B. Schrieke
(Diterjemahkan oleh
Much.
Khoiri)
Sejak
terjadinya sejumlah peristiwa di penghujung 1926 dan khususnya permulaan 1927
masalah ‘penguasa asali’ (native rulers),
pengaruhnya di tengah rakyat, dan tempatnya dalam sistem pemerintahan Hindia
Belanda telah menyedot perhatian pers dan Dewan Rakyat (People’s Council). Diskusi-diskusi relevan, yang kerap dibumbui
perasaan, telah didominasi oleh tiga tema besar, yakni “Pemimpin Rakyat atau
Pemimpin Pemerintah”, “Biarkan Para Bupati Tetap sebagai Pemimpin Rakyat”, dan
“Kedudukan Kaum Intelektual dalam Sistem Dewasa Ini”. Pada 17 Februari 1927 Civil Service
Department mengumumkan ‘Memorandum dari kantor Urusan Pemerintah Provinsi
Terluar” mengenai kebijakan pemerintah. Saya yakin akan lebih jelas untuk
menghapus pertanyaan-pertanyaan ini dari ruang rumit tentang perjuangan dan
argumen politik, dan untuk mencoba bersama Anda membahas makna dan skope konsep
‘Pemimpin Rakyat’, di negara ini khususnya, hingga penelitian cermat yang sistematis.
Sejarah evolusi sosial Eropa
Barat—betatapun transisinya bersifat gradual dari satu fase ke fase lainnya—dengan
seluruh variasi lokalnya telah menyebabkan kita membedakan sejumlah tipe
organisasi politik, yang di antaranya juga didapati dalam sejarah bagian-bagian lain dunia ini. Tipe-tipe ini,
yang akan kita deskripsikan secara ringkas, bersifat “superhistoris’, yang
merupakan abstraksi realitas. Merekalah norma-norma untuk menilai fakta historis
dalam seluruh keragaman (diversitas)-nya yang multi-warna.
Tipe pertama dalam pikiran kita adalah
komunitas primitif, biasanya geneologis dan agraris, yang diatur berdasarkan
garis-garis asosiasi dan memiliki ekonominya sendiri. Sebagai kelompok kecil
yang homogen, komunitas ini menyerahkan kepemimpinan kepada para kepala
keluarga, yang salah satunya mempersonifikasikan kesatuan kelompok itu sebagai
suatu primus inter pares. Tiada
perintah atau komando, tiada pula beban hasrat (kehendak). Disiplin-disiplin
internal yang alamiah dibangun atas kesepakatan bulat setelah melewati konsultasi
mutual yang luas. Karakter komunal komunitas ini mendorong sikap
saling-menghormati di antara anggotanya. Satu-satunya otoritas adalah otoritas
spirit kelompok, dan satu-satunya sanksi adalah sanksi opini publik dan penghormatan umum atas para pendahulu. Spirit
memerintahnya—sebagai konservatisme—ialah untuk membiarkan segala sesuatu
sebagaimana yang telah “ditetapkan” oleh para pendadulunya. Karakter komunal
mereka sangat menonjol. Hampir tiada ruang untuk melakukan pengembangan
individualitas. Wilayah, pekerjaan, minat, tradisi, adat, opini, ideolog, usaha,
dan rekreasi, semuanya bersifat komunal. Karakteristik esensial dari tipe ini
adalah nature yang statis, yang
merupakan kondisi esensial bagi pemeliharaan karakter komunal pada ukuran
terbatas, yang pada gilirannya dideterminasi oleh sistem produksi yang
dianutnya. Jika kelompok ini semakin berkembang, ia terancam akan mengalami
disintegrasi. Anggota yang tak puas
dapat melepaskan diri dan membentuk kelompoknya sendiri, atau kelompok itu
memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dengan ikatan pertalian yang longgar.
Tipe kedua yang hendak kita bahas
dikenal sebagai “kerajaan” dengan berbagai bentuk dan fase perkembangan. Tipe
ini merupakan sebuah organisasi politik—baik
otoritas maupun kekuasaan—bergantung pada apakah perpaduan (union) yang luas menyerap
kelompok-kelompok lokal yang heterogen, atau belum terlahirkan oleh spirit
kelompok baru dari tatanan tinggi; maksudnya, apakah perpaduan mekanis sudah atau belum berkembang di
dalam keseluruhan organis. Dalam
setiap kasus otoritas penguasa harus membereskan defisiensi (kekurangan) baik
spirit kelompoknya maupun spirit berbagai kelompok lokal.
Berdasarkan teori yang berlaku
asal-muasal kerajaan didasarkan pada penaklukan. Hal ini mengintroduksi sebuah elemen baru ke
dalam komunitas ‘alamiah’ yang otonom: yakni
beban atau gangguan dari luar. Kelompok geneologis ini—atau dalam kasus
hunian di satu tempat dengan populasi yang relatif padat adalah kelompok yang
terorganisasi secara teritorial—menjadi bagian subordinat dari satu kelompok
bersama yang besar. Upaya dapat ditempuh untuk menarik diri dari kelompok besar
ini dan mengikuti arus yang independen selama semua ini memungkinkan; namun,
karakteristik penting dari kerajaan adalah masih adanya kecenderungan—betapapun
tak sepenuhnya disadari dalam praktik—ke arah subordinasi bagian-bagian
komponen pada tujuan tunggal, yakni kehendak sang penguasa, meski hal ini harus
disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang ada. Di sini terletak pusat konflik
kekuasaan antara raja dan tokoh-tokoh lokal, sebuah konflik yang hanya dapat
diselesaikan dengan munculnya ‘negara’.
Situasi akan menjadi sebaliknya jika
penaklukan diikuti dengan pengkaryaan yang aktual. Jika penaklukan berarti inkorporasi
ke dalam suatu perpaduan yang luas di mana kelompok-kelompok pembentuk perpaduan
itu menjaga identitas masing-masing, maka kelompok penguasa lokal dapat
mempertahankan posisi tradisionalnya di dalam kelompoknya sendiri tanpa banyak kendala.
Dalam hal ini raja hanyalah seorang primus
inter pares. Namun, tatkala pengkaryaan (terhadap pihak lain) diberlakukan,
ada dua kemungkinan perkembangan. Pertama, kelas penguasa lokal mungkin menyatu
dengan penguasa-penguasa baru, di mana kelas ini mendapatkan otoritasnya dari
kelas penguasa baru tersebut. Kedua,
kelas penguasa itu mungkin menurunkan diri ke posisi inferior: ia
kehilangan fungsi sosialnya yang esensial dan pada waktunya juga kehilangan signifikansi
sosial tradisionalnya.
Kerajaan menyatukan sejumlah orang
yang dikoordinasi atau disubordinasi di bawah otoritas seorang raja. Kondisi jalan dan alat transport yang masih
primitif menghalangi kontak (meski amat dekat) antara otoritas pusat dan
wilayah-wilayah yang beragam, yang pranata-pranatanya tetap bertahan utuh.
Kewajiban-kewajiban terhadap kerajaan biasanya terbatas pada pemberian
penghormatan di istana dari waktu ke waktu, penyerahan upeti, dan kesediaan untuk wajib militer pada masa perang.
Suatu perubahan terjadi dalam karakter
para pemimpin komunitas primitif: mereka tidak hanya harus bertindak sebagai
penyambung kehendak otoritas pusat, melainkan juga meyakini bahwa dukungan
otoritas pusat membuka kemungkinan bagi mereka untuk berkembang maju dari primi inter pares ke tokoh-tokoh
penguasa sepanjang mereka mampu. Kesempatan ini telah diciptakan demi munculnya
sebuah aristokrasi primitif, jika kehendak superior otoritas pusat tidak
bertindak terlalu koersif, tetapi memberikan ruang bagi berkembangnya otoritas
lokal yang otonom.
Kalau kerajaan terdiri atas sejumlah
daerah-daerah yang lebih kecil, ia akan menunjukkan kecenderungan untuk
mempererat hubungan-hubungan dinastinya lewat tali perkawinan.
Wahana lain untuk membangun otoritas
pemerintah pusat—yakni yang pernah terjadi di Babylon , China
dan Mesir kuno—adalah penunjukan atau pengangkatan agen-agen rahasia raja
sebagai gubernur atau wakil (duta) di berbagai wilayah yang berbeda. Cara ini
membuka jalan bagi tokoh-tokoh tingkat tinggi untuk menduduki jabatan ministeriale bagi mereka yang berasal
dari wilayah pinggiran. Toh sistem ministeriale
ini tidak lepas dari sistem desentralisasi. Berkembanglah ketokohan profesional
akibat keturunan yang berkawin-silang dengan ketokohan lama, atau yang, pada
gilirannya, mencari kebebasan dari pemerintah pusat. Kesuksesan mereka juga
dideterminasi oleh kemampuan yang mereka tunjukkan untuk melatih dan mengeksploitasi
fungsi mereka di dalam konstelasi sosial yang diberikan.
Metode ketiga untuk mengikat berbagai
wilayah ke otoritas pusat adalah pembentukan ajudan-ajudan bayaran dengan
tujuan untuk membuat raja lebih independen dari bantuan para wakilnya di
daerah. Meski demikian, di sini para ajudan pun ternyata berupaya mencari
kekuasaan untuk dirinya sendiri. Karena itu, baik penciptaan sistem kepegawaian
maupun pembentukan ajudan bayaran tidak memberikan solusi terhadap ‘perselisihan’
antara raja dan kaum aristokrat.
Mulai tampak jelas ada dua kelas di
dalam kerajaan, yakni kelas yang aktif dan kelas yang pasif. Kelas yang aktif,
yakni kelas penguasa, yang terdiri dari raja dan aristokrasi yang aslinya bersikap
sama terhadap rakyat, meski kepentingan-kepentingan mereka antagonistik tapi
mutualistik. Adapun kelas yang pasif adalah kelas subjek atau rakyat, yang
musti patuh kepada kelas yang aktif. Struktur sosial ini bertahan selama
berabad-abad, meski komposisi kelas atas mengalami perubahan
berulang-ulang—sebagaimana juga dapat disaksikan di Eropa barat. Keluarga raja
mati, dimusnahkan, disingkirkan oleh keluarga lain (hominus novi); namun struktur sosialnya tetap bertahan. Jika
diamati, kepentingan-kepentingan kelas penguasa sangat menonjol, meski faktor
personal dalam hubungannya dengan rakyat, yakni keintiman patriarki tertentu,
dapat dipelihara—yang, sayangnya, tidak selalu sejalan dengan bagaimana tingkah
personal rakyat, apakah suka atau tidak.
Kepentingan-kepentingan kelas penguasa menonjol, namun di dalam
pemerintah telah muncul kuman-kuman administrasi, dan di dalam kepentingan
kelas muncul kuman-kuman mengangkat hal-hal umum yang baik.
Tipe ketiga yang kita sebut setelah
sistem kerajaan adalah “negara” (patrimonial), suatu organisasi politik yang
mencegah munculnya gangguan bagian-bagian komponen kerajaan dan membuat
tokoh-tokoh lokal lebih efektif dalam layanannya. Para
raja kadang mencapai hal ini dengan mencari dukungan bagi otoritasnya dari
kelas-kelas sosial tertentu, yang dengan bantuannya dapat menghancurkan
supremasi kaum aristokrat. Dengan melakukan hal ini, mereka meretas
kekuatan-kekuatan yang, di Barat dalam bentuk bangsa demokratis, akhirnya untuk
membatasi adanya monarki absolut.
Sejak itulah negara sebagai penguasa
telah memberikan jalan ke arah negara berkesejahteraan (welfare state): kepentingan-kepentingan monarki, di mana dia
sendiri identik dengan negara, harus tunduk pada kepentingan raja dan rakyat,
hingga rakyat sendiri mengenyam semacam kedaulatan.
Selama Naturalwirtschaft, atau ekonomi barang (goods economy), menonjol, disintegrasi kerajaan feodal akhirnya tak
terelakkan lagi, sebagian karena ketiadaan komunikasi yang efektif. Senjata
paling ampuh yang diterapkan raja untuk melindungi posisinya dari tokoh-tokoh
daerah (provinsial) adalah prinsip “divide and rule” (memecah dan memerintah):
pengisolasian pihak pembangkang (yakni mereka yang tidak patuh) agar mampu
memulihkan prestisenya yang goncang dengan kekuatan fisik.
Pasang
surut ini dalam pembagian kekuasaan, fluktuasi ini antara tendensi-tendensi
sentrifugal dan sentripetal telah sering menjadi pertanyaan tentang
kepribadiaan. Di bawah penguasa-penguasa lemah pembubaran kerajaan menjadi
divisi-divisi aristokratis tampak jelas, sementara di bawah penguasa-penguasa
kuat disiplin monarkis tumbuh subur…
Siklus semacam ini tetap berlangsung
hingga ekonomi uang (money economy),
yang memungkinkan adanya sentralisasi otoritas, kemudian menghentikannya.
Di bawah ekonomi barang yang primitif
bendahara negara mendapatkan keuntungan kecil dari pemasukan (pajak)
wilayah-wilayah pinggiran. Pajak-pajak digunakan lebih banyak digunakan sendiri
oleh para penguasa lokal yang tetap berdiri sebagai pangeran-pangeran kecil
yang ingin memerdekakan diri. Kekayaan raja, yang prinsipnya menggantungkan
pemasukan dari ranah-ranah kerajaan, mengalami penurunan yang kronis. Padahal,
meski di bawah sistem feodal, itu sangat diperlukan untuk menjaga dan
menegakkan otoritas dan kekuasaan raja. Otoritas pusat sangat bergantung pada
seluruh orang lokalnya, yang melakukan kontrol langsung terhadap
pondasi-pondasi ekonomi sebagai tempat terletaknya dominasi.
Namun ekonomi uang, yang memungkinkan
menggaji para pegawai negara (yang dapat diganti), untuk memperkuat keuangan
negara dan juga untuk mempertahankan ajudan bayaran—bersamaan dengan perbaikan
komunikasi darat dan perubahan teknik perang—menyediakan kondisi yang
diperlukan untuk emansipasi raja. Tidak dibutuhkan lagi pemanggilan para
ksatria dan bala bantuan lokal. Karena
itu, pengaruh kuasa para tokoh lokal menjadi hancur, sementara mereka sekaligus
juga kehilangan seluruh basis ekonomi akibat hancurnya pengaruh kuasa itu,
seluruh mesin kekuasannya, dan monopolinya atas organ-organ administrasi yang
cenderung berlaku turun-temurun. Meski diberi hak-istimewa di awalnya, kaum
aristokrat kemudian menjadi warga negara biasa. Tugas karakteristik mereka
sebagai kelas pejuang (class of warriors),
yang merupakan ciri penting bagi keunggulannya, telah berakhir, dan sebagai
suatu kelas mereka tidak mampu menciptakan tugas baru yang setara. Akibat
atropia sosial ini, ketokohan mereka semakin mengeras untuk menjadi
suatu kasta. Karena akhirnya mereka menjadi tuan tanah kapitalistik, mereka pun
membentuk suatu kelas ekonomi dalam bekerjasama dengan yang lain. Sebagai
pegawai dalam korps pegawai yang terdiri atas unsur-unsur heterogen, mereka
menyebarkan ke korps tersebut apa yang masih mereka anggap sebagai tradisi-tradisi,
cita-cita, dan standar-standar masa kesatriaan. Bahkan pengangkatan mereka
dalam sistem pemerintahan, yang semula mereka amankan dengan kekuatan
kelangsungan historis, pada akhirnya harus dibagi dengan, atau diserahkan
kepada, orang lain karena negara mengalami perubahan karakter dan
organ-organnya menuntut dikaryakannya staff ahli teknis yang berbeda.
Di sini kita tidak melantur tentang
bangsa demokratis, yang selama itu tidak dikenal dalam sejarah Timur.
Kemunculannya, sungguh, terkait erat dengan evolusi kapitalisme modern, yang
mempeluangi kelas-kelas lain dengan kesempatan berkembang. Ia juga
menghancurkan supremasi dan monopoli aristokrasi feodal, dan menciptakan elit
sosial baru untuk menggantikan elit lama aristokrasi yang secara sosial
dimatikan. Sebagaimana dalam masyarakat feodal struktur sosial membuat
tuntutan-tuntutan terhadap para pemimpin yang hekikatnya berbeda dengan
tuntutan yang dipenuhi oleh primi inter
pares dalam masyarakat primitif yang diatur berdasar garis asosiasi, maka
masyarakat kapitalis mensyaratkan para pemimpin ekonomi, intelektual dan
politik untuk memiliki kemampuan-kemampuan sosial yang berbeda dibanding apa
yang dimiliki oleh aristokrasi feodal. Karakter birokrasi juga mengalami
transformasi radikal dalam jangka panjang sebagai akibat dari berbagai
perubahan dalam hubungan sosial. Gagasan tentang “masyarakat” menggantikan
tempat absolutisme yang telah melahirkannya.
Dan kemudian kita belum menyebut
perubahan-perubahan dalam tipe elit baru ini dibandingkan dengan para pedagang
besar abad-abad sebelumnya, yakni perubahan yang dibawa serta oleh
industrialisasi dan kemudian oleh terbentuknya perusahaan, sistem trust,
kartel, dan sebagainya. Menghadapi perubahan structural, para pemimpin
sebelumnya, yang merupakan penjelmaan bentuk-bentuk organisasi lama, wajib
mengadaptasikan diri jika mereka mampu, atau jika tidak, mereka akan
terinjak-injak habis-habisan.
Kaum intelektual kini mengasumsikan
signifikansi sosial yang besar, tidak hanya dalam kehidupan parlementer sebagai
politisi profesional, untuk mengisi jabatan-jabatan di dalam mesin-mesin partai
birokratik dan untuk memberdayakan organ-organ pemerintah dan cabang-cabang
kegiatan pemerintah, melainkan juga di dalam kehidupan bisnis dan komersial,
sebagai teknisi dan administrator terkemuka, serta di dalam profesi-profesi
independen, dan sebagainya.
Meski demikian, realitas historis
tidak seskematis deskripsi tipe-tipe yang dapat ia tampakkan; bahkan lebih kaya
dan lebih rumit. Meski terjadi berbagai kejutan (shock), kita dapat melihat sebuah transisi gradual. Kita juga dapat
melihat dalam peristiwa perubahan struktural, yakni ketahanan atavisme—nilai-nilai
tradisional yang bermuasal dari masa lalu namun terus mempengaruhi masyarakat,
hingga masyarakat baru pada akhirnya menjadi sadar akan nilai aktualnya dan
akan kekosongan bentuk yang diasumsikan perubahan struktural tersebut.
Ringkasan (Pokok-Pokok)
Penjelasan
Tipe Primus Inter Pares
Tipe primus inter pares merupakan organisasi politik yang diatur berdasarkan
garis asosiasi dan memiliki ekonomi sendiri. Karakter utamanya: komunalitas.
Misalnya: masyarakat Toraja dengan hukum paternal, masyarakat Minangkabau yang
matriarkal, atau masyarakat Gayo yang patriarkal.
Elit sosial harus memiliki pengetahuan
mendalam tentang adat yang dianutnya, di samping sikap keramahtamahan,
keberanian (termasuk berani menerima tanggungjawab), kelihaian berpidato di
depan umum, ketangkasan dalam berbagai hal, dan kelembutan menghormati martabat
orang lain.
Kepemilikan atau kekayaan tidak secara
otomatis mampu mendeterminasi posisi sosial. Prestise dan pengaruh seseorang lebih
bersumber dari kualitas-kualitas yang diapresiasikan (tentu dengan tolok ukur
nilai-nilai adat) oleh masyarakat terhadapnya dalam miliu (lingkungan) setempat. Meski demikian, pada gilirannya prestise
sosial akan mendatangkan keuntungan ekonomis.
Kepemimpinan yang berlaku lebih berdasarkan
faktor hereditas dalam garis keturunan sebuah keluarga atau kelompok keluarga.
Kelahiran seseorang, karena itu, sangat signifikan mendeterminasi status sosial
dan privilese (hak istimewa) tertentu.
Pergantian pemimpin oleh keturunan
berikutnya tidak membawa serta perubahan atau transformasi dalam organisasi
sosial masyarakat. Organisasi sosial tetap sama dengan apa yang telah dibangun
dan ‘ditentukan’ oleh para pendahulu. Pemimpin bukan penguasa atau pemberi
perintah (ruler) bagi masyarakat.
Spirit komunalitas, yang turun-temurun, menentukan apa yang harus dilakukan
oleh sang pengganti. Maksudnya, kesepakatan sosial yang diterima secara komunal
merupakan pedoman untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan.
Jika ingin mendobrak kemapanan atau
membangun kekuasaan baru—untuk menyaingi pemimpin yang terpilih menurut hukum
adat—seseorang atau sekelompok orang harus berdiri sebagai tiran sejati, dengan
merampas bahan makan masyarakat. Hal ini dipraktikkan oleh Ta Rama, seorang
tokoh salah satu dari empat-beas suku di Toraja. Atau, orang melakukan pamer
kekuatan (show of power) dengan
melancarkan teror atau ancaman agar masyarakat menjadi cemas, sehingga
masyarakat mau menyerahkan apa yang diinginkan oleh ‘penguasa baru’
tersebut—seperti yang dipraktikkan oleh seorang kepala desa di muara Sungai
Poso. Meski demikian, pendobrak kemapanan semacam itubiasanya di-back up (secara tersembunyi atau
terang-terangan) oleh pihak superior di luar masyarakat tersebut.
Lebih jauh, primi inter pares, kepala masyarakat primitif yang diatur
berdasarkan garis-garis asosiasi, hanya dikenal atau diakui oleh masyarakat
(desa) setempat sepanjang mereka yakin bahwa dia selalu berbicara atas nama
adat. Jika dia mencoba menolak mengikuti kehendak mayoritas, masyarakat akan
memilih primi inter pares yang baru.
Dalam batasan-batasan adat, dia menikmati prestise tertentu, namun tidak
memiliki otoritas (wewenang) sendiri secara luas.
Dalam kehidupan tradisional mereka
agen pemerintah (negara) lazimnya menemui kesulitan besar untuk menjalankan
tugasnya. Agen-agen negara tidak akan dipatuhi; dan para agen tidak dapat
memberikan perintah-perintah. Sanksi sosialnya, agen pemerintah tidak berguna
(hampir) sama sekali di dalam menjalankan fungsinya dengan baik.
Jika negara memaksakan diri menempatkan
agen-agennya—kendati telah dipilih dari daerah setempat—, masyarakat pun tidak
akan menerima atau mengakuinya, dan tetap cemburu akan kebebasan ekspresi tradisionalnya.
Pemilihan Umum (pemilu), sebagaimana pernah diterapkan di sana , dapat dikatakan mubasir. Orang yang
terpilih lewat pemilu itu dianggap bukan pemimpin mereka sebagai rakyat—karena
wewenang atau kekuasannya tidak diakarkan dan bersumber dari tradisi, tidak
berkembang secara organis. Orang yang terpilih itu hanya dianggap sebagai
‘pegawai’ (pemerintah/negara) atau alat kekuasaan negara belaka.
Bahkan, secara lebih ekstrem, adalah
tidak mungkin bagi pemerintah atau negara untuk membentuk aristokrasi baru
meski dimunculkan dari keturunan pemimpin setempat. Singkatnya, selama ada
intervensi pemerintah atau negara, kepemimpinan seseorang tetap saja dimaknai
sebagai instrumen negara—dan hal ini hakikatnya ditolak oleh masyarakat
tradisional tersebut.
Tipe Kerajaan
Wewenang dan kekuasan dalam organisasi
politik tradisional yang bertipe kerajaan, sebagaimana teori politik dewasa
ini, biasanya diperoleh akibat penaklukan. Bagaimana hal ini dijelaskan?
Hasrat untuk berkuasa seseorang, yang
diberi angin oleh masyarakat akibat supremasi spirit kelompok, hanya dapat
mengekspresikan diri dalam memperlakukan mereka. Jika calon penguasa itu mampu
membuktikan kemampuannya sebagai penakluk, didukung signifikansi kesuksesannya
untuk kepentingan mereka, maka terbentuklah basis prestise si penakluk di
tengah mereka. Masyarakat umum, yang merasa tak mampu mengemban tugas memimpin,
merasa perlu mensubordinasikan diri dan dengan senang hati mengikuti pemimpin
yang dikagumi selama dia sanggup mewujudkan kehebatannya pula untuk mengatasi
masa-masa sulit. Dengan demikian,
prestisenya memperoleh basis baru.
Selanjutnya, tekanan massa
justru meningkatkan kehormatan yang telah dirasakannya dan akibatnya
rasa-percaya-dirinya juga membangkitkan rasa-percaya-diri dan kepatuhan massa . Otoritas atau
wewenang yang pernah diperolehnya tumbuh dengan sendirinya, bahkan melebihi apa
yang dirasakan sebelumnya. Seiring
dengan waktu, kekuasaannya akan tumbuh pula. Elemen baru kemudian menjadi
bagian dari masyarakat: yakni dibangunnya sebuah struktur baru. Dan sepanjang
opini massa
mengakui sang pemimpin tidak gagal dalam menjalankan dasar-dasar fungsi sosial,
otoritas pemimpin ini makin dipertahankan.
Sebagai contoh, dulu pangeran-pangeran
kecil di pesisir Melayu berpaling ke Jawa, dalam arti mengakui kebesaran
kerajaan-kerajaan Jawa. Secara periodic mereka mengirimkan pajak dan upeti ke
raja-raja Jawa yang diakuinya memliki kekuasan agung. Selain itu, mereka
menerapkan institusi-institusi kerajaan Jawa ke dalam negara mereka sendiri
dalam rangka mengidentifikasi diri dengan para penguasa agung di Jawa dan
sekaligus memperoleh kemasyhurannya.
Keluarga-keluarga raja kecil itu malah memperkuat kedekatannya dengan
Jawa dengan ikatan tali perkawinan. Mereka kemudian menikah dengan putra atau
putri dari Jawa atau Bugis. Sebagian malah keturunan Arab, sebagimana beberapa
keluarga adipati Jawa juga berdarah Arab atau Cina. Dengan cara demikian,
otoritas pangeran-pangeran kecil Melayu hakikatnya makin lemah akibat makin
terpenetrasi ke dalam kerajaan Jawa.
Meski demikian, kekuasaan raja tidak
selalu tumbuh berkat kehebatannya dalam menaklukkan pihak lain. Hal ini kadang
tumbuh dari masyarakat pesisir yang hanya menggantungkan hidupnya terhadap
produk-produk tertentu yang tak mampu diberdayakannya sendiri secara optimal.
Masyarakat inilah yang justru berharap memperoleh pihak lain yang mampu
mengoptimalkan produk mereka, dan karena itu menyerahkan diri. Tanpa
penaklukan, melainkan penyerahan diri untuk diatur.
Selain itu, kekuasaan atau prestise
raja diperoleh dengan memanfaatkan kepercayaan terhadap adanya mistik, mitos,
dan magis. Jika seseorang dimitoskan sedemikian rupa sehingga dianggap memiliki
keunggulan atau keajaiban tertentu, maka masyarakat yang masih percaya terhadap
mitos akan memberikan pengakuan kepadanya. Demikian pula, jika raja kian kokoh
dimasukkan dalam wacana mitos ini, maka raja itu secara otomatis memperoleh
prestise atau kekuasaan baru.
Tipe ‘Negara’ Patrimonial
Dalam ‘negara’ patrimonial, yang masih terkait
sistem kerajaan, raja merintis pendelegasian wewenangnya kepada orang-orang
terpilih. Di sana
terdapat gubernur, duta raja, atau pejabat penting—untuk menopang roda
pemerintahannya. Meski demikian, raja masih tetap merupakan arah sentralnya.
Birokrasi pemerintahan raja melibatkan
jajaran aristokrasi, yakni suatu bentuk sistem kekuasaan atau pelaksanaan
“kekuasaan oleh orang-orang terbaik” (makna asal kata-kata Yunani aristos dan kratos) yang ukuran paling pentingnya ialah keturunan. Kesejajaran
aristokrasi ialah dinasti, atau lebih tegasnya dinasti keturunan atau genealogical dynasty (Madjid 2001:4).
Dengan adanya subordinasi
daerah-daerah kerajaan, yang di dalamnya terletak pusat konflik antara raja dan
tokoh-tokoh lokal, raja lazim menerapkan wewenangnya sebagai penguasa dan
pengayom dengan memberikan kelonggaran tertentu untuk mengatur daerahnya
sendiri.
Ketika Sultan Agung mangkat (1646)
daerah-daerah kerajaan Mataram mengalami koherensi yang longgar. Maka, dinobatkanlah
Mangkurat I (1646-1677) yang selama pemerintahannya ditemukan suatu upaya yang
sungguh-sungguh untuk menerapkan ide ‘negara’ (state) ke dalam praktik (Schrieke 1955:184).
Jika selama Sultan Agung para pangeran
ditempatkan di lingkungan istana dan mengikat mereka dalam aliansi perkawinan
ketat sehingga mudah diawasi (dengan demikian aristokrasi kerajaan dipaksa
menjadi court nobility), maka
Amangkurat I sebenarnya malah melakukan sentralisasi birokrasi pemerintahan,
dan bersitegas menyingkirkan mereka yang membandel dan orang-orang yang
terlibat. Birokrasi pemerintahannya ditopang dengan pengangkatan tokoh-tokoh
yang kompeten di bidangnya.
Pengangkatan tokoh-tokoh yang kompeten
di bidangnya agaknya sangat penting bagi Mangkurat I untuk menggolkan tujuan
politiknya. Di dalam sentralisasi yang diterapkannya, dia sebenarnya juga
mengimplikasikan distribusi kewenangan. Mangkurat I “menyerahkan pemerintahan
(atau administrasi) provinsi-provinsi Mataram di tangan para ministeriale yang secara konstan dia ganti untuk mencegah
timbulnya aspirasi memerdekakan diri” (Schrieke 1955:184). Meski demikian,
Mangkurat I tetap merupakan muara kekuasaan para pembesar-nya.
Mangkurat I membuat pajak uang (money taxation) sebagai norma agar
pemerintah sentral/pusat memperoleh pemasukan dari provinsi-provinsi tersebut.
Namun, ketika dinilainya pemasukan itu kurang efektif, dia mempercayakan
penarikan pajak kepada para ministeriale,
dan cara kedua ini berhasil. Dia menempuh cara yang sama terhadap tugas-tugas
ekspor-impor, yang dipilahnya ke dalam ‘departemen’ terpisah. Perdagangan
luar-negara (foreign trade) menjadi
sebuah monopoli negara.
Namun, upaya kerasnya untuk membentuk
suatu ‘negara’ dalam masyarakat berdasarkan ekonomi barang, dengan sistem
komunikasi (dan transportasi) yang lemah, dianggap gagal, meski dalam
pajak-uang cukup berhasil. Kegagalan ini ditangkap oleh Kompeni (pemerintah
Hindia Belanda) sebagai peluang untuk melakukan intervensi—terlebih saat itu
Kompeni telah menguasai sebagian besar Tanah Jawa. Dengan intervensi Kompeni,
peran aristokrasi asli kerajaan menjadi sangat lemah posisinya.
Karena Kompeni tahu benar prinsip
hereditas di dalam sistem keraton, mereka memanfaatkan peluang ini dengan
mendekati sentana kerajaan Mangkurat I. Meski pada taraf tertentu Kompeni telah
berhasil “melemahkan” sebagian sendi kehidupan birokrasi keraton, mereka
menganggap hal itu bukan suatu keberhasilan yang sempurna. Masuklah mereka ke
dalam pengelolaan pertanian rakyat, yang semula ditangani langsung oleh para ministeriale—tentu dengan pertimbangan
ekonomi, dan pada akhirnya kekuasaan. Dalam ekonomi, Kompeni meraup pembagian
pengelolaan lahan, sementara dalam kekuasaan mereka secara halus telah menggerogoti
otoritas dan kekuasaan Mangkurat I.
Kompeni mencapai keberhasilan besar
dalam memasukkan konsep ‘negara’ patrimonial a-la Barat semenjak Daendels
ditugaskan di Jawa. Kompeni bahkan memberikan gelar-gelar kepada para adipati,
tumenggung, dan sebagainya yang diambil dari sistem kemiliteran Hindia Belanda.
Dengan demikian, ditambah gelar dari kerajaan/keraton, mereka kemudian menyandang gelar ganda. Dan
keberhasilan ini masih dikokohkan lagi oleh Rafflles, gubernur letnan di Jawa
sebagai pengganti Daendels, berdasarkan kegemilangannya membangun Singapura.
Terhadap keberhasilan Kompeni di bawah prestasi Raffles ini, Schrieke
(1955:186) menulis berikut ini:
This was
at the time the mood generally prevalent, a mood typical of periods in which
real authority has only just established itself, when a new system of colonial
rule has been wrested from the hands of tradition.
(Inilah
saatnya suasana yang biasanya muncul, yakni suasana tipikal periode-periode di
mana otoritas sesungguhnya malah hanya berdiri sendiri, tatkala suatu sistem
baru kolonial baru telah direbut dari tangan-tangan tradisi.)
Tampaklah di sini, kekuasaan Mangkurat
I menjadi terbatas di lingkungan keraton.
Birokrasi pemerintahan ‘negara’ patrimonial yang telah dibentuknya
terjangkit virus-virus kekuasaan yang disebarkan oleh Kompeni. Dengan demikian,
cita-cita Mangkurat I untuk menerapkan birokrasi dengan menerapkan gagasan
‘negara’ ke dalam praktik mengalami kegagalan.
(Catatan: khusus untuk
Tipe ‘Negara’ Patrimonial, saya telah membahasnya di dalam makalah bahan
diskusi yang berjudul “Memahami Pemerintahan ‘Negara’ Patrimonial: Kasus
Mataram di Bawah Mangkurat I”—disampaikan pada diskusi kelas Kapita Selekta Politik Indonesia, Program S3 Kajian Budaya Universitas Udayana,
Selasa 13 Februari 2007.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar