Motto:

It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Rabu, 19 Januari 2011

Article Review: POTRET KEHIDUPAN MANULA DI APARTEMEN GOLDEN AGE


Much. Khoiri
Saya tertarik karya etnografi tentang manusia lanjut usia (manula) karena, pertama, saya pernah mengalami tinggal bersama manula di Warden Place House Iowa City (AS)1 , dan kedua, saya ingin melihat bagaimana Nancy Wright mendeskripsikan dunia manula di Golden Age Apartments (Apartemen Golden Age).


Judul artikel             : Golden Age Apartments: Ethnography of Older People
Author                       : Nancy Wright
Buku Sumber          : The Cultural Experience: Ethnography in  Complex   
                                       Society
Editor                         : James P. Spradley & David W. McCurdy
Penerbit                     : Science Research Association, Inc., Chicago
Tahun terbit             : 1972
Letak tulisan                        : Halaman 121--136


Untuk meninjau dan mengkritisi karya etnografi karya Nancy Wright ini, saya perlu terlebih dahulu menyajikan ringkasan dari karya etnografi tersebut. Ringkasan akan mencakup pengantar etnografer, metode field-work, kondisi fisik apartemen, siklus (kehidupan) harian, kegiatan klub sosial, keterbatasan, dan kesimpulan. Setelah menyajikan ringkasan ini, saya akan me-review atau meninjau karya etnografi ini dengan menggunakan dasar teoretis yang relevan.  Dalam review  ini saya akan kemukakan sekaligus interpretasi dan komentar saya atas karya Nancy Wright tersebut.

RINGKASAN KARYA NANCY WRIGHT


Nancy Wright memulai deskripsi etnografinya dengan pengantar dan konsep (rasional) tentang budaya, terkait dengan kehidupan manula di Apartemen Golden Age. Menurutnya, setiap kelompok [manusia atau masyarakat] menafsirkan pengalaman mereka dan mengorganisasikannya ke dalam pengetahuan sistematis. Pengetahuan ini, yakni model-model konseptual dari realitas, merupakan budaya sebuah kelompok.  “Culture is learned and shared knowledge.”2 (Budaya adalah pengetahuan yang dipelajari dan dibagi bersama.)  Ia mencakup berbagai strategi dan rencana untuk mengatasi masalah-masalah yang berulang. Kaum manula berbagi suatu budaya dimana mereka memiliki rencana-rencana untuk menghadapi masalah-masalah umum seperti merosotnya kesehatan mereka, kematian teman-sejawat, berkurangnya kebergunaan, dan meningkatnya ketidakberdayaan. Siapapun yang tinggal dengan komunitas manula akan memiliki kesempatan untuk menemukan solusi kelompok (bersama) bagi masalah-masalah umum penuaan di dalam masyarakat kita. (h. 121).

Metode Fieldwork. Nancy, sebagai etnografer, semula agak bingung menemukan suasana budaya (cultural scene) mana yang harus dijadikan objek penelitian lapangan (fieldwork). Berbagai peristiwa dan suasana di sekitar rumahnya, baginya, hanya memposisikan dia sebagai “orang luar” yang tidak memiliki akses untuk mengakrabinya. Singkatnya, semua itu tidak membuat hatinya menjatuhkan rasa tertariknya.
Kemudian dia tertarik pada sebuah gedung “baru” di antara banyak gedung tua di daerahnya. Gedung itu---Golden Age Apartments---dihuni oleh para manula. Dalam pengamatan awal, Nancy merasa simpatik dan, kemudian, empatik terhadap apa yang mereka lakukan dan alami. Mereka terkonsentrasi di dalam apartemen, tidak “menggelandang” di luar gedung3 ;sehingga ada secercah harapan untuk mengobati keterisolasian mereka selama itu. (h. 122).
            Lewat seorang teman---yang mempunyai ibu juga tinggal di apartemen jompo itu---, Nancy berkenalan dengan tiga orang informan, termasuk ibu temannya itu. Tetapi, akhirnya, karena keterbatasan waktu, di samping informan pendukung yakni para manula di apartemen tersebut, dia memutuskan hanya memilih dua orang informan kunci, yakni Mrs. Jones dan Mrs. Olson.
            Mrs. Jones (80 tahun) adalah wanita berkulit hitam, enerjetik, memakai “kruk” namun lincah, banyak bicara dan tanggap setiap kejadian sekeliling,  dan berwawasan luas tentang isu-isu mutakhir. Dia telah tinggal di apartemen itu selama 3 tahun. Karir masa-lalunya adalah menggeluti dunia anak-anak. Sementara, Mrs. Olson (75 tahun) adalah wanita yang, meski tampak baik-baik, sebenarnya kesehatannya kurang beres. Dia sangat menawan, menyenangkan, suka mengamati, dan enak diajak bicara. Selama 4 tahun di apartemen, dia dikenal sebagai organizer ulung.  Sebelum itu, dia pernah meniti karir sebagai seorang seniman, cook (ahli masak), penjual buku, dan perawat. (h. 122-123).        
            Dalam penelitiannya Nancy menerapkan metode observasi (partisipan) dan wawancara (mendalam). Dia terlibat di berbagai aktivitas yang beragam yang dilakukan oleh para manula. Untuk wawancara-mendalam (in-depth interview), dia melakukannya seminggu sekali selama sembilan minggu, ditambah enam kali dalam tiga bulan---jadi totalnya 15 kali wawancara mendalam.  Tentu saja, dia sering harus menyesuaikan diri dengan “bahasa” mereka---termasuk persepsi-persepsi tentang sesuatu berkaitan dengan wawancara (h. 123).4  Dalam hal ini, semula dia memakai teknik rekaman, dan kemudian mengubahnya menjadi teknik pencatatan (note taking)---lalu, saat terbina kedekatan emosional, dia cukup mengandalkan memori (ingatannya) untuk merekam setiap tugas-tugas etnografisnya. (h. 124).
Struktur dan Ruang Fisik.  Nancy menunjukkan dan bukan sekedar menceritakan tentang gedung ini. Gedung Apartemen Golden Age terletak di pinggir jalan besar, berhalaman luas. Ada bagian tengah (utama) dan empat sayap gedung. Dekat dengan apartemen ini ada bar, toko grosir,  toko minuman, juga rumah-rumah berlantai-dua milik penduduk setempat. Tiga blok dari gedung ini ada jalan-jalan niaga, yang didominasi oleh toko-toko obat, restoran-restoran kecil, bar, dan kantor-kantor agen sosial.
Pintu masuk gedung selalu dikunci dan hanya dibuka kalau ada orang membunyikan bel listrik (buzzer). Lewat pintu-masuk kecil, sekretaris atau manajer gedung akan merespon suara bel, menanyakan siapa yang ingin ditemui. Seluruh lantai berkarpet dan pendapanya memiliki susuran tangan (tangga) sepanjang sisi-sisinya. Segalanya tampak baru, terawat, dan siap pakai. Furnitur-nya sangat bersih, dan gorden-nya berselera warna artistik. Apartemen ini sangat tenang dan kalem. Biasanya sejumlah orang duduk-duduk di depan pintu masuk.
Gedung ini milik perseorangan dan disewakan hanya untuk manula. Mayoritas penyewa adalah wanita dan  hampir semuanya hidup sendiri. Mereka harus berusia 62 tahun atau lebih, dan mampu mengurus diri-sendiri---meskipun (dalam praktiknya) ada program nursing care.
Tak terlewatkan, Nancy juga menggambarkan area-area untuk umum, sistem keamanan, termasuk kamera televisi yang dapat digunakan untuk memantau seluruh bagian gedung. Singkatnya, gedung ini tidak hanya dimaknai sebagai struktur fisik, tetapi juga didefinisikan secara cultural. (h. 125). Dengan kata lain, struktur fisik gedung itu mengandung makna simbolik dan cultural berkaitan dengan kehidupan manula.
Selanjutnya, Nancy mendeskripsikan secara jelas dan rinci tentang bagian-bagian fisik apartemen yang dihuni oleh para manula tersebut: apa, dimana, dan untuk apa. Di lantai bawah (downstairs) terdapat dapur, ruang rekreasi, pendapa, pintu belakang, elevator, kantor-kantor gerejani, ruang cuci, dan ruang jahit (tisik).  Di lantai 1 terdapat pintu depan, ruang duduk, kantor manajer, kotak-kotak surat, pendapa-pendapa, perpustakaan, storage closets, ruang petugas, elevator, dan kamar apartemen-apartemen (efisiensi 1-2, dan kamar tidur). Sedangkan di lantai 2, 3, dan 4 terdapat  elevator, pendapa, storage closets, dan kamar apartemen-apartemen (efisien 1-2, dan kamar tidur). (h. 125-126).
Siklus (Kehidupan) Harian. Paparan deskriptif Nancy tentang siklus harian para manula menunjukkan adanya suatu denyut kehidupan. Para manula itu mempunyai aktivitas harian yang dilakukan secara teratur, baik karena hobi maupun karena dorongan untuk bersosialisasi (atau daripada tidur-tiduran di kamar yang membosankan). (h. 127).
            Bentuk-bentuk aktivitas rutin yang mereka lakukan dapat diringkaskan berikut ini:
1.      Melakukan diet makan teratur, bahkan bisa dinamakan nutrisionis.
2.      Membaca buku, kerajinan tangan, dekorasi, dan sebagainya untuk dijual atau untuk dihadiahkan kepada teman/kerabat.
3.      Merawat tanaman hias, dan taman bunga.
4.      Menerima kunjungan sanak-keluarga.
5.      Melakukan pekerjaan housekeeping (kerumah-tanggaan) seperti menyapu, mencuci, memasak, dan menyeterika.
6.      Berbelanja di supermarket (terdekat).
7.      Menghadiri (meski tidak semuanya) kegiatan-kegiatan di luar gedung yang disponsori oleh gereja setempat.
8.      Melakukan kegiatan-kegiatan rutin bersama di dalam gedung.
9.      Mengecekkan kesehatan ke dokter.
10.  Menonton TV atau saling bertamu di petang hari.  (h. 127-128).
Aktivitas-aktivitas harian di atas dijalani oleh para manula secara teratur. Akan tetapi, memang, ada pengecualian. Manula yang terlalu tua, pikun, dan terganggu kesehatan, tidak bisa mengikuti secara teratur berbagai aktivitas di atas.
Aktivitas Klub Sosial. Menurut Nancy, para manula itu sebenarnya teralienasi dari masyarakat modern---terlebih jika di masa lalu mereka aktif bekerja atau melakukan aktivitas sosial. Hubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat berubah praktis dan total---apalagi, sebagian dari mereka telah meninggal atau pindah ke daerah/kota lain. (h. 128)
            Perasaan teralienasi atau terisolasi ini tentu saja sangat menyiksa, dan karena itu harus ditemukan solusinya. Apa solusi itu? Membangun dan melakukan aktivitas-aktivitas sosial! Klub sosial merupakan organisasi para manula atau penghuni (residen) Apartemen Golden Age tersebut, yang merencanakan dan mengimplementasikan beraneka kegiatan---“apapun yang terjadi di dalam gedung.” Ada pengurus keorganisasian yang cukup lengkap yang selalu mengorganisasikan kegiatan-kegiatan yang ada. Bahkan, jika ada momen penting, mereka membentuk suatu panitia bersama.
            Nancy memetakan taksonomi kegiatan klub sosial mereka berikut ini:
(1)   Hiburan: tap dancers, square dancers, powderpuff, travel slides, hiburan setelah dinner, hiburan lain;
(2)   Makan malam atau dinners: Thanksgiving dinner, Christmas dinner, dan dinner lain;
(3)   Pesta: Halloween, ulang tahun, dan pesta bingo;
(4)   Menyanyi: Nyanyian Jumat malam, dan nyanyian himne;
(5)   Jam bhakti sosial (sosial hour);
(6)   Luncheon;
(7)   Piknik;
(8)   Pesiar atau safari (day trip). (h. 129-130).
Kedelapan jenis kegiatan klub sosial tersebut dijelaskan dengan rinci: apa maksudnya, diikuti siapa saja, dimana, kapan dilakukan, dan bagaimana. Hal ini membuktikan bahwa Nancy sangat kaya informasi mengenai hal ini. (h. 130-132).
            Nancy menegaskan bahwa fungsi klub sosial tersebut adalah untuk tetap mengkondisikan mereka pada “miniatur” masyarakat masa kini, sehingga para manula merasa termotivasi untuk selalu terlibat dalam kehidupan sosial dan tidak merasa “dialienasikan” dari masyarakat luas. Hal ini penting untuk masa-masa tua yang harus mereka jalani, di tengah masyarakat yang telanjut mengecap mereka sebagai tidak penting lagi dan kehilangan pelibatan sosial (h. 132). Struktur dan aktivitas klub sosial ini mengandung fungsi adaptif.
Keterbatasan. Nancy juga mengemukakan sejumlah keterbatasan para manula dalam mengikuti aktivitas yang dibiasakan di dalam apartemen. Sejumlah manula tidak bisa aktif dalam setiap aktivitas. Maklum orang tua! Alasannya bermacam-macam tetapi mengarah ke alasan kesehatan (sakit, sesak nafas, diabetes, pusing, kecapekan, atau pikun).
            Untuk itulah, agar tidak terlalu ketinggalan dalam aktivitas bersama, mereka ditutut untuk selalu berusaha rajin diet, medikasi (cek kesehatan), dan jalan-jalan sehat. Mereka sangat sadar akan pentingnya kesehatan.
Kesimpulan. Ini merupakan sebagian potret kehidupan di apartemen Golden Age. Penghuninya berasal dari latar-belakang yang berbeda: usia dan kondisi kesehatan, keyakinan, pengalaman, dan masa lalu. Situasi mereka saat ini bervariasi dengan adanya ikatan-ikatan mereka dengan keluarga, teman, gereja, dan organisasi-organisasi lain. Tetapi, secara umum, mereka sama-sama terisolasi atau teralienasi dari kehidupan rata-rata masyarakat Amerika, dan memiliki masalah kesehatan masing-masing. Solusi untuk masalah-masalah ini secara parsial adalah melakukan sosialisasi internal (in-house socializing) dan berbagai strategi untuk tetap menjaga kesehatan.
            Nancy juga menyimpulkan bahwa: (1) penghuni apartemen itu bersifat mandiri dan hampir seluruhnya hidup sendiri; (2) mereka mengenali aspek-aspek positif dari perubahan-perubahan sosial-teknologis yang pesat yang terjadi di masa hidupnya; (3) Manula yang muda kadang kurang menerima yang tua dalam beraktivitas klub sosial; (4) Baik manula yang muda maupun yang tua sering saling menonjolkan stereotype masing-masing akibat kurangnya exposure dari satu kelompok ke lain kelompok.
Sejauh itu, bagi Nancy si peneliti etnografi, mereka adalah individu-individu yang luar biasa. Mereka tidak tepat dinamakan sebagai manusia konservatif. Hanya kesabaran dan ketulusan untuk memahami dunia mereka, yang membuat mereka makin merasa diperhatikan dan bermanfaat sebagai manusia.


CRITICAL REVIEW


Pengantar konseptual yang dikemukakan oleh Nancy, sang etnografer, memiliki fungsi yang sangat penting untuk mengkondisikan pembaca agar memiliki kerangka pikir awal dan memahami tema tulisan, termasuk suasana budaya (cultural scene) yang akan dimasukinya. Nancy telah menggunakan saran Spradley dan McCurdy (1972) untuk memulai laporan etnografinya dengan memperkenalkan tema dan konsep mendasar tentang budaya dan suasananya.5 Dia memulai dari statemen yang sangat umum (universal), kemudian tahap-demi-tahap mengerucut ke statemen tentang peristiwa spesifik di kalangan kaum manula di Apartemen Golden Age.
            Jika diperhatikan secara seksama, Nancy memang tidak menampilkan pendahuluan secara njelimet dan bertele-tele, misalnya latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan lingkup penelitian, dan sebagainya. Dia juga tidak menyajikan secara khusus kajian pustaka (review of related literature) yang akan digunakan untuk membantu mengkonstruksi makna budaya atas objek dan peristiwa dalam penelitiannya. Dia hanya menyajikan kerangka pikir budaya yang bakal dimanfaatkan untuk mendeskripsikan berbagai aspek kehidupan manula yang akan ditelitinya di Apartemen Golden Age.
            Masalah penelitian etnografi dalam karya Nancy, memang, tidak secara eksplisit disampaikan di bagian pengantar. Akan tetapi, secara implisit, ia sebenarnya mengandung permasalahan yang hendak diangkat, yakni bagaimana seluk-beluk kehidupan manula di apartemen tersebut.

Interpretasi atas Pendekatam dan Metode Penelitian
            Dalam penelitian etnografi dikenal dua pendekatan, yakni pendekatan emik dan pendekatan etik. Pendekatan emik merupakan pendekatan yang mendasarkan penelitiannya menurut sudut pandang masyarakat atau kelompok masyarakat yang diteliti (to catch the native point of view). Sementara pendekatan etik merupakan pendekatan etnografi yang menitikberatkan sudut pandang peneliti. Salah satu dari keduanya dapat diterapkan untuk meraup data yang diperlukan. Akan tetapi, yang ideal dalam penelitian sosial adalah gabungan antara pendekatan emik dan etik (Dyson P., 2003b;  Spradley & McCurdy, 1972) atau dalam bahasa Auger (1995) “storytelling and  science.”6
            Nancy, dalam karya etnografi ini, lebih condong menggunakan pendekatan emik daripada pendekatan etik. Dia lebih mengandalkan pemerolehan data dan informasi tentang fokus penelitiannya dari sudut pandang kedua informan kuncinya dan para manula yang menghuni apartemen tersebut, serta lingkungan (sosial)  mereka.  Hal ini diakui sendiri oleh Nancy ketika dia harus banyak menyesuaikan dengan bahasa dan persepsi-persepsi kedua informannya saat melakukan wawancara:
“…Rather than imposing the analytic categories of social science on the data, I sought to discover categories directly from the informants. The result was a partial part of how members of a group organize the knowledge used to deal with their own world.” (h. 123-124).
           
Tampaknya semula Nancy juga ingin menggabungkan kedua pendekatan tersebut, tetapi ketika terjun ke penelitian lapangan, dia akhirnya memutuskan untuk memakai pendekatan emik saja. Dia tidak menerapkan kategori analitis ilmu sosial terhadap data, melainkan menemukan kategori-kategori analisisnya langsung dari informan.  Dalam penelitiannya Nancy kemudian memilih tiga aspek kategori atau domain budaya dari kehidupan manula, yakni siklus (kehidupan) harian, aktivitas klub sosial, dan keterbatasan. (h. 127-133).
            Meskipun pendekatan emik penting [dan diterapkan], Nancy juga mengikuti prosedur penelitian atau---dalam bahasa Dauber (1995)---“praktik birokratik.”7 Dia melakukan serentetan prosedur yang panjang, mulai dari persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, hingga pembuatan laporan atau karya tulis etnografi dengan gaya deskriptif-naratif-nya. Selain itu, dia juga mengikuti kaidah-kaidah penelitian etnografi pada umumnya. Terbukti, misalnya, meski berhasil bersahabat dengan informannya, Nancy tetap bersikap objektif sebagai etnografer.
Memang tidaklah mudah memotret kehidupan suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Untuk mengungkapkan potret atau peta kebudayaan suatu masyarakat atau kelompok, penelitian lapangan sangat perlu dilakukan agar diperoleh data yang akurat tentang segala sesuatu berkaitan dengan masyarakat atau kelompok tersebut.  Nancy sangat menyadari hal ini ketika awal-awal dia terjun ke lapangan.
Seorang peneliti etnografi dalam mencari data paling tidak mengenal tiga cara, yakni tanya jawab atau interview dengan anggota masyarakat yang diteliti, melihat keadaan lingkungan (fisik, sosial budaya) termasuk mengamati perilaku aktual (observasi/pengamatan), dan mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan orang pada saat peneliti sedang berada di lokasi penelitiannya. (Dyson P, 2003a: 31)
Interview, juga disebut Heyl (2001) ethnographic interviewing, bisa meliputi proyek-proyek (penelitian) dimana peneliti membangun hubungan yang baik dengan informan yang diwawancarai (interviewee), termasuk adanya rapport yang bagus, karena terdapat pertukaran pandangan secara murni, waktu, dan keterbukaan antara kedua pihak selama interview berlangsung.8  Sementara itu, observasi, terutama observasi partisipasi—menurut versi Emersion et.al (2001)---tidak hanya melibatkan pemerolehan akses dan peleburan diri ke dalam dunia (sosial) yang baru, melainkan juga menghasilkan “written accounts and descriptions that bring versions of these worlds to others.”9
            Dalam penelitiannya, Nancy menerapkan metode observasi (partisipan) dan wawancara (mendalam), yang ternyata juga sekaligus melibatkan cara ketiga ala Dyson P., yakni mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan atau dilakukan orang di lokasi penelitian.  Untuk observasi, dia memang tidak  memanfaatkan jasa kamera otomatis yang ditempatkan dalam suatu arena sosial tertentu (di dalam apartemen), tidak melakukan pengamatan dari jauh dengan menggunakan alat bantu semacam teropong, dan tidak pula bergabung dalam arena sosial manula sebagai penonton pasif. Dia berperan aktif dalam interaksi dan berbagai aktivitas yang dilakukan para manula dalam periode waktu tertentu.10
Dengan observasi partisipan, Nancy tidak hanya mampu melihat perilaku nyata/aktual (what people do) dan keadaan lingkungan serta benda fisik di dalam Apartemen Golden Age, tetapi sekaligus mampu berinteraksi dan terlibat aktif di berbagai aktivitas beragam yang dilakukan oleh para manula. Di samping melakukan wawancara-mendalam dengan kedua informan-kuncinya seminggu sekali dalam sembilan minggu, dan enam kali dalam tiga bulan, Nancy juga berbaur dalam kehidupan para manula.  Dia tidak hanya menyatu dengan komunitas manula selama waktu tertentu, melainkan juga menghasilkan catatan-catatan dan deskripsi tertulis mengenai apa yang diamatinya untuk disajikan kepada para pembaca.
            Sementara itu, dengan wawancara, Nancy dapat menggali data yang berada dalam tingkat ide atau pengetahuan orang (what people know), terutama lewat informan kunci yang telah dipilihnya: yakni Mrs. Jones dan Mrs. Olson.11  Bagi Nancy, kedua informan kunci---dengan karakter masing-masing di bagian Ringkasan tulisan ini---itulah yang diharapkan mengetahui dan akan memberikan informasi sebanyak-banyaknya tentang hal-hal (domain budaya) yang menjadi fokus penelitiannya. 
Untuk wawancara-mendalam, semula Nancy menggunakan pedoman wawancara (hal-hal pokok yang akan ditanyakan) agar percakapan tidak menyimpang jauh dari focus masalah. Dia merekam wawancara-mendalam itu. Tetapi, suasana kian hari kian berubah; maka Nancy mengubah tekniknya menjadi teknik pencatatan (note-taking) hal-hal secara umum. Lalu, ketika terbina kedekatan emosional yang makin baik, wawancaranya berlangsung bebas (free interview) yang tidak lagi menuntutnya untuk melakukan perekaman dan pencatatan terhadap materi dan/atau hasil wawancara.
            Tercermin dari paparan deskriptif-naratifnya, bahwa sebelum penelitian, Nancy telah berhasil membangun hubungan baik (rapport) dengan para manula yang menghuni apartemen tersebut, setidaknya berkenalan dengan mereka lewat ibu dari temannya. Nancy dapat mengikuti setiap aktivitas para manula itu membuktikan bahwa rapport dia cukup bagus di kalangan manula. Selain itu, Mrs. Jones dan Mrs. Olson dipilih oleh Nancy sebagai informan kunci, tentulah, karena adanya rapport positif yang telah dia bangun sebelumnya.
Terbangunnya rapport positif inilah yang telah membantu dan mempermudah tugas-tugas penelitian etnografinyanya---meski dia awalnya pernah dilematis untuk berposisi sebagai seseorang  etnografer atau seorang teman. Akan tetapi, kemudian dia tidak sampai “menjadi seperti mereka” (going native), melainkan masih mampu menjaga jarak emosional tertentu sehingga tidak berpikir dan berperasaan seperti para informannya atau manula. Dia rupanya sadar, bahwa jika dia going native, bukan tidak mungkin bahwa dia dikatakan sebagai peneliti yang gagal memainkan peran etnografer yang benar.12

Interpretasi dan Komentar atas Content Penelitian

            Dilihat dari lokasi dan cakupan deskripsi etnografi-nya, karya Nancy ini dapat dikategorikan ke dalam etnografi modern atau baru, suatu kelompok etnografi yang memfokuskan wilayah kajiannya di kawasan urban (perkotaan) dengan pendekatan emik dan/atau etik—karena itu, juga dinamakan urban ethnography.13  Domain deskripsi budayanya tidak sekompleks dan serumit domain budaya yang harus diungkapkan dalam etnografi tradisional (yang cenderung berpendekatan etik) seperti: lokasi, lingkungan alam dan demografi, asal mula dan sejarah suku bangsa, bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi.14
Tidak tereksplisitkan dengan jelas mengapa Nancy memilih urban ethnography sebagai payung penelitian etnografinya. Akan tetapi, yang pasti, dia berasal dari kota tempat penelitiannya itu. Barangkali, karena berbagai keterbatasan teknis, dia memutuskan mengambil tema kajian yang praktis dan bisa dijangkau. Terpilihlah Apartemen Golden Age itu. Maka, kemudian, untuk mengungkapkan potret atau peta kebudayaan komunitas manula di Apartemen Golden Age, Nancy melakukan penelitian lapangan (dengan pendekatan emik) agar diperoleh data yang akurat tentang segala sesuatu berkaitan kehidupan mereka. Dia sekaligus juga telah mendeskripsikan bagaimana lingkungan perkotaan seputar gedung apartemen.
Keberhasilan Nancy dalam melakukan observasi (partisipan) dan wawancara-mendalam tercermin dari betapa representatifnya deskripsi tentang gedung apartemen dan aktivitas yang berlangsung di dalamnya. Dia menunjukkan, tidak sekedar menceritakan, kondisi fisik dan lingkungan gedung apartemen Golden Age, termasuk bagian-bagian pada setiap lantai. Dia juga memaparkan makna kultural yang terkandung dalam struktur gedung tersebut. Begitu pula deskripsinya tentang berbagai aktivitas yang dialami oleh para manula, juga ditampilkan dengan rinci dan proporsional.
            Dalam menyajikan hasil investigasinya, Nancy memilih tiga domain budaya, yakni siklus (kehidupan) harian (the daily cycle), aktivitas klub sosial (social club activities), dan keterbatasan (restrictions).
            Nancy berhasil memetakan aktivitas rutin manula, seperti: melakukan diet, membaca buku, membuat kerajinan tangan dan dekorasi, merawat tanaman hias dan taman bunga, menerima kunjungan sanak-famili, mengerjakan housekeeping, berbelanja ke supermarket terdekat, menghadiri acara-acara gerejani,mengikuti kegiatan bersama di dalam gedung, mengecekkan kesehatan, menonton TV, atau saling bertamu di petang hari.
            Nancy juga memetakan taksonomi aktivitas  klub sosial mereka secara cukup rinci, yakni: hiburan (tap dancers, square dancers, powderpuff, travel slides, hiburan setelah dinner, hiburan lain); makan malam atau dinners (Thanksgiving dinner, Christmas dinner, dan dinner lain); pesta (halloween, ulang tahun, dan pesta bingo); menyanyi ( Nyanyian Jumat malam, dan nyanyian himne); Jam bhakti sosial (sosial hour); luncheon; piknik; dan pesiar atau safari (day trip).
Dan tentang restrictions, Nancy juga mengemukakan sejumlah keterbatasan para manula dalam mengikuti aktivitas yang dibiasakan di dalam apartemen. Sejumlah manula tidak bisa aktif dalam setiap aktivitas. Alasannya bermacam-macam tetapi mengarah ke alasan kesehatan (sakit, sesak nafas, diabetes, pusing, kecapekan, atau pikun). Untuk itulah, agar tidak terlalu ketinggalan dalam aktivitas bersama, mereka berusaha rajin diet, medikasi (cek kesehatan), dan jalan-jalan sehat.
Dalam hal ini, Nancy telah memberikan definisi atau pengertian tentang sub-sub bagian ketiga domain budaya tersebut, dan kemudian mengiterpretasikan makna yang terkandung di dalamnya.  Berdasarkan pemaknaan yang sepotong-sepotong, Nancy akhirnya berupaya memadukannya dalam konstruksi makna budaya mengenai kehidupan manula di Apartemen Golden Age.
Nancy mengemukakan beberapa makna budaya dari hasil penelitiannya terhadap para manula dengan keberagaman usia dan kondisi kesehatan, keyakinan, pengalaman, dan masa lalu. Pertama, para manula itu teralienasi dari masyarakat luas, dan karena itu, diperlukan in-house socializing dan program menjaga kesehatan agar mereka tetap merasa eksis diakui dan bermanfaat bagi sesama. Kedua, penghuni apartemen itu bersifat mandiri dan hampir seluruhnya hidup sendiri. Betapapun sebagian terkendalai alasan kesehatan, para manula ingin selalu mengurus diri sendiri dan bersedia terlibat dalam berbagai aktivitas bersama. Ketiga,  mereka mengenali aspek-aspek positif dari perubahan-perubahan sosial-teknologis yang pesat yang terjadi di masa hidupnya. Hal ini tak lepas dari keterlibatan mereka dalam aktivitas-aktivitas klub sosial, juga akibat kemauan mereka untuk membaca buku, menonton, berdialog, atau saling bertamu satu sama-lain. Keempat,  manula yang muda kadang kurang menerima yang tua dalam beraktivitas klub sosial. Kelima, baik manula “muda” maupun “tua” tidak jarang saling menonjolkan stereotype masing-masing akibat kurangnya exposure dari satu kelompok ke lain kelompok.
Sayang sekali, interpretasi Nancy atas fenomena kehidupan manula yang mengarah ke pemaknaan budaya itu, hanya berhenti sampai di situ, dan dia tidak merekomendasikan area-area penelitian mana yang masih layak dikembangkan di masa datang.
Oleh karena itu, saya melihat, bahwa agaknya perlu menambahkan domain-domain budaya yang lain untuk melengkapi penelitian etnografi tersebut, misalnya domain konsep diri, system kekerabatan, atau system religi. Terkait dengan hal itu, informan yang dipilih seyogianya tidak hanya dua orang wanita (meskipun telah memenuhi “syarat” kualifikasi sebagai informan), melainkan juga perlu ditambah dengan informan laki-laki.  Informan laki-laki sebenarnya akan memberikan perimbangan (balance) informasi yang digali dari informan wanita.
Saya juga memandang, bahwa secara metodologis, penelitian Nancy semestinya akan lebih komprehensif jika menggunakan pendekatan gabungan antara pendekatan emik dan etik. Berbagai informasi dan data yang diperoleh dari sudut pandang informan atau para manula secara umum, perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan/atau sudut pandang yang cerdas dari peneliti. Dengan kata lain, ketika melakukan penelitian lapangan, peneliti tidak terlalu hanyut dalam arus pandangan para manula, melainkan juga sudah mempunyai bekal budaya (cultural baggage) yang memadai.
Maka, dalam hal ini, saya menilai, bahwa penelitian Nancy ini sebenarnya masih dapat dikembangkan, tidak hanya domain budaya yang dijadikan fokus penelitian, tidak pula hanya lingkup metodologinya, melainkan juga orientasi konstruksi teoretisnya. Barangkali, penelitian etnografi ini dapat menggunakan grounded theory sebagaimana yang diajukan Glaser dan Strauss dalam Charmaz dan Mitchell (2001)15 dengan ciri-ciri definitif berikut ini:
1.      pelibatan simultan dalam pengumpulan dan analisis data;
2.      pengkodean dan kategorisasi analitis dikembangkan dari data, bukan dari hipotesis-hipotesis deduktif yang dikonsepsikan secara logis sebelumnya;
3.      pengembangan teori selama setiap tahap pengumpulan dan analisis data;
4.      adanya pembuatan-memo, suatu jembatan intermediasi antara pengkodean data dan penulisan naskah awal laporan;
5.      theoretical sampling diarahkan pada konstruksi teori, tidak pada tingkat representasi popluasi;
6.      adanya tinjauan pustaka yang dilakukan setelah mengembangkan suatu analisis independen.
           Memang, penelitian Nancy sudah memenuhi sebagian butir-butir di atas, tetapi belum secara total dan sempurna. Yang paling jelas, misalnya, Nancy belum melakukan butir (6), yakni memberikan tinjauan pustaka setelah mengembangkan analisis independen. Saya yakin, grounded theory diterapkan, besar kemungkinan bahwa karya etnografi yang dihasilkan akan lebih baik dan bermakna.

Simpulan dan Epilog
            Menciptakan karya etnografi tidaklah mudah. Persiapan matang, baik mental, fisik, maupun rencana penelitian sangat dibutuhkan. Ia juga menuntut kerja keras, kecermatan, ketelitian, dan sikap pantang menyerah untuk memperoleh data memadai, serta menuliskannya ke dalam sebuah laporan yang proporsional.
            Nancy termasuk seseorang yang mampu melampaui kendala-kendala pembuatan karya etnografi. Dari karya tulis yang dia hasilkan, tercermin kuat bahwa dia seorang etnografer yang cukup berhasil. Bahkan, dengan pendekatan emik (dan teknik observasi-partisipan dan wawancara-mendalam), serta gaya deskriptif-naratifnya, dia kemudian mampu menyajikan hasil penelitiannya ke dalam karya etnografi yang runtut dan memikat. Dia mampu menunjukkan sesuatu tentang seluk-beluk manula, bukan sekedar menceritakannya.
            Dia cukup berhasil menampilkan representasi etnografi sebagai semacam potret atau peta kebudayaan yang menggambarkan aspek-aspek kehidupan masyarakat tertentu [kaum manula] yang dapat dibaca orang luas, sehingga orang luar itu dapat mengetahui dan memahami kebudayaan lain di luar kelompoknya sendiri.
            Karya etnografi Nancy dapat dikategorikan sebagai etnografi modern yang disebut urban ethnography. Doman budaya yang dikedepankan dalam penelitian---siklus (kehidupan) harian, aktivitas klub sosial, dan keterbatasan---jauh lebih sederhana dan fleksibel daripada domain budaya yang kompleks dan rumit dalam etnografi tradisional yang berpendekatan etik.
Untuk memaknai fenomena budaya dalam kehidupan para manula, Nancy melakukan interpretasi terhadap aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam ketiga domain budaya. Makna sepotong-sepotong dari domain-domain budaya yang telah diidentifikasi kemudian dimanfaatkan untuk melakukan interpretasi dan menyusun konstruksi makna budaya yang proporsional tentang problematika dan dinamika kaum manula di Apartemen Golden Age.
            Sejauh itu, secara umum dapat dikatakan bahwa karya Nancy di atas terutama hanya sebuah deskripsi etnografi, belum merupakan analisis etnografi yang mendalam. Ia lebih merupakan dokumentasi pengetahuan budaya daripada analisis teoretis atau perbandingan lintas-budaya. Karena itu, saya melihat bahwa ia juga belum memadai untuk dikategorikan sebagai penelitian etnografi berbasis grounded theory.
            Akan tetapi, tidaklah bisa dipungkiri, bahwa kendati sederhana—dengan tema yang begitu akrab dengan kita---, karya etnografi Nancy Wright ini layak dianggap sebagai sebuah deskripsi etnografi yang menarik, berbobot, dan dapat ditindaklanjuti dengan penelitian etnografi yang lebih mendalam dan komprehensif. 
****
SUMBER ACUAN

Auger, Robert. 1995. “On Ethnography: Storytelling or Science.” Dalam
Current Anthropology, Vol. 36 No. 1, Februari, hlm. 97—114.

Charmaz, Kathy & R.G. Mitchell. 2001. “Gounded Theory in Ethnography.”
Dalam Paul Atkinson et.al. (eds). Handbook of             Ethnography. London: Sage Publications.
Dauber, Kenneth. 1995. “Bureaucratizing the Ethnographer’s Magic.” Dalam
Current Anthropology., Vol. 36 No.1, Februari, hlm. 75-86.

Dyson P., Laurentius. 2003a. “Metode Etnografi.” Dalam Masyarakat,
 Kebudayaan dan Politik., Unair, Th. XVI No. 1,  Januari, hlm. 29—38.

___________________. 2003b. “Pemahaman tentang Konsep Adat dalam
 Masyarakat Dayak: Pendekatan Etik dan Emik.” Dalam Prasasti, FBS
 Unesa, Th. XIII Vol.51, November, hlm. 385—492.

Emerson, R.M., R.I Frets, & L.L. Shaw. 2001. “Participant Observation and
Fieldnotes.” Dalam Paul Atkinson et.al. (eds). Handbook of   Ethno-graphy. London: Sage Publications.

Hallet, Tim & Gary A. Fine. 2000. “Ethnography 1900: Learning from the Field
 Research of An Old Century.” Dalam Journal of Contemporary
 Ethnography., Vol. 29 No. 5, Oktober, hlm. 593—617.

Heyl, B. Sherman. 2001. “Ethnographic Interviewing”.  Dalam Paul  Atkin-
son et.al. (eds).  Handbook of Ethnography.  London: Sage Publications.

MacDonald, Sharon. 2001. “British Social Anthropology.” Dalam Paul Atkin-
son et.al. (eds). Handbook of Ethnography. London: Sage Publications.

Spradley, J.P & D.W. McCurdy. 1972. The Cultural Experience: Ethnography
in Complex Society. Chicago: Science Research Association, Inc.

____________. 1997. Metode Etnografi. (Terjemahan Misbah Z. Elizabeth).
Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.


1 Dalam rangka keikutsertaan saya dalam International Writing Program selama beberapa bulan pada 1993 di AS, saya pernah tinggal di Warden Place House, Iowa City (AS), selama bulan Agustus 1993, sebelum kemudian saya dipindah ke Apartemen Mayflower dekat kampus University of Iowa. Tinggal bersama manula AS sangatlah mengesankan bahwa hidup bagi senior citizens atau older people atau golden ager---begitulah sebutan mereka---belum berakhir, dan bahkan masih harus selalu dihidup-hidupkan dengan berbagai aktivitas yang positif dan motivatif.
2 Pengertian budaya semacam ini belum tentu berlaku universal, tetapi lebih khusus dikemukakan Nancy untuk mengkerangkai penelitian etnografinya. Lebih dari 160 definisi budaya pernah dibahas Alfred L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam bukunya Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952)., yang kemudian banyak dirujuk oleh Koentjaraningrat untuk menyusun definisi-definisi budaya.
3  Dalam  pengamatan saya di beberapa kota dan negara bagian di  AS (Washington DC, Iowa City, Chicago, Lousiana, Santa Fe, New York, dll) pada 1993 silam, jarang saya temukan manula berkeliaran di jalan-jalan. Agaknya masyarakat AS sudah sadar akan pentingnya menempatkan orang-tua mereka ke apartemen peristirahatan yang memiliki fasilitas dan aktivitas prima. Sementara itu, sebagai negara maju, AS telah lama memerangi ‘gelandangan’ (the homeless) dan memasukkan mereka ke dalam tempat-tempat rehabilitasi. Pranata hukum  dan penunjangnya cukup menjamin berlakunya suatu tertib sosial dalam masyarakat.
4  Manula lazimnya sangat sensitif perasaraannya dan memiliki persepsi-persepsi tertentu yang tidak mudah diubah. Misalnya, mereka tidak berkenan disebut sebagai elderly people (orang jompo) yang mengisyaratkan suatu kelemahan. Merek lebih suka disebut sebagai older people atau senior citizens, atau bahkan  golden ager. Peneliti harus pandai-pandai membawakan diri., dan tak jarang harus lebih bersabar dan  mau mengalah.
5  Lihat James P. Spradley & D. W. McCurdy. The Cultural Experience: Ethnography in Complex Society. (Chicago: Science Research Association, Inc., 1972), hlm, 83.
                Lebih rinci lagi, James P. Spradley menyarankan untuk memulai laporan atau karya etnografi dengan menyajikan statemen universal, statemen deskripsi lintas-budaya, statemen tentang suatu masyarakat atau kelompok budaya, statemen tentang suasana budaya yang spesifik, statemen tentang sebuah domain budaya, dan kemudian statemen insiden spesifik. (1997: 279-283) . Dalam teropong ini, pada hakikatnya Nancy telah secara implicit memenuhi atau, setidaknya, mendekati standar yang disarankan.
6 L. Dyson P (2003b) menggambarkan pendekatan emik dan etik ini ketika menyajikan pembahasan tentang pemahaman tentang konsep adat dalam masyarakat Dayak. Pendekatan emik yang diterapkan, menurutnya, terlalu etnosentris dan tidak memenuhi asas konsistensi; karena itulah, dia juga menggunakan pendekatan etik (terutama bekal budaya yang diperolehnya lewat sumber bacaan dan penelitian sebelumnya)..
Senada dengan itu, Spradley dan McCurdy (1972: 9) menandaskan bahwa etnografi bukan semata deskripsi objektif tentang masyarakat dan perilaku mereka dari sudut pandang pengamat (observer). Ia merupakan upaya sistematik untuk menemukan pengetahuan yang telah dipelajari sekelompok masyarakat dan akan digunakan untuk mengorganisasi perilaku mereka. Inilah suatu perubahan radikal bagaimana ilmuwan melihat karya mereka.
Sementara itu, Robert Auger (1995: 112) juga menyarankan penggabungan dua pendekatan tersebut, dan menyatakan:  “Storytelling and science are necessary for a complete understanding of ethnographic realities.”
7 Lihat Kenneth Dauber. “Bureaucratizing the Ethnographer’s Magic.” Dalam Current Anthropology. (Vol. 36 No. 1, Februari 1995), hlm.75-86. Dalam tulisan ini, Dauber mengkaji banyaknya peneliti yang menggunakan pendekatan emik, dan dengan analisisnya yang meyakinkan, dia menyarankan bahwa: kendati pendekatan emik penting, haruslah memasukkannya dalam praktik-paratik birokratis (prosedural), sejalan dengan tradisi penelitian etnografi Malinowski.
8 Lihat Barbara Sherman Heyl. “Ethnographic Interviewing.” Dalam Paul Atkinson et.al. (eds). Handbook of Ethnography. (London: Sage Publications, 2001.), hlm. 369. Karena itu, Heyl menyarankan bahwa orang yang melakukan interview etnografi harus: (1)  mendengarkan baik-baik dan penuh hormat, mengembangkan engagement etis dengan para partisipan pada seluruh tahap proyek; (2) memperoleh kesadaran-diri akan peran yang harus dimainkan dalam konstruksi makna selama proses interview; (3) mengetahui cara-cara bagaimana hubungan [dengan partisipan] dan konteks sosial lebih luas dapat mempengaruhi partisipan, proses interview, dan hasil akhir proyek penelitian; (4) menyadari bahwa dialog dalam wawancara bersifat discovery (menemukan) dan hanya akan diperoleh pengetahuan parsial saja.
9 Lihat R.M. Emerson, R.I.. Fretz, dan L.L. Shaw. “Participant Observation and Fieldnotes.” Dalam Paul Atkinson et.al. (eds).. Handbook of Ethnography. (London: Sage Publications, 2001.), hlm. 352. Selain menegaskan bahwa participant observation sebagai aktivitas inti dalam penelitian-lapangan etnografis, mereka juga menyimpulkan bahwa masyarakat intelektual semakin luas mengakui penulisan fieldnotes sebagai salah satu metode utama dalam etnografi berbasis participant observation. (hlm. 365).
                Lihat pula Sharon MacDonald. “British Social Anthropology”. Dalam Paul Atkinson et.al (eds). Handbook of Ethnography. (London: Sage Publications), hlm. 22---yang memaknai etnografi (modern) bukan hanya sebagai participant observation tetapi sebagai “suatu perspektif khusus” dengan komitmen-komitmen penelitian yang mengarah ke kebergunaan dan analisis holistik.
10 Lihat L. Dyson P. “Metode Etnografi.” Dalam Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. (Unair, Th.XVI  No.1, Januari 2003), hlm.32.
11 James P. Spradley dan D.W. McCurdy (1972: 46) menegaskan bahwa pemilihan dua informan ini –bahkan satu informan pun---diperbolehkan asalkan peneliti mengingat batasan pendekatan yang ditetapkan, dan mampu mengontrol reliabilitasnya. Untuk itu, peneliti harus mampu mengurangi terjadinya kebohongan informan, sehingga peneliti wajib membina hubungan baik dengan informannya. Selain itu, peneliti seharusnya tidak mengejar pendapat pribadi informan, melainkan menggali apa yang dia [informan] pikir dipercaya atau diyakini oleh orang-orang di dalam kelompoknya.
12 L. Dyson P. (2003a: 32)  menyatakan bahwa going native merupakan kelemahan dari participant observation. Menurutnya, bila peneliti tidak mampu memisahkan antara peran peneliti dan peran masyarakat yang sedang diteliti, maka data [yang diperolehnya] cenderung kurang objektif.
13 Lihat Tim Hallet dan Gary Alan Fine. “Ethnography 1900: Learning from the Field Research of an Old Century.” Dalam Journal of Contemporary Ethnography. (Vol.29 No.5, October 2000), hlm. 593—617. Lewat kajian kritis terhadap 51 artikel etnografi yang terbit mulai 1896 hingga 1910, mereka meyimpulkan bahwa sejak akhir abad 19 dan awal abad 20, etnografi cenderung dilakukan di kota-kota (yang dianggap memiliki setting yang eksotik), bukan di area-area pedesaan..
14  Domain budaya yang berpendekatan etik ini dikemukakan oleh Koentjaranigrat (1986) sebagaimana dirujuk oleh L. Dyson P. (2003a: 33-34) untuk menjelaskan secara rinci pokok-pokok deskripsi yang perlu diperhatikan oleh peneliti etnografi (etik/tradisional)..
15 Lihat Kathy Charmaz dan R.G. Michell. “Grounded Theory in Ethnography.” Dalam Paul Atkinson et.al. (eds). Handbook of Ethnography. (London: Sage Publications, 2001), hlm.162.
               

Tidak ada komentar:

Promo Email

Dear friend, I want to introduce you to a website that I recently found to make big earn online. It works all around the clock, and for not just days or weeks, but for months and months, making you big of profit. $0.00 invest - earn hunders daily. It's real and easy way to make money in online. Open the link below to learn more: http://www.bux4ad.com/aft/b1d99e16/2a7dab89.html See you, Much. Khoiri