Motto:

It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Rabu, 29 Desember 2010

MEMAHAMI DUNIA PARIWISATA BALI

 Much. Khoiri
 Abstract
Tourism industry in Bali has fostered the Balinese people to willy-nilly get involved in an essential logic of capitalism, namely commodification. Concerning both natural and cultural resources, the commodification has so far been backed up by the government’s policy on tourism in which local communities should actually be involved in the mainstream of sustainable tourism. Despite what the government has done, the empowerment of local communities needs improving in terms of training and monitoring, capital subsidy, and commitment to empower the people through their traditional social order (banjar) and institutions. Key words: sustainable tourism, commodification, natural and cultural resources, empowerment of local communities


Pendaduluan

Tak diragukan bahwa pulau Bali merupakan ikon pariwisata yang tersohor hingga ke seantero dunia. Dengan berbagai sumber-daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia yang khas, Bali telah menyedot perhatian para wisatawan, baik wisdom (wisatawan domestik) maupun wisman (wisatawan manca-negara). Dalam bahasa Picard (2006:21), Bali tersohor dan mendunia bukan hanya karena keindahan pemandangannya, melainkan juga karena kekayaan tradisi kesenian dan religinya, yang sepenuhnya disebabkan oleh daya tarik orang Bali dan pulaunya.

Berkat reputasinya dalam pariwisata, sepanjang sejarahnya—sejalan dengan perubahan jaman dan peningkatan arus komunikasi lintas dunia yang turut ambil peran dalam proses globalisasi—, Bali semakin mengokohkan diri sebagai salah satu tujuan wisata dunia. Keunikan Bali yang tersohor menyebabkan banyak wisatawan dari berbagai belahan dunia mengunjungi Pulau Dewata ini. Tuntutan mereka untuk mengunjungi Bali telah dimaknai sebagai peluang dan tantangan bagi pengembangan pariwisata.

Konsekwensinya, masyarakat Bali mengolah peluang dan tantangan semacam itu berkaitan dengan berbagai kekayaan alam dan budaya yang dimilikinya untuk memajukan dunia pariwisata. Maka, tak mengherankan bila budaya Bali perlahan-lahan mengalami perubahan dan penyesuaian sebagai manifestasi perubahan tata nilai. Perubahan ini mendorong kehidupan masyarakat tidak sekedar melanjutkan “naluri” masa lalu, tetapi telah menjadi arena negosiasi tata nilai yang tidak hanya lokal dan nasional, tetapi juga bersifat global (Abdullah 2006:59).

Potensi besar yang dimiliki Bali di satu sisi dan tuntutan wisatawan di sisi lain telah merangsang Bali untuk lebih kreatif bermain peran dalam budaya konsumen modern yang telah dibentuk oleh logika esensial kapitalisme, yakni komodifikasi (commodification). Hal ini sejalan Watson dan Kopachevsky (dalam Richards 1996:263), bahwa pariwisata modern paling baik dipahami dalam konteks komodifikasi dan budaya konsumer kontemporer. Maksudnya, segala potensi yang memungkinkan untuk pengembangan pariwisata Bali perlu dikemas secara optimal sebagai suatu komoditas yang hendak disuguhkan di depan wisatawan. Selain kekayaan alam, optimalisasi komodifikasi juga diarahkan pada kekayaan budaya, termasuk seni pertunjukan. Dalam aras demikian, dapat dipahami bahwa masyarakat lokal Bali mau tak mau harus ”merasa terlibat” di dalam proyek besar ini.

Sementara itu, tak dapat dipungkiri bahwa komodifikasi seni tidak bebas atau imun dari kontroversi: antara yang mendukung, yang mendukung dengan berbagai syarat, dan yang menolak. Karena itu, sungguh menarik untuk menelisik fenomena komodifikasi seni (pertunjukan) di Bali dalam rangka pengembangan pariwisata khususnya dan pembangunan manusia umumnya.

Tulisan singkat ini akan mencoba memaparkan secara umum komodifikasi seni, terutama seni pertunjukan, untuk kepentingan pariwisata Bali yang berkelanjutan. Mengingat pariwisata berkelanjutan menuntut pelibatan masyarakat lokal, tulisan ini juga diarahkan pada paparan tentang pemberdayaan masyarakat lokal (baca: Bali). Dua sub-bagian tersebut akan disajikan secara subsekwen berikut ini:

Komodifikasi Sumber Daya: SDA-SDB

Konsep ’komodifikasi’ dalam hal ini diambil dari Watson dan Kopachevsky (2002:283) yang menyatakan bahwa komodifikasi adalah proses dengan mana obyek-objek dan aktivitas-aktivitas dinilai terutama berdasarkan ’nilai tukar’ (exchange-value) dalam konteks dagang di samping ’nilai guna’ (use-value) yang dimiliki oleh komoditas tersebut.

Dalam komodifikasi terdapat transformasi dari pengalaman-pengalaman ”nyata” (”real” experiences) manusia ke berbagai peristiwa palsu (pseudo-events). Karena itu, komodifikasi dapat berarti memoles potensi objek (budaya) secara luas hingga mengandung daya tarik (atraksi), kemudian mampu menarik perhatian orang, dan orang itu akhirnya mengkonsumsinya untuk memenuhi kepuasan dirinya.

Karena ”hampir seluruh produk dan upaya manusia dapat dianggap sebagai komoditas” (Watson dan Kopachevsky 2002:284), komodifikasi hakikatnya juga mencakup komodifikasi budaya dalam arti luas. Budaya manusia diberi sentuhan artifisial sedemikian rupa untuk menciptakan nilai tukar dan nilai guna instrumental, sehingga wujud budaya hasil komodifikasi ini merupakan hasil negosiasi dengan tuntutan-tuntutan yang menggerakkan adanya komodifikasi. Menurut Abdullah (2006:9), budaya perlu didefinisikan ulang, bukan merupakan budaya generik (yang merupakan pedoman yang diturunkan), melainkan merupakan budaya diferensial (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial).

Dengan demikian, komodifikasi seni pertunjukan, sebagai bagian komodifikasi budaya, merupakan upaya-upaya mengolah seni pertunjukan agar menjadi komoditas yang memiliki nilai guna dan nilai-tukar dalam konteks dagang dunia pariwisata. Seni pertunjukan dipoles secara artifisial agar memikat wisatawan, dan wisatawan itu akhirnya menikmatinya. Tentu saja, sebagaimana dalam dunia dagang, prinsip supply and demand (penyediaan dan permintaan) berlaku dalam konteks ini. ’Permintaan’ penikmat seni pertunjukan (baca: wisatawan) disambut oleh pelaku (baca: produsen) seni pertunjukan dengan menyediakan komoditas seni pertunjukan yang potensial untuk memuasi penikmat.

Tak pelak, dalam dunia pariwisata, komodifikasi seni pertunjukan melahirkan adanya seni pertunjukan wisata. Ia merupakan seni pertunjukan yang dikemas untuk kepentingan pariwisata, dalam rangka mengantisipasi dan memenuhi permintaan wisatawan. Secara spesifik, Soedarsono (2003:238) memberikan lima ciri-khasnya: (1) tiruan dari aslinya; (2) singkat atau padat; (3) penuh variasi; (4) pengabaian nilai-nilai sakral, magis dan simbolisnya; dan (5) harganya murah.

Lazimnya, seni pertunjukan wisata dapat dilakukan melalui pemadatan sejumlah repertoar seni pertunjukan yang sudah tersedia di masyarakat agar sesuai dengan waktu kunjungan wisatawan yang biasanya singkat, tetapi dapat menjangkau banyak hal dan bila perlu menyeluruh. Dalam pemadatan ini terjadi rekonstruksi sejumlah repertoar seni pertunjukan yang memiliki daya tarik besar bagi para wisatawan seperti pertunjukan Calon Arang, Kecak, Barong. Proses rekonstruksi ini tentu ditangani oleh para seniman unggul agar hasil pemadatannya tidak (terlalu) menurunkan kualitas seni, karena mempertaruhkan dunia pariwisata pada khususnya dan secara moral mempertaruhkan di hadapan masyarakat global mengenai keunikan dan keadiluhungan budaya Bali.

Contoh riel hasil komodifikasi seni pertunjukan dapat disaksikan pada berbagai event seni pertunjukan di Art Center. Di sana wayang Bali ditampilkan dalam durasi relatif pendek, yang dimodifikasi dari wayang Bali asli. Demikian juga berbagai sendra-tari dan arja (opera Bali) kerap disuguhkan di hadapan wisatawan—baik wisdom maupun wisman. Kesemuanya telah ”dijual” sebagai komoditas pariwisata, untuk dikonsumsi oleh para wisatawan.

Kemudian, tengoklah Pesta Kesenian Bali (PKB). Pergelaran kesenian yang telah berusia 20 tahun itu (dirintis sejak tahun 1986) telah menampilkan berbagai atraksi kesenian, terutama seni pertunjukan, yang merupakan hasil olahan atau hasil kreasi masyarakat pemangkunya. Dalam rentang 20 tahun itu pastilah sudah banyak seni pertunjukan yang, disadai atau tidak, telah dikemas dalam komodifikasi. Karena PKB berada dalam ruang komodifikasi budaya dalam kaitannya dengan pariwisata, dengan sendirinya ia juga dimanfaatkan untuk tujuan promosi pariwisata.

Hanya saja, dalam kasus-kasus tertentu komodifikasi seni pertunjukan untuk pariwisata dianggap ’kebablasan’ oleh sementara kalangan. Kapitalis-kapitalis pariwisata kadang menghegemoni dan ”memaksa” masyarakat lokal untuk bersikap permisif terhadap acara-acara yang mengarah ke profanisasi tradisi dan material sakral. Misalnya, di Pura Taman Ayun, Mengwi, pura-puri yang mestinya dianggap sakral itu telah (pernah) digunakan untuk acara makam malam (dinner) bagi wisatawan, dan konon dapat dimengerti dan didukung oleh masyarakat sekitar pura termasuk pihak istana (puri) Mengwi. Selain itu, pada saat yang sama tempat suci itu juga digunakan sebagai latar (background} berbagai atraksi budaya, seperti pertunjukan barong, gong kebyar, gamelan joged, wayang, baleganjur dan sebagainya. Mengingat yang dijadikan pusat perhatian adalah Pura dan Puri Taman Ayun, seni pertunjukan yang disajikan sebagai atraksi wisata adalah aktivitas budaya pura dan puri yang dikemas menjadi seni pertunjukan wisata. Wisatawan juga dapat masuk pada area inti bagian tengah pura (Ruastiti, 2005:60-61).

Meski demikian, komodifikasi seni pertunjukan agaknya telah dijadikan pilihan oleh pihak-pihak yang bergerak langsung dalam dunia pariwisata Bali. Di pihak lain, masyarakat lokal sepertinya perlu mendukung atau setidaknya memaklumi berbagai realitas budaya yang kadangkala menyentuh sensitivitas budaya generik mereka. Bagaimanapun juga, mereka memahami bahwa pariwisata juga menawarkan berbagai keuntungan tertentu. Masalahnya, sekarang, adalah bagaimana masyarakat telah atau sedang diberdayakan dalam dunia pariwisata Bali di bawah payung komodifikasi tersebut?

Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pariwisata terkait erat dengan kepariwisataan berkelanjutan (sustainable tourism). Merujuk Ardika (2006), kepariwisataan berkelanjutan mementingkan keseimbangan yg harmonis antara kelestarian SDA & SDB, kesejahteraan masyarakat lokal, dan kepuasan wisatawan (lihat juga Natori 2001). Prinsip lainnya, sesuai WTO, dalam kepariwisataan berkelanjutan, wisatawan menghormati budaya, pandangan hidup masyarakat lokal, terintegrasi dan melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan pariwisata, adil dan wajar dan menguntungkan masyarakat. Dan ketiga, kepariwisataan berkelanjutan juga menegaskan adanya mutu (quality), kontinuitas (continuity), dan keseimbangan (balance).

Prinsip-prinsip kepariwisataan berkelanjutan tersebut tampak sangat ideal dan tentu saja tidak mudah untuk dipenuhi dalam praktik. Sebagai suatu pedoman pelaksanaan, tentulah prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat terpenuhi secara optimal. Masalahnya, sudahkah masyarakat lokal diberdayakan seoptimal-optimalnya agar dapat bertindak sebagai pemain kunci dalam promosi pariwisata sehingga kelak ikut menikamti kue-kue pariwisata?

Berbicara tentang pemberdayaan masyarakat lokal secara menyeluruh, terkait dengan dunia pariwisata, hampir sama halnya berbicara tentang apakah masyarakat secara keseluruhan telah diberdayakan dalam pembangunan. Skope-nya begitu luas. Karena itu, dapat dipredikasikan, bahwa sebagian masyarakat merasa telah diberdayakan, sebagian lain belum, sebagian lagi mungkin memberdayakan diri sendiri berkat sentuhan pariwisata.

Dalam konteks seni pertunjukan, marilah kembali ke Pesta Kesenian Bali. Lokasi untuk PKB saja dapat dikatakan sebagai wujud upaya pemberdayaan masyarakat lokal. Lokasi itu memungkinkan para seniman menampilkan kreasinya, sementara sebagian masyarakat lain berpeluang meraup keuntungan ekonomis akibat digelarnya PKB.

Kemudian, kalau kita saksikan open stage Ardhacandra, yang lazim diisi dengan berbagai tampilan seni pertunjukan—entah wayang, sendratari, atau arja—, kita dapat menduga bahwa para seniman seni pertunjukan merasa telah diberdayakan oleh Pemda Bali dalam pariwisata. Paling tidak, mereka berkesempatan ”mempromosikan diri” agar lebih dikenal oleh masyarakat luas, di samping guna mendukung promosi pariwisata. PKB dapat dimaknai sebagai ajang kreativitas mereka dalam mengemas seni pertunjukan yang diusungnya. Dengan demikian, mereka juga memperoleh imbalan pemasukan finansial meski tidak selalu berlebihan.

Sementara itu, dalam waktu yang sama, di panggung bawah wisatawan dapat menyaksikan ruang luas untuk pameran. Sejumlah masyarakat lokal memamerkan dan menjual hasil-hasil kerajinan, lukisan, atau produk-produk budaya lokal lain yang banyak diminati oleh pengunjung (wisatawan). Sama dengan seniman pertunjukan, mereka ini sekaligus juga ”mempromosikan” hasil-hasil kreasinya yang memungkinkan wisatawan untuk melakukan transaksi ulang di kali lain.

Lebih lanjut, PKB telah memberikan stimulus yang dahsyat. Untuk mempersiapkan diri tampil di PKB, digelarlah berbagai festival seni di seluruh kabupaten dan satu kota di Bali. Pemerintah daerah dan kota ini memainkan peran pemberdayaan masyarakatnya, terutama mereka yang langsung terlibat dalam seni-seni tersebut. Dalam festival-festival demikian, masyarakat umum yang ”beruntung” juga dapat terlibat dalam ajang pameran, untuk menjajakan produk-produknya.

Meski demikian, perlu diakui bahwa pemberdayaan masyarakat dalam pariwisata belum optimal. Fakta di atas menunjukkan bahwa pemberdayaan masih jauh dari idealitas konsep kepariwisataan berbasis masyarakat. Pasalnya, dalam konsep ini, masyarakat (lokal) adalah pelaku atau subjek dan objek; mereka juga tujuan pembangunan; dan mereka merupakan kekuatan dasar (sementara pemerintah, swasta, pers adalah kekuatan inti). Karena itu wajar bila Richards dan Hall (2000:7) mensinyalir bahwa konsep pemberdayaan dalam dunia pariwisata berkelanjutan pun masih mengasumsikan bentuk pemberdayaan masyarakat distributif ’dari atas’ (from above) ketimbang pemberdayaan generatif ’dari dalam’ (from within).

Karena itu, pemberdayaan masyarakat harus terus-menerus ditingkatkan kualitasnya. Pertama, sejalan dengan Ardika (2006), perlu program pelatihan tentang sistem kemitraan dan pendampingan karena faktor kelemahan SDM, modal, dan sadar wisata dan budaya masyarakat lokal. Pelatihan sedemikian dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang apa dan bagaimana konsep pengembangan pariwisata Bali berkelanjutan dilaksanakan. Pemahaman mereka juga perlu didukung dengan ulur tangan (bukan intervensi berlebihan) pemerintah dalam permodalan, pendampingan, dan sebagainya.

Kedua, pemda Bali perlu secara gradual mengurangi dominasinya dalam manajemen kepariwisataan Bali, di samping merintis jalan agar investor-investor kakap tidak leluasa mengembangkan sayapnya. Pemda memiliki wewenang yang legal dan memadai untuk mengambil langkah ini. Yang sangat diharapkan adalah komitmen pemda Bali untuk menerapkan wewenang tersebut.

Ketiga, pemda Bali perlu mulai merintis untuk mempercayakan manajemen kepariwisataan kepada masyarakat lewat organisasi-organisasi sosialnya. Organisasi atau struktur sosial banjar yang telah berurat-berakar dalam kehidupan manusia Bali merupakan potensi besar untuk dilibatkan dalam manajemen kepariwisataan. Dengan strategi demikian pariwisata dapat dipenetrasikan ke dalam basis masyarakat , agar menjadi kesadaran bersama dan akhirnya mengikis sikap apatis dan prasangka masyarakat terhadap pariwisata.

Simpulan

Dalam konteks kebijakan pariwisata di Bali, seni pertunjukan perlu dikomodifikasi sedemikian rupa agar menjadi komoditas yang memiliki nilai guna dan nilai-tukar yang tinggi dalam konteks dagang untuk kepentingan pariwisata yang berkelanjutan.

Komodifikasi seni pertunjukan menantang kearifan masyarakat Bali, terlebih pemerintah dan swasta, untuk memahami batas-batas antara yang sakral dan yang profan, di samping untuk lebih kreatif dan bijak dalam meningkatkan kualitas seni profan demi kepentingan pariwisata.

Sejalan dengan pariwisata berkelanjutan, masyarakat lokal, baik para seniman seni pertunjukan maupun masyarakat, sebenarnya telah diberdayakan lewat berbagai upaya. Namun hal ini dapat dikatakan belum optimal. Selama ini masyarakat lokal belum diperlakukan sebagai subjek dan objek dalam pengelolaan pariwisata.

Karena itu, komitmen pemerintah daerah Bali sangat dibutuhkan untuk meretas jalan untuk lebih memberdayakan masyarakat lokal, bukan hanya lewat berbagai pelatihan atau pendampingan yang bernuansa pemberdayaan distributif (top-down atau from above), melainkan juga lebih mengoptimalkan peran struktur dan pranata masyarakat (from within atau bottom-up).


Daftar Pustaka


Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ardika, I Wayan. 2006. Pengelolaan Pusaka Budaya sebagai Objek dan Daya Tarik Pariwisata di Bali. Makalah disampaikan pada Seminar Bali Bangkit, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Denpasar, 20 Agustus.

Natori, Masahiko. 2001. A Guidebook for Tourism-Based Community Development. Osaka: Asia-Pacific Tourism Exchange Center.

Pichard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (Terj. Jean Couteau dan Warih Wisatsana). Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia.

Richards, Greg. 1996. Production and Consumption of European Cultural Tourism. Dalam Annals of Tourism Research. Vol. 23 No. 2: 261-283.

Richards, G. & Derek Hall, eds. 2000. Tourism and Sustainable Community Development. London: Routledge.

Ruastiti, Ni Made. 2005. Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata. Denpasar: Bali Mangsi Press.

Soedarsono. 2003. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Watson, G.L. & J.P. Kopachevsky, 2002. Interpretations of Tourism as Commodity. Dalam Yorgos Apostolopoulos at al, eds. The Sociology Of Tourism: Theoritical and Empirical Investigations. London: Routledge: 281-297.

Tidak ada komentar:

Promo Email

Dear friend, I want to introduce you to a website that I recently found to make big earn online. It works all around the clock, and for not just days or weeks, but for months and months, making you big of profit. $0.00 invest - earn hunders daily. It's real and easy way to make money in online. Open the link below to learn more: http://www.bux4ad.com/aft/b1d99e16/2a7dab89.html See you, Much. Khoiri