Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan 13.667 pulau besar dan 6.044 pulau kecil (Suryadi 2006:5), ibarat sebuah rumah besar yang bernama NKRI yang memiliki beratus-ratus kamar yang dihuni oleh berbagai kelompok etnik atau sukubangsa, sehingga dapat dikatakan sebagai ‘bangsa dari banyak bangsa’ (Sutarto 2006). Jumlah sukubangsa yang tersebar di pulau-pulau tersebut di Indonesia, menurut Bruner (1972), Kennedy (1974) dan Koentjaraningrat (1975) seperti dikutip oleh Warnaen (2002), adalah sekitar 300 suku bangsa. Sedangkan menurut laporan Suparlan (2001), jumlahnya lebih dari 500 sukubangsa. Penambahan jumlah ini agaknya tak lepas dari perkembangan dari upaya identifikasi etnik yang dilakukan.
Fakta tersebut mengimplikasikan bahwa, selain sukubangsa-sukubangsa yang besar dan dominan secara politik dan budaya dalam integrasinya dengan budaya nasional NKRI, terdapat sukubangsa-sukubangsa yang lemah atau dilemahkan yang disebut Schefold (1998) sebagai ‘masyarakat terasing’. Dalam posisinya yang lemah politik dan budaya akibat perjalanan historis bangsa, masyarakat terasing mengalami dekulturasi yang hebat dan bahkan sudah kehilangan beberapa aspek budaya tradisional yang menjadi identitasnya. Jika tidak diperhatikan, mereka mungkin tergolong satu dari sukubangsa di dunia yang tersisa hanya 15.000 buah, merosot tajam dibandingkan jumlah pada dekade atau abad sebelumnya. Itu pun diperkirakan begini: “But the world’s tribes are dying out or being absorbed into modern cicilization.” (Suku-suku bangsa di dunia sedang sekarat atau mendekati kematian atau sedang tersedot ke dalam peradaban modern.) (Majalah Time 23 September 1991, dikutip Khoiri 1993:7-8).
Masyarakat terasing, dengan demikian, mengalami nasib dan ruang hidup yang sangat memprihatinkan dan bahkan menyedihkan. Barangkali dapat dikatakan bahwa mereka seakan kehilangan identitas budayanya sendiri. Tak mengherankan bila banyak kelompok masyarakat terasing yang kehilangan hak kesetaraan dan hak komunitinya. Realitas pahit ini merupakan akibat langsung atau tak langsung dari strategi pembangunan bangsa dalam membentuk budaya nasional yang lebih mementingkan dimensi politik daripada dimensi budaya.
Berangkat dari realitas semacam itu, dengan semangat multikulturalisme dalam upaya mengokohkan identitas budaya nasional, agaknya diperlukan pemahaman baru tentang masyarakat terasing. Alasannya, selain termasuk warga budaya bangsa yang memiliki potensi kekayaan kearifan lokal (local genius) yang beragam, mereka hakikatnya masih menyimpan aspirasi laten berupa ‘etnonasionalisme’ (Situmorang, Kompas 20 Mei 2005) yang potensial memunculkan konflik-konflik etnik (horizontal) dan konflik disintegratif terhadap pemerintah (vertikal). Etnonasionalisme yang menyimpan virus separatisme harus diberikan kebijakan nasional sedemikian rupa sehingga pluralitas budaya mereka kian diterima sebagai bagian integral secara adil dari budaya nasional.
Dalam perspektif Kajian Budaya, fenomena masyarakat terasing menarik didiskusikan karena, jika dicermati, ada satu blok historis dari kelompok penguasa (dalam hal ini Negara atau pemerintah) yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas subordinat (dalam hal ini masyarakat terasing) dengan cara merebut persetujuan atau konsensus dan koersi-represif. Dalam konteks ini terjadi proses-proses penciptaan makna yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (Barker 2005). Selain itu, kajian ini kahikatnya merupakan kajian mengenai praktik budaya sehari-hari yang mencerminkan konstruksi sosial kelompok termarjinalkan sehingga beraroma pertikaian kuasa (hegemoni—konter-hegemoni), kritis, politis, dan ideologis (Mariyah 2006a). Lebih lanjut, kajian ini juga selaras dengan orientasi Kajian Budaya ke depan, yakni mengembangkan kajian yang bertujuan untuk lebih memberdayakan potensi budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat Nusantara yang multietnik (Mariyah 2006b).
Tulisan ini dimulai dengan pemaparan tentang masyarakat terasing dan posisinya yang menjadi “korban” homogenisasi budaya, dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang perlunya menggali dan mempertimbangkan local genius masyarakat terasing. Berdasarkan pemahaman tentang local genius ini, diskusi akan diarahkan pada rasionalisasi pentingnya penafsiran kembali atau reinterpretasi nasionalisme dalam rangka mengembangkan budaya nasional yang semakin menghargai pluralitas dalam kesatuan bangsa.
Sekilas Tentang Masyarakat Terasing
Dalam artikelnya “Domestication of Culture: Nation-building and Ethnic Diversity in Indonesia” Reimar Schefold (1998) memaparkan secara cermat adanya diversitas etnik dan proses domestikasi (‘penjinakan’) budaya di Indonesia dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa atas nama nasionalisme. Terkandung tujuh sub-bagian dalam artikel ini. Salah satu sub-bagian penting yang didiskusikan oleh Schefold dalam artikel ini adalah tentang masyarakat terasing (the isolated society).
Schefold melaporkan adanya masyarakat-masyarakat suku tradisional yang jumlahnya diperkirakan lebih dari satu juta jiwa saat ini. [Catatan penulis: Jika laporan Suparlan (2001) dimaknai, jumlahnya agaknya bisa membengkak lagi.] Terhadap kelompok-kelompok lemah secara politik inilah dikonsentrasikan upaya-upaya standarisasi budaya nasional. Secara signifikan, mereka kemudian dicirikan kolektif sebagai ‘masyarakat terasing’ (isolated society). Ungkapan ini mengindikasikan bagaimana posisinya ditafsirkan: ini suatu kategori atas kelompok-kelompok etnik yang keterisolasiannya memisahkan mereka dari arus utama pembangunan dan karena itu dianggap terbelakang. Akibatnya, mereka tidak mampu mengenali sebenarnya seberapa primitif dan buruk ‘pedoman hidup’ (way of life) yang hanya memadai untuk diri sendiri itu. Adalah tugas pemerintah untuk menjelaskan masalah ini kepada mereka dan mengarahkan mereka ke bentuk eksistensi yang lebih modern.
Tatkala Schefold tiba di Kepulauan Mentawai, barat Sumatra, pada 1967 untuk melakukan studi lapangan, metode-metode kebijakan perubahan ini jelas dapat dikenali. Dalam deskripsi-deskripsi abad-19 mereka sering diidealisasikan sebagai ‘suku liar yang ramah’ (amiable savages), sebuah nama yang terinspirasi oleh kesan atas way of life yang sederhana dan harmonis sebagaimana tampak dari penampilan eksotik mereka dengan kain pinggang (cawat), dekorasi floral dan tato yang kaya pola. Di awal abad 19 pulau-pulau itu jatuh di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda. Pengayauan (headhunt) tradisional pun dilarang keras dan mereka dikenakan pajak; jika tidak, way of life akan terancam campur-tangan (interferensi) pemerintah kolonial.
Selama era Soekarno suku Mentawai semula jarang dikaitkan dengan imagi (citra) kepribadian Indonesia secara nasional, dan segala sesuatu ditempuh untuk mengadaptasikan mereka ke imagi itu secepatnya. Pada 1954 sebuah keputusan diluncurkan guna melarang religi tradisional mereka, yang disebutnya kafir atau animis; seluruh warga Mentawai diberi waktu tiga bulan untuk memeluk agama Kristen atau Islam. Siapapun yang tidak berkeputusan dalam periode itu diancam hukuman oleh polisi atau guru-guru misionaris, dan alat-alat ritualnya bisa dihanguskan. Bersamaan dengan itu juga diterapkan aturan-aturan resmi pemerintah untuk mengubah rumah-rumah panjang mereka (yang tersebar tak beraturan sepanjang sungai) menjadi desa-desa rapih dan mudah dipantau dengan sebuah gereja dan sekolah. Pada waktu sama, fitur-fitur eksternal mereka seperti perhiasan-berlapis kaca, rambut panjang laki-laki, cawat, tato, dan kebiasaan mengikat gigi-gigi serinya semuanya dilarang karena itu ciri-ciri keprimitifan yang bukan Indonesia.
Aturan-atusan resmi itu ternyata berdampak besar pada seluruh masyarakat terasing yang dapat diakses di Indonesia. Meski demikian, aparat pemerintah tidak cukup efisien untuk mencapai keberhasilan radikal yang diinginkan. Di beberapa bagian Mentawai, misalnya, komunitas tradisional sebenarnya mampu mempertahankan way of life-nya sendiri hingga kondisi-kondisi lebih liberal tersebut muncul. Namun, penilaian negatif atas identitas etnik—yang didasari perasaan bahwa hal itu ancaman potensial bagi kesatuan nasional—menyimpan pengaruh yang menghancurkan pada kelompok masyarakat terasing. Ungkapan-ungkapan kultural yang semestinya dapat diadaptasikan dengan baik dari dalam (from within) ke lingkungan modern tiba-tiba dilenyapkan untuk selamanya.
Pelanggaran atas tradisi-tradisi kelompok masyarakat terasing sangat tipikal dari sikap Sukarno yang berorientasi kemajuan guna membangun budaya nasional. Itulah langkah nyata untuk mencari di dalam tradisi-tradisi semacam itu suatu basis adiluhung bagi kesatuan seluruh rakyat Indonesia. Meski demikian, dari perspektif Sukarno, pengaitan (asosiatif) tradisi-tradisi ini dengan struktur-struktur ‘feodal’ atau ‘tribalistik’ justru lebih esensial. Hal ini juga suatu penjelasan atas pandangan miring tentang posisi mereka yang terasingkan.
Di era Orde Baru semasa Suharto menjabat presiden, ada sedikit perubahan dalam sikapnya terhadap masyarakat-masyarakat etnik kecil. Gaya hidup mereka, yang dicap ‘terbelakang’, terus memprotes pemerintah yang dianggapnya tidak layak menjadi sebuah negeri modern. Argumen mereka, masyarakat-masyarakat yang lemah terorganisasi dapat dengan mudah menjadi mangsa empuk bagi pemikiran komunis. Maka program-program disusun untuk meningkatkan intelektualitas dan ekonomi mereka dan memberdayakan mereka untuk bergabung dengan masyarakat Indonesia modern. Sebuah direktorat pun didirikan untuk mengembangkan dan memanfaatkan masyarakat suku terasing. Direktorat ini, juga Departemen Kehutanan dan pihak otoritas lain, menentukan proyek-proyek dan program-program transmigrasi ke seluruh wilayah suku tersebut. Hanya dalam beberapa tahun, rencana pemerintah mentransmigrasikan sarjana-sarjana Jawa dari pulau terpadat itu ke Mentawai didukung (di-back-up) dengan argumen bahwa resultan interaksi dan kawin campur akan membantu mengangkat harkat anggota suku terbelakang itu. Namun, suku Mentawai semenjak itu lebih berpengalaman dalam berurusan dengan pihak otoritas. Mereka pun mendirikan organisasi regionalnya sendiri, yang reaksinya tentu berkontribusi pada nasib rencana-rencana (pemertintah) tersebut, yang kemudian secepatnya “diamankan.”
Meski demikian, pada waktu sama, di wilayah-wilayah tertentu juga tumbuh tanda-tanda meningkatnya toleransi. Sila pertama Panca Sila menegaskan keyakinan kepada Tuhan YME untuk menjadi cirikhas tak terpisahkan bagi bangsa Indonesia. Di samping Islam, Protestan, Katolik dan Budha, Hindu Bali pun diakui sebagai satu dari lima religi yang disebut ‘agama’. Keyakinan-keyakinan lokal, yakni kepercayaan, sebaliknya, tidak dianggap sebagai agama. Akibatnya para pemeluk tradisi-tradisi suku animis itu dicatat sebagai ‘belum beragama’. Konsekwensinya, mereka tidak memiliki departemen di dalam Departemen Agama. Adalah tugas (dan peluang) kelima agama resmi itulah untuk mengajak orang-orang belum beragama agar memeluk suatu agama.
Namun, sejak akhir tahun 1960-an, beberapa religi-religi suku besar telah berupaya membuktikan diri sebagai sebuah varian agama Hindu dan karena itu memperoleh pengakuan resmi. Hal ini benar terjadi di kalangan suku Toraja di Sulawesi, kelompok-kelompok suku Dayak di Kalimantan, dan Batak Karo di Sumatra. Kenyataannya, kata-kata Sanskerta muncul di dalam tradisi-tradisi mitos di kalangan suku-suku ini, yakni kata-kata yang membuktikan adanya pengaruh Hindu meski kadang agak superfisial saja. Tiga religi suku ini, bersamaan Hindu-Bali, telah dipersatukan menjadi satu kelompok di bawah bendera Hindu Dharma yang dibasiskan dalam pusat pelatihan bersama di Denpasar, Bali. Itu pun tetap dilihat sampai sejauh mana mereka mampu memelihara identitas khasnya atau apakah tendensi-tendensi sinkretistik terhadap standarisasi akan menang.
Beberapa religi-religi suku lain juga telah didaftarkan sebagai calon-calon untuk melebur ke dalam Hindu Dharma, namun negosiasi-negosiasi belum dituntaskan. Isu paling serius ini boleh jadi akan berubah menjadi keputusan tentang kedudukan gerakan-gerakan mistik Kejawen di Jawa, yakni aliran kebatinan, yang penganutnya sampai ke kalangan tertinggi pemerintah tetapi toh diklasifikasikan hanya sebagai kepercayaan dan hanya memperoleh perhatian dari Departemen Kebudayaan. Oposisi terkuat terhadap pengakuan resmi muncul dari tokoh-tokoh perwakilan Islam ortodoks. Namun, jika suatu ‘keyakinan’ sederhana di sini sukses untuk pertama kalinya mencapai status legal, tentunya hal itu memiliki konsewensi (peluang) luas bagi religi-religi suku (terasing).
Masyarakat Terasing, Korban Homogenisasi Budaya
Paparan Schefold (1998) di atas menunjukkan betapa masyarakat terasing terasa menjadi ‘korban’ kebijakan politis pemerintah, semenjak masa kolonial (bahkan) hingga masa Orde Lama (Sukarno) dan Orde Baru (Suharto). Terutama untuk kepentingan penanaman nasionalisme sejak masa Sukarno, keberadaan masyarakat terasing secara halus atau bahkan represif telah diarahkan untuk ‘suka rela’ menjadi bagian budaya nasional. Way of life, religi-religi tradisional, tempat hunian, dan bahkan aksesori tubuh mereka pun dideterminasi dari pemerintah pusat. Jelaslah di sini bahwa penanaman nasionalisme dan/atau pembentukan budaya nasionalisme “yang tunggal atau homogen” telah memarginalkan dan telah memberangus hak hidup pluralitas budaya masyarakat terasing. Dengan demikian, nuansa politisnya sangat kental.
Dalam konteks ini tepatlah apa yang ditegaskan oleh Barker (2005:260), bahwa “Negara-bangsa, nasionalisme, dan identitas nasional sebagai bentuk organisasi dan identifikasi kolektif bukanlah fenomena ‘alamiah’, tetapi merupakan ciptaan sejarah yang bersifat berubah-ubah.” Pemerintah merasa memiliki hak politis untuk menciptakan sejarah, dan merekayasa sosial-budaya untuk mendeterminasi bagaimana bentuk negara-bangsa, nasionalisme, dan identitas nasional. Determinasi tentulah cerminan rekayasa, dan rekayasa dalam praktiknya mengandalkan generaslisasi. Rekayasa sosial semacam itu, dengan demikian, sangat kental dimensi politisnya.
Namun, penulis melihat bahwa kentalnya nuansa politis dalam rangka pembentukan budaya nasional telah melenceng dari semangat ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Masyarakat terasing, yang semestinya memiliki keunikan-keunikan tradisi atau budaya, malah tidak diakui berada di dalam kebhinekaan itu karena harus diarahkan ke ke-Ika-an Indonesia. Sejalan dengan pemikiran Abdullah (2006:65), konsep “bangsa yang satu” yang dipopulerkan sejak Sukarno ternyata telah berlangsung dengan strategi yang represif, yang pada masa Suharto diterjemahkan lewat politik “asas tunggal” yang menekankan homogenitas masyarakat. Prinsip asas tunggal selain memperlihatkan suatu proses penundukan berbagai kekuatan masyarakat kepada satu prinsip sosial politik, juga menunjukkan konsepsi negara tentang relasi kekuasaan antara negara dan rakyat. Rakyat, termasuk masyarakat terasing, telah dilihat sebagai kekuatan yang perlu ditundukkan demi cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa. Perbedaan-perbedaan, sebagai basis kekuatan sosial, bukan saja dihilangkan tetapi juga diperangi sebagai suatu kesalahan. (Ini telah terbukti dalam kasus masyarakat terasing, Mentawai, seperti dipaparkan di muka.) Konseptualisasi negara tentang eksistensi budaya Indonesia yang beragam menemukan wujudnya dalam berbagai praktik kebijakan yang berkaitan dengan keragaman budaya, seperti dalam etnik, bahasa, agama, kesenian, atau adat-istiadat.
Padahal, masyarakat terasing, sebagai salah satu etnik yang tersebar dalam wilayah geografis Indonesia, mengindikasikan perbedaan cara pandang yang berbeda (dan unik) dalam berbagai hal; memperlihatkan berlakunya sistem nilai yang berbeda dengan kelompok etnik lain; serta menunjukkan perbedaan perilaku sosial, ekonomi dan politik yang berbeda dengan kelompok etnik lain. Sayang, pluralitas semacam ini telah dikesampingkan oleh pemerintah karena dinilai menjadi faktor penghambat integrasi dan sekaligus penghambat pembangunan. Jika mementingkan pluralitas, integrasi dan pembangunan mungkin dinilai kurang efektif.
Pembangunan (yang dijiwai politik nasionalisme), dengan demikian, telah “menyeragamkan” (homogenisasi) budaya sukubangsa di daerah-daerah, termasuk suku Mentawai dan suku-suku lain yang dianggap sebagai masyarakat terasing. Penyeragaman itu antara lain ditempuh dengan menyudutkan kekayaan budaya mereka sebagai terbelakang dan karena itu harus di-Indonesiakan. Yang memprihatinkan, mereka dimodernkan “tidak hanya dengan mengubah gaya hidup, melainkan juga menghilangkan sifat dan karakter dasar dari etnis yang bersangkutan sehingga melahirkan resistensi dari etnis yang bersangkutan.” (Abdullah 2006:67).
Masyarakat terasing, dalam berkeyakinan pun, telah dipaksa pemerintah sedemikian untuk memeluk satu agama tertentu (Islam, Protestan, Katolik, Budha, atau Hindu), dengan tujuan nasionalisme. Dalam hal ini agama tradisional masyarakat terasing telah dibunuh secara sengaja. Ketakutan akan dicap sebagai komunis telah menjadi faktor penting dalam tindakan pemilihan agama mereka, sehingga agama asal mereka seakan-akan dimatikan secara dilematis. Kuatnya pengagamaan terstruktur tersebut mau tak mau telah menghancurkan berbagai jenis keunikan budaya daerah, termasuk masyarakat terasing, terutama sistem religi-nya.
Dalam hal ini domistikasi budaya dipraktikkan oleh negara, lewat politik otoritarianisme di mana nasionalisme dideterminasi oleh politik pemerintah dengan menunjukkan kuasa represif. Domestikasi budaya sedemikian ini memang menjadi stratetgi praktis dan cukup efektif bagi negara dalam menjalankan kebijakan politis dalam pengelolaan budaya daerah, akan tetapi merupakan ancaman tak terelakkan bagi masyarakat terasing. Keragaman suku, dengan segala keunikan budaya dan bahasanya, praktis dimarginalkan (Situmorang 2005). Sehingga yang muncul adalah homogenisasi budaya, dan karena itu mengingkari heterogenitas budaya. Sekali lagi, masyarakat terasing akhirnya menjadi “korban” homogenisasi budaya.
Memahami Local Genius Masyarakat Terasing
Mencermati fenomena di atas, penulis melihat bahwa masyarakat terasing merupakan bagian integral dari seluruh warga budaya nasional, yang berhak menghuni “kamar-kamar budaya” di negeri ini. Dalam istilah Suparlan (2001), idealnya setiap warga (suku bangsa) memiliki semacam ‘hak kesetaraan’ dan ‘hak komunitas’ di dalam kehidupan masyarakat majemuk. Dengan kalimat lain, mereka berhak atas kesetaraan dalam menyumbangkan potensi budayanya secara konstruktif bagi pengembangan budaya nasional yang dinamis; sekaligus juga berhak komunitas untuk mempertahankan pranata sosial dan kekayaan budaya substantif yang menjadi identitas lokalnya. Di sinilah letak pentingnya pemahaman tentang local genius (kearifan lokal).
Tak dapat dipungkiri, bahwa mereka bagian suatu sistem berkebangsaan di Bumi Pertiwi ini. Sistem adalah suatu satu kesatuan yang utuh berupa rangkaian yang saling berhubungan antara bagian-bagian yang lainnya atau diistilahkan dengan sub-sistem. Sub-sub bagian system bekerja berdasarkan ikatan-ikatan antar sub-sistem sehingga satu saja sub-sistem tidak berfungsi maka sub-sistem lainnya tidak dapat jalan, kalaupun tetap jalan akan terjadi ketimpangan-ketimpangan (Suryadi 2006:2). Sebagai bagian sistem berkebangsaan, mereka hakikatnya mengalami keterputusan ikatan fundamental dengan inti sistem-nya, yakni budaya nasional, kendati secara sepintas mungkin tampak tak bermasalah. Namun, ketimpangan-ketimpangan, termasuk indikasi etnonasionalisme yang cenderung separatis atau memendam konflik etnik, telah kita saksikan dari waktu ke waktu.
Sementara itu, local genius (kearifan lokal) merupakan kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional mengelola berbagai sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), dan sumberdaya budaya (SDB) untuk kelestarian sumber-daya tersebut bagi kelangsungan hidup berkelanjutan (Geriya & Geriya 2003:2). Sifat-sifat hakikinya meliputi: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3) memiliki kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli; (4) mampu mengendalikan; dan (5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya (Poespowardojo 1989).
Masyarakat terasing dapat dikatakan pasti memiliki local genius yang tercermin dari way of life mereka yang ‘sederhana dan harmonis’ (Schefold 1998). Kesederhanaan dan keharmonisan suatu masyarakat lazim memiliki filosofi yang dalam, nilai-nilai budaya yang luhur, etika tertentu yang mengikat kehidupan bersama, cara-cara dan perilaku yang dihayati. Masalahnya, ketika Orde Lama dan Orde Baru mengembangkan budaya nasional yang sangat politis itu, kearifan lokal mereka kurang berhasil diidentifikasi, sehingga mereka digeneralisasi seperti etnik-etnik yang besar dan kebijakan-kebijakan pemerintah pun sering mengabaikan keunikan budaya tradisional mereka. Soal keyakinan, misalnya, mereka harus memeluk salah agama resmi yang telah dideterminasi pemerintah, tanpa ada kompromi—hingga urusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) harus memuat jenis agama. Tetapi, secara jujur, siapakah yang berani bertaruh bahwa kepercayaan tardisional mereka—yang dilabeli ‘agama animis’ atau ‘agama tradisional’—tidak mengajarkan kearifan-kearifan hidup yang mencerahkan? Di Papua, meskipun sistem pemerintahan desa dikonstruksi pemerintah sedemikian rupa sama dengan yang ada di Jawa, misalnya, siapa bilang masyarakat tradisional di sana tidak memiliki organisasi sosial yang mampu mengelola SDM, SDA, dan SDB-nya?
Persoalannya agaknya terletak pada seberapa luas ruang gerak budaya yang diberikan oleh pemerintah. Sejarah membuktikan, ruang gerak untuk menunjukkan kearifan lokal mereka terbatas dan bahkan dibatasi, karena pemerintah melancarkan ‘politik akulturasi’ budaya secara nasional. Pemerintah mengharapkan, dalam istilah Poespowardojo 1989:120), adanya extreme acculturation—yang menonjolkan bentuk-bentuk tiruan budaya (yang dideterminasi) tanpa adanya evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan bentuk-bentuk budaya tradisional---padahal mereka tampaknya hanya mengalami less-extreme acculturation yang masih memperlihatkan local genius, yaitu adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Pemerintah selama ini kurang memberikan ruang gerak bagi berkembangnya local genius ini—terbukti dengan adanya homogenisasi budaya sebagaimana dipaparkan di muka.
Karena itu, local genius masyarakat terasing selayaknya dipandang sebagai potensi tersembunyi yang dapat diakomodasi dan dikembangkan. Dalam perspektif Kajian Budaya, mereka yang termarginalisasikan itu harusnya diberdayakan. Meski demikian, sangatlah urgen dilakukan studi yang komprehensif untuk menggali dan menguak eksistensi dan problematika local genius mereka. Dalam hal ini, meminjam pemikiran Geriya & Geriya (2003:8), problematika local genius masyarakat terasing dapat diproyeksikan dengan identifikasi berikut ini: (1) marginalisasi dan punahnya berbagai jenis kearifan lokal yang kondusif bagi kelangsungan SDA dan SDM yang dibarengi dengan rapuhnya nilai-nilai yang melandasi akibat modernisasi dan globalisasi; (2) eksistensi berbagai jenis kearifan lokal yang fungsional tumbuh tanpa makna akibat dari terbatasnya sosialisasi dan edukasi; (3) paradoks antara kearifan lokal dengan modus-modus baru, dan sinergi antara kearifan lokal yang adaptif dengan nilai-nilai baru kurang memperoleh greget, karena terbatasnya pengkajian, penulisan dan pendidikan secara efektif, padahal berbagai kearifan lokal potensial bagi pembangunan character building manusia Indonesia; dan (4) dislokasi dan disfungsi berbagai jenis kearifan lokal yang masih relevan dan urgen bagi kehidupan manusia, masyarakat dan kebudayaan daerah.
Berbagai problematika yang memendungi masyarakat terasing selayaknya menjadi perhatian serius pemerintah agar diperoleh gambaran komprehensif dan memadai akan potensi budaya mereka. Di samping itu, diharapkan tidak terulang lagi adanya strategi homogenisasi budaya yang terlalu politis—agar mereka mengalami evolusi budaya tanpa membuang budaya tradisional tanpa-seleksi dalam rangka ikut mengisi ruang pengembangan budaya nasional.
Bahkan pemerintah era reformasi ini, terlebih dengan otonomi daerah, perlu menetapkan agenda serius untuk menggali potensi local genius masyarakat terasing (selain, tentu saja, seluruh sukubangsa di Tanah Air) dan mengembangkannya untuk membangun kembali pemahaman bangsa akan budaya nasional. Pemahaman baru terhadap local genius tak dapat ditawar-tawar lagi, agar strategi politik kebudayaan lebih menyentuh akarnya. Dalam istilah Semadi Astra (2004), kearifan lokal atau local genius perlu direvitalisasi secara arif guna memperkokoh identitas bangsa Indonesia. Namun, karena tidak semua local genius dapat digunakan untuk tujuan itu, diperlukan kearifan di atas kearifan lokal itu supaya pemanfaatannya benar-benar tepat guna. Menumbuhkan ‘kearifan di atas kearifan lokal’ semacam itu seharusnya bertumpu pada interpretasi Nasionalisme yang memadai.
Menuju Reinterpretasi Nasionalisme
Tak dapat dipungkiri bahwa proses nasionalisasi yang terjadi telah menyebabkan pengabaian terhadap keberadaan budaya yang plural, baik berupa budaya materi yang begitu kaya di berbagai tempat, institusi-insitusi lokal yang berfungsi sebagai bagian kemampuan penataan sosial, maupun ideologi dan nilai-nilai yang mengandung kearifan lokal. Dengan cara itu pemerintah, hakikatnya, bukan hanya gagal menemukan sosok budaya nasional, melainkan juga telah melahirkan resistensi yang sangat besar dari berbagai daerah, tak terkecuali masyarakat terasing seperti suku Mentawai, Batak Karo, atau Asmat.
Wajar kiranya bila masyarakat terasing melakukan resistensi terselubung (diam-diam, laten) dengan membentuk organisasinya sendiri meskipun secara umum tampak “rela” terintegrasi ke dalam apa yang diklaim pemerintah sebagai budaya nasional. Oleh karena itu, dalam merespons pengagamaan itu atau (secara lebih luas) penyeragaman budaya, misalnya, masyarakat terasing melakukan resistensi terhadap pemerintah antara lain dengan berafiliasi (hibridasi) dengan budaya/agama yang ruh keyakinannya terdekat. Hal ini telah dibuktikan “secara arif” oleh masyarakat Toraja di Sulawesi, Dayak di Kalimantan atau Batak Karo di Sumatra.
Meski demikian, bukan tidak mungkin, resistensi masyarakat terasing, termasuk kelompok-kelompok etnik yang makna pluralitas budayanya diingkari, akan memanifestasikan aspirasi laten-nya menjadi bahaya konflik yang mencemaskan. Konflik-konflik etnik yang selama ini meledak di beberapa daerah nusantara antara lain dapat dijelaskan dari perspektif ini. Konflik di berbagai daerah agaknya merupakan bentuk resistensi masyarakat terhadap berbagai kebijakan negara yang dinilainya telah menyeragamkan adanya pluralitas budaya. Dan inilah pangkal tolak yang perlu dicamkan secara seksama oleh negara atau pemerintah dalam mengelola kebudayaan daerah—setidaknya dimulai dalam menafsirkan kembali nasionalisme dan/atau keindonesiaan.
Nasionalisme dalam praktiknya dipilah menjadi political nationalism dengan orientasi gol-gol politik dalam membangun bangsa dan cultural nationalism berorientasi pada menonjolkan faktor-faktor budaya dalam membangun sebuah bangsa (Hutchinson 1994:122-124). Dalam perspektif ini, jika selama Orla dan Orba nasionalisme lebih dipandang sebagai political nationalism, maka selaras dengan penggalian dan pemanfaatan local genius, kini tiba saatnya warga bangsa ini, terlebih pemerintah era reformasi, untuk menafsirkan nasionalisme sebagai cultural nationalism. Artinya, strategi pembangunan budaya nasional perlu diorientakan untuk lebih memahami makna pluralitas budaya-budaya daerah, termasuk budaya etnik masyarakat terasing. Homogenisasi budaya perlu mendapat re-orientasi arah secara gradual untuk menerima pluralitas budaya itu.
Demikianlah, menafsirkan kembali nasionalisme, terlebih terkait dengan masyarakat terasing, agaknya perlu pemahaman yang baik tentang hakikat keragaman/pluralitas budaya. Pendekatan terhadap masyarakat terasing dalam rangka menafsirkan keindonesiaan atau pembentukan budaya nasional seyogianya tidak hanya menitikberatkan kebijakan politis. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa menafsirkan keindonesiaan melulu politis belaka ternyata memecah dan meretakkan keindonesiaan itu. Tafsiran politis di mana kekuasaan atau otoritas kuasa baik atas nama N.K.R.I; pemerintah pusat; ke-ika-an ternyata memperlakukan keragaman (kebhinnekaan): daerah, lokalitas dan populis atau rakyat sebagai antagonisme yang subordinatif—yang harus patuh, bergantung dan diperintah, diseragamkan oleh pusat (Sutrisno 2004:132).
Maksud penulis, penafsiran kembali (reinterpretasi) nasionalisme keindonesiaan selayaknya juga mengindahkan dimensi kebudayaan. Menurut Umar Kayam, seperti dikutip Sutrisno (2004: 133), “kebudayaan Indonesia harus berproses menanggapi panggilan-panggilan sejarahnya secara dialektis dari sosok budaya feodalistik, aristokratik menuju ke sosok budaya Indonesia yang maju, demokratis, terbuka, saling menghormati keragaman. Inilah jalan transformasi budaya.” Dalam bahasa Situmorang (2005), “nasionalisme Indonesia sekarang dan ke depan seharusnya bertumpu pada kebaikan dan kekuatan budaya yang majemuk…[karena itu juga diperlukan]…setiap satuan etnik dan budaya untuk menunjukkan keunggulan masing-masing.”
Penutup
Tulisan ini telah berupaya memberikan gambaran tentang masyarakat terasing dan nasib pahitnya sebagai korban homogenisasi budaya yang dipolitisasi dengan bendera politik nasionalisme guna membangun budaya nasional. Meski demikian, pembentukan budaya nasional ternyata gagal karena strategi pembangunan bangsa yang diterapkan oleh pemerintah selama ini (terutama era Orde Lama dan Orde Baru) lebih bernuansa ‘nasionalisme politik’ daripada ‘nasionalisme budaya’. Ke-ika-an telah dijadikan target politik lebih utama daripada juga disertai pengakuan akan kebhinnekaan budaya. Karena itu, demi mempertahankan keutuhan bangsa, pemerintah seyogianya perlu bukan hanya mempertimbangkan kembali kekayaan local genius mereka, melainkan juga melakukan reinterpretasi nasionalisme Indonesia agar lebih menghargai pluralitas budaya-budaya daerah, termasuk budaya sukubangsa-sukubangsa terasing.
Kita perlu menggarisbawahi bahwa pluralitas atau kebhinnekaan merupakan fakta budaya. Karena itu, mempertahankan NKRI berarti menerima kebhinnekaan sebagai fakta budaya di mana setiap kelompok etnik memiliki hak dan kewajiban yang sama. Setiap kelompok yang menjadi warga bangsa dituntut untuk mempertahankan dan menjaga kebhinnekaan tersebut. Menghargai kebhinnekaan adalah menghargai pola-pola budaya daerah dan mengakui hak masing-masing untuk mengembangkan diri berdasarkan kepentingan bersama (common interest) secara nasional. Keanekaragaman budaya harus dijadikan pijakan untuk membangun dan mempertahankan Indonesia bukan dijadikan alasan untuk menyalakan semangat separatisme (Sutarto 2006).
Dalam konteks ini nilai-nilai budaya masyarakat terasing seharusnya diterima sebagai bagian pluralitas budaya meskipun Indonesia sekaligus ingin ditegakkan sebagai negara kesatuan. Penyeragaman budaya, dengan membunuh daya hidup budaya masyarakat terasing, untuk secara politis mensahkan kesatuan budaya nasional dalam arti sempit, merupakan pengingkaran atas realitas keragaman budaya di tanah air. Homogenisasi budaya malah cenderung membangkitkan etnonasionalisme negatif yang memendam konflik laten dan semangat separatisme. Padahal etnonasionalisme yang positif, jika disikapi secara arif, justru akan menjadi sumber kekayaan budaya yang bakal memperkokoh identitas nasional dan kesatuan itu sendiri, serta menjamin hak kesadaran dan hak komunitas sukubangsa secara bijak. Dan jika kesadaran ini diterapkan dalam kehidupan berbangsa, niscaya kita sesungguhnya akan merasakan terwujudnya motto besar bangsa kita: Bhinneka Tunggal Ika, atau “Unity in Diversity” (Kesatuan dalam Keragaman).
***
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Astra, I Gde Semadi. 2004. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Upaya Memperkokoh
Jati Diri Bangsa. Dalam I Wayan Ardika & Darma Putra, eds. Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Denpasar: FS Unud-Balimangsa: 107-120.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik (Terj.). Yogyakarta: Bentang.
Geriya, S. Swarsi & I Wayan Geriya. 2003. Nilai Dasar dan Nilai Instrumental
dalam Keragaman Kearifan Lokal Daerah Bali. Makalah pada Dialog Budaya, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Denpasar.
Hutchinson, John. 1994. Cultural Nationalism and Moral Regeneration. Dalam
John Hutchinson & Anthony D. Smith, eds. Nationalism. Oxford: Oxford University Press: 122-131.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Ktirik Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Khoiri, Much. 1993. “Perang Budaya.” Dalam Kalimas, Th. I No. 01, 7-8/33.
Mariyah, Emiliana. 2006. “Kekinian Kajian Budaya di Bali.” Dalam Jurnal Kajian
Budaya, Vol 3 No 6, Juli: 1-18.
Mariyah, Emiliana. 2006b. Kajian Budaya, Local Genius, dan Pemberdayaan
Masyarakat. Makalah pembuka dalam Seminar Nasional ‘Sumbangan Kajian Budaya bagi Pemulihan Multikrisis Indonesia’, Denpasar, 18 November.
Poespowardojo, Soerjanto. 1989. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis.
Jakarta: Gramedia.
Schefold, Reimar. 1998. The Domestication of Culture: Nation-Building and Ethnic
Diversity in Indonesia. Dalam Peter J.M. Nas, ed. Globalization, Localization and Indonesia. Leiden: Royal Institute of Linguistics and Anthropology.
Situmorang, Mangandar. 2005. Nasionalisme Berarti Membebaskan. Dalam harian
Kompas, 20 Mei, hlm. 40.
Suparlan, Parsudi. 2001. Kesetaraan Warga dan Hak Komuniti dalam Masyarakat
Majemuk. Dalam Antropologi Indonesia, Th. XXV No. 6, September: 1-12.
Suryadi, Budi. 2006. Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: IRCiSOD.
Sutarto, Ayu. 2006. Kearifan Lokal, Kebhinnekaan, dan Rekonsiliasi Nasional.
Makalah Kongres Bahasa Jawa tahun 2006 di Semarang.
Sutrisno, Mudji. 2004. Menafsir Keindonesiaan. Dalam Mudji Sutrisno & Hendrar
Putranto, eds. Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Th. Sumartana dkk, eds. 2001. Nasionalisme Etnisitas: Pertaruhan Sebuah Wacana
Kebangsaan. Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei.
Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta:
Matabangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar