
Dalam H.Giles & R.S. Clair. Language and Social Psychology. Oxford: Basic Black Well, 45-65.
_______ & Peter Powesland. 1997. Accommodation Theory. Dalam Nikolas Coupland and Adam Jaworski, ed. Sociolinguistics: A Reader and Course Book. London: Macmillan Press Ltd, 232-239
Halliday, M.A.K. 1984. Explorations in the Functions of Language. London: Edward
Arnold.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Penerbit Usaha
Nasional.
Khoiri, Much. 2005. Stratifikasi Sosial dan Pemilihan Bahasa: Studi Kasus Masya-
rakat Jawa di Perumnas Kota Baru Driyorejo. Tesis S2, Tidak Dipublikasikan, PPs Unair Surabaya.
___________. & Fahri. 1991. Sikap dan Perilaku Berbahasa di Kalangan Kaum Urban di Kota
Surabaya: Suatu Pengamatan Awal. Prasasti., FBS IKIP Surabaya, Th. I No. 2, April, 15-31.
Oskamp, S. 1977. Attitude and Opinion. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
(Terjemahan: Alimandan). Jakarta: Kencana.
Setiawan, Slamet. 2001. Language Shift in A Bilingual Community: The Case of
Javanese in Surabaya, East Java. Tesis MA, Tidak diterbitkan. New Zealand, The University of Auckland.
Smith, D.M. 1973. Language, Speech, and Ideology. Dalam R.W. Shuy & Fasold, ed.
Language Attitude: Current Trends and Prospects. New York: Georgetown University.
Suharsono. 1995. Attitudes of Young Javanese Towards Their Native Language.
Tesis M.A, Tidak diterbitkan. Western Australia: Murdoch University.
Suhartono. 2005. Implikatur Percakapan Dalam Tuturan Berbahasa Indonesia Lisan
Informal Warga Masyarakat Tutur Mojokerto. Disertasi. Tidak Diterbitkan, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, PPs Universitas Negeri Malang.
Troike, Rudolph C. 1970. Receptive competence, productive competence, and performance. Dalam
James E. Alatis, ed. Linguistics and the Teaching of Standard English to Speakers of Other Languages or Dialects. Washington DC: Georgetown University Press., 63-74.
Weinreich, U. 1953. Language in Contact. New York: Press Linguistic Circle of New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar