Motto:

It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Jumat, 09 Desember 2011

THE NATIVE RULERS


B. Schrieke
(Diterjemahkan oleh Much. Khoiri)
Sejak terjadinya sejumlah peristiwa di penghujung 1926 dan khususnya permulaan 1927 masalah ‘penguasa asali’ (native rulers), pengaruhnya di tengah rakyat, dan tempatnya dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda telah menyedot perhatian pers dan Dewan Rakyat (People’s Council). Diskusi-diskusi relevan, yang kerap dibumbui perasaan, telah didominasi oleh tiga tema besar, yakni “Pemimpin Rakyat atau Pemimpin Pemerintah”, “Biarkan Para Bupati Tetap sebagai Pemimpin Rakyat”, dan “Kedudukan Kaum Intelektual dalam Sistem Dewasa Ini”.  Pada 17 Februari 1927 Civil Service Department mengumumkan ‘Memorandum dari kantor Urusan Pemerintah Provinsi Terluar” mengenai kebijakan pemerintah. Saya yakin akan lebih jelas untuk menghapus pertanyaan-pertanyaan ini dari ruang rumit tentang perjuangan dan argumen politik, dan untuk mencoba bersama Anda membahas makna dan skope konsep ‘Pemimpin Rakyat’, di negara ini khususnya, hingga penelitian cermat yang sistematis.

Sejarah evolusi sosial Eropa Barat—betatapun transisinya bersifat gradual dari satu fase ke fase lainnya—dengan seluruh variasi lokalnya telah menyebabkan kita membedakan sejumlah tipe organisasi politik, yang di antaranya juga didapati dalam sejarah  bagian-bagian lain dunia ini. Tipe-tipe ini, yang akan kita deskripsikan secara ringkas, bersifat “superhistoris’, yang merupakan abstraksi realitas. Merekalah norma-norma untuk menilai fakta historis dalam seluruh keragaman (diversitas)-nya yang multi-warna.

Tipe pertama dalam pikiran kita adalah komunitas primitif, biasanya geneologis dan agraris, yang diatur berdasarkan garis-garis asosiasi dan memiliki ekonominya sendiri. Sebagai kelompok kecil yang homogen, komunitas ini menyerahkan kepemimpinan kepada para kepala keluarga, yang salah satunya mempersonifikasikan kesatuan kelompok itu sebagai suatu primus inter pares. Tiada perintah atau komando, tiada pula beban hasrat (kehendak). Disiplin-disiplin internal yang alamiah dibangun atas kesepakatan bulat setelah melewati konsultasi mutual yang luas. Karakter komunal komunitas ini mendorong sikap saling-menghormati di antara anggotanya. Satu-satunya otoritas adalah otoritas spirit kelompok, dan satu-satunya sanksi adalah sanksi opini publik dan  penghormatan umum atas para pendahulu. Spirit memerintahnya—sebagai konservatisme—ialah untuk membiarkan segala sesuatu sebagaimana yang telah “ditetapkan” oleh para pendadulunya. Karakter komunal mereka sangat menonjol. Hampir tiada ruang untuk melakukan pengembangan individualitas. Wilayah, pekerjaan, minat, tradisi, adat, opini, ideolog, usaha, dan rekreasi, semuanya bersifat komunal. Karakteristik esensial dari tipe ini adalah nature yang statis, yang merupakan kondisi esensial bagi pemeliharaan karakter komunal pada ukuran terbatas, yang pada gilirannya dideterminasi oleh sistem produksi yang dianutnya. Jika kelompok ini semakin berkembang, ia terancam akan mengalami disintegrasi.  Anggota yang tak puas dapat melepaskan diri dan membentuk kelompoknya sendiri, atau kelompok itu memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dengan ikatan pertalian yang longgar.

Tipe kedua yang hendak kita bahas dikenal sebagai “kerajaan” dengan berbagai bentuk dan fase perkembangan. Tipe ini merupakan  sebuah organisasi politik—baik otoritas maupun kekuasaan—bergantung pada apakah perpaduan (union) yang luas menyerap kelompok-kelompok lokal yang heterogen, atau belum terlahirkan oleh spirit kelompok baru dari tatanan tinggi; maksudnya, apakah perpaduan mekanis sudah atau belum berkembang di dalam keseluruhan organis. Dalam setiap kasus otoritas penguasa harus membereskan defisiensi (kekurangan) baik spirit kelompoknya maupun spirit berbagai kelompok lokal.

Berdasarkan teori yang berlaku asal-muasal kerajaan didasarkan pada penaklukan.  Hal ini mengintroduksi sebuah elemen baru ke dalam komunitas ‘alamiah’ yang otonom: yakni  beban atau gangguan dari luar. Kelompok geneologis ini—atau dalam kasus hunian di satu tempat dengan populasi yang relatif padat adalah kelompok yang terorganisasi secara teritorial—menjadi bagian subordinat dari satu kelompok bersama yang besar. Upaya dapat ditempuh untuk menarik diri dari kelompok besar ini dan mengikuti arus yang independen selama semua ini memungkinkan; namun, karakteristik penting dari kerajaan adalah masih adanya kecenderungan—betapapun tak sepenuhnya disadari dalam praktik—ke arah subordinasi bagian-bagian komponen pada tujuan tunggal, yakni kehendak sang penguasa, meski hal ini harus disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang ada. Di sini terletak pusat konflik kekuasaan antara raja dan tokoh-tokoh lokal, sebuah konflik yang hanya dapat diselesaikan dengan munculnya  ‘negara’.

Situasi akan menjadi sebaliknya jika penaklukan diikuti dengan pengkaryaan yang aktual. Jika penaklukan berarti inkorporasi ke dalam suatu perpaduan yang luas di mana kelompok-kelompok pembentuk perpaduan itu menjaga identitas masing-masing, maka kelompok penguasa lokal dapat mempertahankan posisi tradisionalnya di dalam kelompoknya sendiri tanpa banyak kendala. Dalam hal ini raja hanyalah seorang primus inter pares. Namun, tatkala pengkaryaan (terhadap pihak lain) diberlakukan, ada dua kemungkinan perkembangan. Pertama, kelas penguasa lokal mungkin menyatu dengan penguasa-penguasa baru, di mana kelas ini mendapatkan otoritasnya dari kelas penguasa baru tersebut. Kedua,  kelas penguasa itu mungkin menurunkan diri ke posisi inferior: ia kehilangan fungsi sosialnya yang esensial dan pada waktunya juga kehilangan signifikansi sosial tradisionalnya.

Kerajaan menyatukan sejumlah orang yang dikoordinasi atau disubordinasi di bawah otoritas seorang raja.  Kondisi jalan dan alat transport yang masih primitif menghalangi kontak (meski amat dekat) antara otoritas pusat dan wilayah-wilayah yang beragam, yang pranata-pranatanya tetap bertahan utuh. Kewajiban-kewajiban terhadap kerajaan biasanya terbatas pada pemberian penghormatan di istana dari waktu ke waktu, penyerahan upeti, dan kesediaan untuk wajib militer pada masa perang.

Suatu perubahan terjadi dalam karakter para pemimpin komunitas primitif: mereka tidak hanya harus bertindak sebagai penyambung kehendak otoritas pusat, melainkan juga meyakini bahwa dukungan otoritas pusat membuka kemungkinan bagi mereka untuk berkembang maju dari primi inter pares ke tokoh-tokoh penguasa sepanjang mereka mampu. Kesempatan ini telah diciptakan demi munculnya sebuah aristokrasi primitif, jika kehendak superior otoritas pusat tidak bertindak terlalu koersif, tetapi memberikan ruang bagi berkembangnya otoritas lokal yang otonom.

Kalau kerajaan terdiri atas sejumlah daerah-daerah yang lebih kecil, ia akan menunjukkan kecenderungan untuk mempererat hubungan-hubungan dinastinya lewat tali perkawinan.

Wahana lain untuk membangun otoritas pemerintah pusat—yakni yang pernah terjadi di Babylon, China dan Mesir kuno—adalah penunjukan atau pengangkatan agen-agen rahasia raja sebagai gubernur atau wakil (duta) di berbagai wilayah yang berbeda. Cara ini membuka jalan bagi tokoh-tokoh tingkat tinggi untuk menduduki jabatan ministeriale bagi mereka yang berasal dari wilayah pinggiran. Toh sistem ministeriale ini tidak lepas dari sistem desentralisasi. Berkembanglah ketokohan profesional akibat keturunan yang berkawin-silang dengan ketokohan lama, atau yang, pada gilirannya, mencari kebebasan dari pemerintah pusat. Kesuksesan mereka juga dideterminasi oleh kemampuan yang mereka tunjukkan untuk melatih dan mengeksploitasi fungsi mereka di dalam konstelasi sosial yang diberikan.

Metode ketiga untuk mengikat berbagai wilayah ke otoritas pusat adalah pembentukan ajudan-ajudan bayaran dengan tujuan untuk membuat raja lebih independen dari bantuan para wakilnya di daerah. Meski demikian, di sini para ajudan pun ternyata berupaya mencari kekuasaan untuk dirinya sendiri. Karena itu, baik penciptaan sistem kepegawaian maupun pembentukan ajudan bayaran tidak memberikan solusi terhadap ‘perselisihan’ antara raja dan kaum aristokrat.

Mulai tampak jelas ada dua kelas di dalam kerajaan, yakni kelas yang aktif dan kelas yang pasif. Kelas yang aktif, yakni kelas penguasa, yang terdiri dari raja dan aristokrasi yang aslinya bersikap sama terhadap rakyat, meski kepentingan-kepentingan mereka antagonistik tapi mutualistik. Adapun kelas yang pasif adalah kelas subjek atau rakyat, yang musti patuh kepada kelas yang aktif. Struktur sosial ini bertahan selama berabad-abad, meski komposisi kelas atas mengalami perubahan berulang-ulang—sebagaimana juga dapat disaksikan di Eropa barat. Keluarga raja mati, dimusnahkan, disingkirkan oleh keluarga lain (hominus novi); namun struktur sosialnya tetap bertahan. Jika diamati, kepentingan-kepentingan kelas penguasa sangat menonjol, meski faktor personal dalam hubungannya dengan rakyat, yakni keintiman patriarki tertentu, dapat dipelihara—yang, sayangnya, tidak selalu sejalan dengan bagaimana tingkah personal rakyat, apakah suka atau tidak.  Kepentingan-kepentingan kelas penguasa menonjol, namun di dalam pemerintah telah muncul kuman-kuman administrasi, dan di dalam kepentingan kelas muncul kuman-kuman mengangkat hal-hal umum yang baik.

Tipe ketiga yang kita sebut setelah sistem kerajaan adalah “negara” (patrimonial), suatu organisasi politik yang mencegah munculnya gangguan bagian-bagian komponen kerajaan dan membuat tokoh-tokoh lokal lebih efektif dalam layanannya. Para raja kadang mencapai hal ini dengan mencari dukungan bagi otoritasnya dari kelas-kelas sosial tertentu, yang dengan bantuannya dapat menghancurkan supremasi kaum aristokrat. Dengan melakukan hal ini, mereka meretas kekuatan-kekuatan yang, di Barat dalam bentuk bangsa demokratis, akhirnya untuk membatasi adanya monarki absolut.

Sejak itulah negara sebagai penguasa telah memberikan jalan ke arah negara berkesejahteraan (welfare state): kepentingan-kepentingan monarki, di mana dia sendiri identik dengan negara, harus tunduk pada kepentingan raja dan rakyat, hingga rakyat sendiri mengenyam semacam kedaulatan.

Selama Naturalwirtschaft, atau ekonomi barang (goods economy), menonjol, disintegrasi kerajaan feodal akhirnya tak terelakkan lagi, sebagian karena ketiadaan komunikasi yang efektif. Senjata paling ampuh yang diterapkan raja untuk melindungi posisinya dari tokoh-tokoh daerah (provinsial) adalah prinsip “divide and rule” (memecah dan memerintah): pengisolasian pihak pembangkang (yakni mereka yang tidak patuh) agar mampu memulihkan prestisenya yang goncang dengan kekuatan fisik.

Pasang surut ini dalam pembagian kekuasaan, fluktuasi ini antara tendensi-tendensi sentrifugal dan sentripetal telah sering menjadi pertanyaan tentang kepribadiaan. Di bawah penguasa-penguasa lemah pembubaran kerajaan menjadi divisi-divisi aristokratis tampak jelas, sementara di bawah penguasa-penguasa kuat disiplin monarkis tumbuh subur…

Siklus semacam ini tetap berlangsung hingga ekonomi uang (money economy), yang memungkinkan adanya sentralisasi otoritas, kemudian menghentikannya.

Di bawah ekonomi barang yang primitif bendahara negara mendapatkan keuntungan kecil dari pemasukan (pajak) wilayah-wilayah pinggiran. Pajak-pajak digunakan lebih banyak digunakan sendiri oleh para penguasa lokal yang tetap berdiri sebagai pangeran-pangeran kecil yang ingin memerdekakan diri. Kekayaan raja, yang prinsipnya menggantungkan pemasukan dari ranah-ranah kerajaan, mengalami penurunan yang kronis. Padahal, meski di bawah sistem feodal, itu sangat diperlukan untuk menjaga dan menegakkan otoritas dan kekuasaan raja. Otoritas pusat sangat bergantung pada seluruh orang lokalnya, yang melakukan kontrol langsung terhadap pondasi-pondasi ekonomi sebagai tempat terletaknya dominasi.  

Namun ekonomi uang, yang memungkinkan menggaji para pegawai negara (yang dapat diganti), untuk memperkuat keuangan negara dan juga untuk mempertahankan ajudan bayaran—bersamaan dengan perbaikan komunikasi darat dan perubahan teknik perang—menyediakan kondisi yang diperlukan untuk emansipasi raja. Tidak dibutuhkan lagi pemanggilan para ksatria dan bala bantuan lokal.  Karena itu, pengaruh kuasa para tokoh lokal menjadi hancur, sementara mereka sekaligus juga kehilangan seluruh basis ekonomi akibat hancurnya pengaruh kuasa itu, seluruh mesin kekuasannya, dan monopolinya atas organ-organ administrasi yang cenderung berlaku turun-temurun. Meski diberi hak-istimewa di awalnya, kaum aristokrat kemudian menjadi warga negara biasa. Tugas karakteristik mereka sebagai kelas pejuang (class of warriors), yang merupakan ciri penting bagi keunggulannya, telah berakhir, dan sebagai suatu kelas mereka tidak mampu menciptakan tugas baru yang setara.  Akibat  atropia sosial ini, ketokohan mereka semakin mengeras untuk menjadi suatu kasta. Karena akhirnya mereka menjadi tuan tanah kapitalistik, mereka pun membentuk suatu kelas ekonomi dalam bekerjasama dengan yang lain. Sebagai pegawai dalam korps pegawai yang terdiri atas unsur-unsur heterogen, mereka menyebarkan ke korps tersebut apa yang masih mereka anggap sebagai tradisi-tradisi, cita-cita, dan standar-standar masa kesatriaan. Bahkan pengangkatan mereka dalam sistem pemerintahan, yang semula mereka amankan dengan kekuatan kelangsungan historis, pada akhirnya harus dibagi dengan, atau diserahkan kepada, orang lain karena negara mengalami perubahan karakter dan organ-organnya menuntut dikaryakannya staff ahli teknis yang berbeda.

Di sini kita tidak melantur tentang bangsa demokratis, yang selama itu tidak dikenal dalam sejarah Timur. Kemunculannya, sungguh, terkait erat dengan evolusi kapitalisme modern, yang mempeluangi kelas-kelas lain dengan kesempatan berkembang. Ia juga menghancurkan supremasi dan monopoli aristokrasi feodal, dan menciptakan elit sosial baru untuk menggantikan elit lama aristokrasi yang secara sosial dimatikan. Sebagaimana dalam masyarakat feodal struktur sosial membuat tuntutan-tuntutan terhadap para pemimpin yang hekikatnya berbeda dengan tuntutan yang dipenuhi oleh primi inter pares dalam masyarakat primitif yang diatur berdasar garis asosiasi, maka masyarakat kapitalis mensyaratkan para pemimpin ekonomi, intelektual dan politik untuk memiliki kemampuan-kemampuan sosial yang berbeda dibanding apa yang dimiliki oleh aristokrasi feodal. Karakter birokrasi juga mengalami transformasi radikal dalam jangka panjang sebagai akibat dari berbagai perubahan dalam hubungan sosial. Gagasan tentang “masyarakat” menggantikan tempat absolutisme yang telah melahirkannya.

Dan kemudian kita belum menyebut perubahan-perubahan dalam tipe elit baru ini dibandingkan dengan para pedagang besar abad-abad sebelumnya, yakni perubahan yang dibawa serta oleh industrialisasi dan kemudian oleh terbentuknya perusahaan,  sistem trust, kartel, dan sebagainya. Menghadapi perubahan structural, para pemimpin sebelumnya, yang merupakan penjelmaan bentuk-bentuk organisasi lama, wajib mengadaptasikan diri jika mereka mampu, atau jika tidak, mereka akan terinjak-injak habis-habisan.

Kaum intelektual kini mengasumsikan signifikansi sosial yang besar, tidak hanya dalam kehidupan parlementer sebagai politisi profesional, untuk mengisi jabatan-jabatan di dalam mesin-mesin partai birokratik dan untuk memberdayakan organ-organ pemerintah dan cabang-cabang kegiatan pemerintah, melainkan juga di dalam kehidupan bisnis dan komersial, sebagai teknisi dan administrator terkemuka, serta di dalam profesi-profesi independen, dan sebagainya.

Meski demikian, realitas historis tidak seskematis deskripsi tipe-tipe yang dapat ia tampakkan; bahkan lebih kaya dan lebih rumit. Meski terjadi berbagai kejutan (shock), kita dapat melihat sebuah transisi gradual. Kita juga dapat melihat dalam peristiwa perubahan struktural, yakni ketahanan atavisme—nilai-nilai tradisional yang bermuasal dari masa lalu namun terus mempengaruhi masyarakat, hingga masyarakat baru pada akhirnya menjadi sadar akan nilai aktualnya dan akan kekosongan bentuk yang diasumsikan perubahan struktural tersebut.
  

Ringkasan (Pokok-Pokok) Penjelasan

Tipe Primus Inter Pares

Tipe primus inter pares merupakan organisasi politik yang diatur berdasarkan garis asosiasi dan memiliki ekonomi sendiri. Karakter utamanya: komunalitas. Misalnya: masyarakat Toraja dengan hukum paternal, masyarakat Minangkabau yang matriarkal, atau masyarakat Gayo yang patriarkal.

Elit sosial harus memiliki pengetahuan mendalam tentang adat yang dianutnya, di samping sikap keramahtamahan, keberanian (termasuk berani menerima tanggungjawab), kelihaian berpidato di depan umum, ketangkasan dalam berbagai hal, dan kelembutan menghormati martabat orang lain.

Kepemilikan atau kekayaan tidak secara otomatis mampu mendeterminasi posisi sosial. Prestise dan pengaruh seseorang lebih bersumber dari kualitas-kualitas yang diapresiasikan (tentu dengan tolok ukur nilai-nilai adat) oleh masyarakat terhadapnya dalam miliu (lingkungan) setempat.  Meski demikian, pada gilirannya prestise sosial akan mendatangkan keuntungan ekonomis.

Kepemimpinan yang berlaku lebih berdasarkan faktor hereditas dalam garis keturunan sebuah keluarga atau kelompok keluarga. Kelahiran seseorang, karena itu, sangat signifikan mendeterminasi status sosial dan privilese (hak istimewa) tertentu.

Pergantian pemimpin oleh keturunan berikutnya tidak membawa serta perubahan atau transformasi dalam organisasi sosial masyarakat. Organisasi sosial tetap sama dengan apa yang telah dibangun dan ‘ditentukan’ oleh para pendahulu. Pemimpin bukan penguasa atau pemberi perintah (ruler) bagi masyarakat. Spirit komunalitas, yang turun-temurun, menentukan apa yang harus dilakukan oleh sang pengganti. Maksudnya, kesepakatan sosial yang diterima secara komunal merupakan pedoman untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan.

Jika ingin mendobrak kemapanan atau membangun kekuasaan baru—untuk menyaingi pemimpin yang terpilih menurut hukum adat—seseorang atau sekelompok orang harus berdiri sebagai tiran sejati, dengan merampas bahan makan masyarakat. Hal ini dipraktikkan oleh Ta Rama, seorang tokoh salah satu dari empat-beas suku di Toraja. Atau, orang melakukan pamer kekuatan (show of power) dengan melancarkan teror atau ancaman agar masyarakat menjadi cemas, sehingga masyarakat mau menyerahkan apa yang diinginkan oleh ‘penguasa baru’ tersebut—seperti yang dipraktikkan oleh seorang kepala desa di muara Sungai Poso. Meski demikian, pendobrak kemapanan semacam itubiasanya di-back up (secara tersembunyi atau terang-terangan) oleh pihak superior di luar masyarakat tersebut.

Lebih jauh, primi inter pares, kepala masyarakat primitif yang diatur berdasarkan garis-garis asosiasi, hanya dikenal atau diakui oleh masyarakat (desa) setempat sepanjang mereka yakin bahwa dia selalu berbicara atas nama adat. Jika dia mencoba menolak mengikuti kehendak mayoritas, masyarakat akan memilih primi inter pares yang baru. Dalam batasan-batasan adat, dia menikmati prestise tertentu, namun tidak memiliki otoritas (wewenang) sendiri secara luas.

Dalam kehidupan tradisional mereka agen pemerintah (negara) lazimnya menemui kesulitan besar untuk menjalankan tugasnya. Agen-agen negara tidak akan dipatuhi; dan para agen tidak dapat memberikan perintah-perintah. Sanksi sosialnya, agen pemerintah tidak berguna (hampir) sama sekali di dalam menjalankan fungsinya dengan baik.

Jika negara memaksakan diri menempatkan agen-agennya—kendati telah dipilih dari daerah setempat—, masyarakat pun tidak akan menerima atau mengakuinya, dan tetap cemburu akan kebebasan ekspresi tradisionalnya. Pemilihan Umum (pemilu), sebagaimana pernah diterapkan di sana, dapat dikatakan mubasir. Orang yang terpilih lewat pemilu itu dianggap bukan pemimpin mereka sebagai rakyat—karena wewenang atau kekuasannya tidak diakarkan dan bersumber dari tradisi, tidak berkembang secara organis. Orang yang terpilih itu hanya dianggap sebagai ‘pegawai’ (pemerintah/negara) atau alat kekuasaan negara belaka.

Bahkan, secara lebih ekstrem, adalah tidak mungkin bagi pemerintah atau negara untuk membentuk aristokrasi baru meski dimunculkan dari keturunan pemimpin setempat. Singkatnya, selama ada intervensi pemerintah atau negara, kepemimpinan seseorang tetap saja dimaknai sebagai instrumen negara—dan hal ini hakikatnya ditolak oleh masyarakat tradisional tersebut.


Tipe Kerajaan

Wewenang dan kekuasan dalam organisasi politik tradisional yang bertipe kerajaan, sebagaimana teori politik dewasa ini, biasanya diperoleh akibat penaklukan. Bagaimana hal ini dijelaskan?

Hasrat untuk berkuasa seseorang, yang diberi angin oleh masyarakat akibat supremasi spirit kelompok, hanya dapat mengekspresikan diri dalam memperlakukan mereka. Jika calon penguasa itu mampu membuktikan kemampuannya sebagai penakluk, didukung signifikansi kesuksesannya untuk kepentingan mereka, maka terbentuklah basis prestise si penakluk di tengah mereka. Masyarakat umum, yang merasa tak mampu mengemban tugas memimpin, merasa perlu mensubordinasikan diri dan dengan senang hati mengikuti pemimpin yang dikagumi selama dia sanggup mewujudkan kehebatannya pula untuk mengatasi masa-masa sulit.  Dengan demikian, prestisenya memperoleh basis baru.

Selanjutnya, tekanan massa justru meningkatkan kehormatan yang telah dirasakannya dan akibatnya rasa-percaya-dirinya juga membangkitkan rasa-percaya-diri dan kepatuhan massa. Otoritas atau wewenang yang pernah diperolehnya tumbuh dengan sendirinya, bahkan melebihi apa yang dirasakan sebelumnya.  Seiring dengan waktu, kekuasaannya akan tumbuh pula. Elemen baru kemudian menjadi bagian dari masyarakat: yakni dibangunnya sebuah struktur baru. Dan sepanjang opini massa mengakui sang pemimpin tidak gagal dalam menjalankan dasar-dasar fungsi sosial, otoritas pemimpin ini makin dipertahankan.

Sebagai contoh, dulu pangeran-pangeran kecil di pesisir Melayu berpaling ke Jawa, dalam arti mengakui kebesaran kerajaan-kerajaan Jawa. Secara periodic mereka mengirimkan pajak dan upeti ke raja-raja Jawa yang diakuinya memliki kekuasan agung. Selain itu, mereka menerapkan institusi-institusi kerajaan Jawa ke dalam negara mereka sendiri dalam rangka mengidentifikasi diri dengan para penguasa agung di Jawa dan sekaligus memperoleh kemasyhurannya.  Keluarga-keluarga raja kecil itu malah memperkuat kedekatannya dengan Jawa dengan ikatan tali perkawinan. Mereka kemudian menikah dengan putra atau putri dari Jawa atau Bugis. Sebagian malah keturunan Arab, sebagimana beberapa keluarga adipati Jawa juga berdarah Arab atau Cina. Dengan cara demikian, otoritas pangeran-pangeran kecil Melayu hakikatnya makin lemah akibat makin terpenetrasi ke dalam kerajaan Jawa.

Meski demikian, kekuasaan raja tidak selalu tumbuh berkat kehebatannya dalam menaklukkan pihak lain. Hal ini kadang tumbuh dari masyarakat pesisir yang hanya menggantungkan hidupnya terhadap produk-produk tertentu yang tak mampu diberdayakannya sendiri secara optimal. Masyarakat inilah yang justru berharap memperoleh pihak lain yang mampu mengoptimalkan produk mereka, dan karena itu menyerahkan diri. Tanpa penaklukan, melainkan penyerahan diri untuk diatur.

Selain itu, kekuasaan atau prestise raja diperoleh dengan memanfaatkan kepercayaan terhadap adanya mistik, mitos, dan magis. Jika seseorang dimitoskan sedemikian rupa sehingga dianggap memiliki keunggulan atau keajaiban tertentu, maka masyarakat yang masih percaya terhadap mitos akan memberikan pengakuan kepadanya. Demikian pula, jika raja kian kokoh dimasukkan dalam wacana mitos ini, maka raja itu secara otomatis memperoleh prestise atau kekuasaan baru.


Tipe ‘Negara’ Patrimonial

 Dalam ‘negara’ patrimonial, yang masih terkait sistem kerajaan, raja merintis pendelegasian wewenangnya kepada orang-orang terpilih. Di sana terdapat gubernur, duta raja, atau pejabat penting—untuk menopang roda pemerintahannya. Meski demikian, raja masih tetap merupakan arah sentralnya.

Birokrasi pemerintahan raja melibatkan jajaran aristokrasi, yakni suatu bentuk sistem kekuasaan atau pelaksanaan “kekuasaan oleh orang-orang terbaik” (makna asal kata-kata Yunani aristos dan kratos) yang ukuran paling pentingnya ialah keturunan. Kesejajaran aristokrasi ialah dinasti, atau lebih tegasnya dinasti keturunan atau genealogical dynasty (Madjid 2001:4).

Dengan adanya subordinasi daerah-daerah kerajaan, yang di dalamnya terletak pusat konflik antara raja dan tokoh-tokoh lokal, raja lazim menerapkan wewenangnya sebagai penguasa dan pengayom dengan memberikan kelonggaran tertentu untuk mengatur daerahnya sendiri.   

Ketika Sultan Agung mangkat (1646) daerah-daerah kerajaan Mataram mengalami koherensi yang longgar. Maka, dinobatkanlah Mangkurat I (1646-1677) yang selama pemerintahannya ditemukan suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk menerapkan ide ‘negara’ (state) ke dalam praktik (Schrieke 1955:184).

Jika selama Sultan Agung para pangeran ditempatkan di lingkungan istana dan mengikat mereka dalam aliansi perkawinan ketat sehingga mudah diawasi (dengan demikian aristokrasi kerajaan dipaksa menjadi court nobility), maka Amangkurat I sebenarnya malah melakukan sentralisasi birokrasi pemerintahan, dan bersitegas menyingkirkan mereka yang membandel dan orang-orang yang terlibat. Birokrasi pemerintahannya ditopang dengan pengangkatan tokoh-tokoh yang kompeten di bidangnya.

Pengangkatan tokoh-tokoh yang kompeten di bidangnya agaknya sangat penting bagi Mangkurat I untuk menggolkan tujuan politiknya. Di dalam sentralisasi yang diterapkannya, dia sebenarnya juga mengimplikasikan distribusi kewenangan. Mangkurat I “menyerahkan pemerintahan (atau administrasi) provinsi-provinsi Mataram di tangan para ministeriale  yang secara konstan dia ganti untuk mencegah timbulnya aspirasi memerdekakan diri” (Schrieke 1955:184). Meski demikian, Mangkurat I tetap merupakan muara kekuasaan para pembesar-nya.

Mangkurat I membuat pajak uang (money taxation) sebagai norma agar pemerintah sentral/pusat memperoleh pemasukan dari provinsi-provinsi tersebut. Namun, ketika dinilainya pemasukan itu kurang efektif, dia mempercayakan penarikan pajak kepada para ministeriale, dan cara kedua ini berhasil. Dia menempuh cara yang sama terhadap tugas-tugas ekspor-impor, yang dipilahnya ke dalam ‘departemen’ terpisah. Perdagangan luar-negara (foreign trade) menjadi sebuah monopoli negara.

Namun, upaya kerasnya untuk membentuk suatu ‘negara’ dalam masyarakat berdasarkan ekonomi barang, dengan sistem komunikasi (dan transportasi) yang lemah, dianggap gagal, meski dalam pajak-uang cukup berhasil. Kegagalan ini ditangkap oleh Kompeni (pemerintah Hindia Belanda) sebagai peluang untuk melakukan intervensi—terlebih saat itu Kompeni telah menguasai sebagian besar Tanah Jawa. Dengan intervensi Kompeni, peran aristokrasi asli kerajaan menjadi sangat lemah posisinya.

Para tokoh residen yang disebut Kompeni sebagai ministeriale tersebut dipertegas dengan gelar-gelas seperti kyai, tumenggung, ngabehi, rangga, dan kentol sesuai dengan pangkatnya. Gelar-gelar terhormat pangeran dan raden hanya khusus untuk anggota sentana kerajaan; dan aristokrat asli menerima akibat yang terbesar. Namun, wewenang para ministeriale terhadap rakyat tidak mengalami kesurutan, meski fungsinya tidak berdasarkan keturunan. Wewenang ini tumbuh di luar struktur sosial (istana) kerajaan. Tentu saja semua ini tak lepas dari intervensi birokrasi pemerintah Kompeni.

Karena Kompeni tahu benar prinsip hereditas di dalam sistem keraton, mereka memanfaatkan peluang ini dengan mendekati sentana kerajaan Mangkurat I. Meski pada taraf tertentu Kompeni telah berhasil “melemahkan” sebagian sendi kehidupan birokrasi keraton, mereka menganggap hal itu bukan suatu keberhasilan yang sempurna. Masuklah mereka ke dalam pengelolaan pertanian rakyat, yang semula ditangani langsung oleh para ministeriale—tentu dengan pertimbangan ekonomi, dan pada akhirnya kekuasaan. Dalam ekonomi, Kompeni meraup pembagian pengelolaan lahan, sementara dalam kekuasaan mereka secara halus telah menggerogoti otoritas dan kekuasaan Mangkurat I.

Kompeni mencapai keberhasilan besar dalam memasukkan konsep ‘negara’ patrimonial a-la Barat semenjak Daendels ditugaskan di Jawa. Kompeni bahkan memberikan gelar-gelar kepada para adipati, tumenggung, dan sebagainya yang diambil dari sistem kemiliteran Hindia Belanda. Dengan demikian, ditambah gelar dari kerajaan/keraton,  mereka kemudian menyandang gelar ganda. Dan keberhasilan ini masih dikokohkan lagi oleh Rafflles, gubernur letnan di Jawa sebagai pengganti Daendels, berdasarkan kegemilangannya membangun Singapura. Terhadap keberhasilan Kompeni di bawah prestasi Raffles ini, Schrieke (1955:186) menulis berikut ini:

This was at the time the mood generally prevalent, a mood typical of periods in which real authority has only just established itself, when a new system of colonial rule has been wrested from the hands of tradition.

(Inilah saatnya suasana yang biasanya muncul, yakni suasana tipikal periode-periode di mana otoritas sesungguhnya malah hanya berdiri sendiri, tatkala suatu sistem baru kolonial baru telah direbut dari tangan-tangan tradisi.)

Tampaklah di sini, kekuasaan Mangkurat I menjadi terbatas di lingkungan keraton.  Birokrasi pemerintahan ‘negara’ patrimonial yang telah dibentuknya terjangkit virus-virus kekuasaan yang disebarkan oleh Kompeni. Dengan demikian, cita-cita Mangkurat I untuk menerapkan birokrasi dengan menerapkan gagasan ‘negara’ ke dalam praktik mengalami kegagalan.



(Catatan: khusus untuk Tipe ‘Negara’ Patrimonial, saya telah membahasnya di dalam makalah bahan diskusi yang berjudul “Memahami Pemerintahan ‘Negara’ Patrimonial: Kasus Mataram di Bawah Mangkurat I”—disampaikan pada diskusi kelas Kapita Selekta Politik Indonesia,  Program S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, Selasa 13 Februari 2007.)

Tidak ada komentar:

Promo Email

Dear friend, I want to introduce you to a website that I recently found to make big earn online. It works all around the clock, and for not just days or weeks, but for months and months, making you big of profit. $0.00 invest - earn hunders daily. It's real and easy way to make money in online. Open the link below to learn more: http://www.bux4ad.com/aft/b1d99e16/2a7dab89.html See you, Much. Khoiri