Abstract: Globalization, which has basically substituted the hegemonic role of Developmentalism, is by nature another form of imperialistic Capitalism. Back-grounded by Neo-Liberalism, globalization—with its major actors such as TNCs, WTO, IMF/World Bank—has penetrated into many (Third World ) countries throughout the world, and then dramatically “conquered” the worldwide economy. Despite its remarkable “success”, on the one hand, globalization is in fact shared only by a limited number of (political) economy elites in the vicious circle of the globalization major actors. On the other hand, globalization is regarded as a real threat for the majority of marginalized societies, including those in Asean countries. In response to this hegemony, social resistance movements have grown and developed, either manifest or latent ones. In this case Asean countries should possess an alternative development paradigm or theory which probably enhances a social change conducive to better justice and welfare. Perhaps we need some “glocalization” to counter the impact of developmentalism and globalization in purpose to uproot common people from marginalization.
Key words: globalization, capitalism, power struggle, (counter)-hegemony, social-cultural resistance.
Pendahuluan: Globalisasi dalam Perspektif Political Economy
Sebelum terjadi krisis kapitalisme di Asia Timur (Jepang, Hong-Kong, Korea Selatan, Singapura, Taiwan), Indonesia, Malaysia, dan Thailand pada paruh kedua tahun 1990-an, pertumbuhan ekonominya sangat dahsyat, sehingga Amerika pernah sedikit berpaling dari Eropah dan berambisi “mengawini” Asia—hingga dijargonkan menjadi “Asiamerica”---yang siap membangun sebuah super-culture di abad 21:
Now Asia and America are fusing into a commonality of shared goals and values that will create the next century’s great arc of peace and prosperity… Asia is opening to the intellectual vigor of the Americas . Politically, economically, commercially, socially, culturally, the Pasific is evaporating. Soon it will be as easily stepped over by a Chinese in Los Angeles as an American in Hong Kong . (Asiaweek, 1 Desember 1993).
Akan tetapi, kenyataan pahit telah mengubur impian Amerika itu. Krisis kapitalisme tak terelakkan. Developmentalisme (pembangunanisme), yang dicetuskan Harry S. Truman semasa perang dingin (tepatnya 1949) untuk membendung Sosialisme, ternyata akhirnya dinilai gagal memainkan perannya. Developmentalisme, yang dilandasi teori-teori Modernisasi dengan ideologi Kapitalisme-Liberalisme, tidak saja dianggap telah gagal menjawab berbagai persoalan yang diwariskan oleh pemikir sebelumnya, seperti persoalan kelas, dominasi ideologi dan budaya, persoalan gender, serta persoalan lingkungan, melainkan justru dianggap telah melanggengkannya. Negara-negara tersebut telah merujuk teori Modernisasi (kapitalistik) sementara kapitalisme itu sendiri sesungguhnya juga mengandung potensi krisis di dalamnya.
Sebenarnya krisis semacam itu pernah diprakirakan bahkan sebelum Amerika mencanangkan niatnya merintis “Asiamerica” tersebut. Sulistyo (1990), misalnya, pernah mengkritisi demokrasi dan pembangunan dalam konteks Asia-Tenggara, dan telah (agak sinis) mempertanyakan jenjang dan kelompok masyarakat mana yang sesungguhnya memetik keuntungan dari implementasi ideologi developmentalis. Menurutnya, di seluruh negeri Asia Tenggara, hanya ada segmen tertentu dari masyarakat yang benar-benar menikmati bagian terbesar dari kue hasil proses pembangunan, sementara sisanya masih terselubung dalam kemiskinan absolut.
Krisis ekonomi di Indonesia , menjelang runtuhnya Orde Baru, disebut Budiman (1994: 115) sebagai “sangat kompleks”: terdapat kesenjangan kaya-miskin, benturan agama dan rasial, penumpukan utang luar negeri, dan kegagalan bersaing dalam ekonomi pasar. Bahkan, secara lebih jelas, Pryhantoro dan Nugroho (2002) melukiskan krisis kapitalisme di Indonesia sebagai paradoks modernitas dalam pembangunanisme:
Potensi krisis dalam kapitalisme yang dalam melakukan maksimasi keuntungan, akumulasi modal dan mode of production-nya bersifat eksploitatif dan yang dalam ekspansi kulturalnya didasari ‘rasio-instrumental’, membawa sistem produksi industrial kapitalistik kepada situasi paradoks modernitasnya. Paradoks modernitas ini menggejala dalam berbagai bentuk (hasil) penerapan teori Modernisasi di Indonesia, yakni ‘pembodohan’, ‘pemiskinan’, dan ‘ketergantungan kepada hutang luar negeri.’
Kompleksitas permasalahan di Indonesia tersebut agaknya juga dialami oleh negeri Asean lain yang saat itu ekonominya tidak begitu kuat, tentu dengan tingkat kepelikan yang berbeda. Namun, di negara-negara pusat kapitalisme, muncullah jawaban andalan—yang sudah dipersiapkan sebelumnya?—untuk mempercepat agenda-agenda kapitalisme. Jawaban itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah globalisasi kapitalisme.
Sesungguhnya terminologi ‘globalisasi’ telah mengemuka bersamaan dengan maraknya Foreign Direct Investment atau PMA pada paruh 1980-an---atau sekitar satu dasa warsa sebelum runtuhnya pembangunanisme---, yang sebagian besar berasal dari AS dan negara-negara Eropa Barat. Globalisasi kian dimungkinkan setelah AS, yang kemudian diikuti oleh sejumlah negara lain, menurunkan tarif dan pembatasan-pembatasan lain yang selama itu berlaku dalam perdagangan internasional.
Globalisasi, dalam perspektif politik ekonomi, mengandung makna penting di bidang ekonomi dan efeknya bersifat homogenizing terhadap dunia. Globalisasi dipandang sebagai penyebaran ekonomi pasar ke seluruh kawasan yang berbeda-beda (Ritzer & Goodman, 2004: 588) di dunia ini. Ekonomi pasar, yang mengimplikasikan persaingan bebas dan pasar bebas, memaksa negara-negara (termasuk Dunia Ketiga) untuk menyesuaikan diri dalam kawasan perdagangan yang homogen. Penyesuaian diri inilah yang diharapkan oleh para penjunjung globalisasi.
Dengan demikian globalisasi bisa dimaknai sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia (global) berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman kolonialisme. Para teoretisi kritis sejak lama sudah meramalkan bahwa kapitalisme akan berkembang menuju pada dominasi ekonomi, politik dan budaya berskala global setelah perjalanan panjang melalui era kolonialisme. (Fakih, 2002). Perspektif Sistem Dunia---dengan komponen: zona ekonomi, negara bangsa, kelas sosial, dan kelompok status---yang melihat kapitalisme sebagai suatu sistem global untuk mengorganisasikan aktivitas-aktivitas ekonomi (Shannon, 1989: 22-28), sejalan dengan ramalan semacam itu.
Tak pelak lagi, sebenarnya kita tidak leluasa berhak mendefinikan globalisasi itu sendiri. Apa itu globalisasi dan perkembangannya relatif telah dimonopoli sepihak oleh kelompok yang amat berpengaruh, yang memiliki daya jangkau, kekuasaan dan ambisi global. Seluruh konsepsi dan paradigma tentang globalisasi dicetuskan berdasarkan persepsi, kepentingan dan agenda kelompok ini, yang pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh ideologi dan janji-janji Neo-Liberalisme. Mereka, tidak lain dan tidak bukan, adalah negara-negara maju yang gigih mengusung kapitalisme dunia.
Lewat globalisasi kapitalisme, mereka telah melancarkan gerakan ‘hegemoni’, yakni menggiring kita agar menilai dan memandang problematika sosial [ekonomi] dalam kerangka yang diinginkan, dengan suka-rela dan tanpa paksaan. (Gramsci dalam Patria & Arief, 2003: 120-121). Negara-negara maju tersebut menciptakan sejumlah mekanisme, sistem maupun simbol, dan dengannya berusaha untuk menghegemoni dan mengangkangi opini masyarakat internasional; dan bahkan berusaha mengarahkan masyarakat internasional untuk berpikir dan merasa menurut apa yang dikehendaki untuk dipikirkan dan dirasakan.
Bahkan, kalau kita memakai bahasa Dirks et.al (1994: 596), negara-negara maju tersebut tidak hanya menghegemoni kita pada tingkat ideologi, manipulasi atau indoktrinasi, melainkan juga menghegemoni keseluruhan praktik dan harapan atas kehidupan secara utuh, termasuk indera dan energi kita, dan bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri dan dunia kita. Alangkah dahsyat dan halusnya globalisasi dikampanyekan ke sekeliling kita sehingga, entah suka atau tidak, kita tak ubahnya terjaring dalam laboratorium cuci-otak untuk menyepakati apa yang mereka harapkan. Dalam hal ini kebanyakan kita tak berdaya menampiknya.
Mekanisme Globalisasi
Sesungguhnya bagaimana mekanisme/proses globalisasi bekerja? Proses globalisasi diindikasikan oleh pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni semakin terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs)---[yang punya kekuatan hegemonik terhadap negara-negara Dunia Ketiga]---, yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global. Ia mencoba meyakinkan rakyat miskin di Dunia Ketiga bahwa semua itu seakan-akan merupakan arah baru yang menjanjikan harapan kebaikan bagi umat manusia dan menjadi keharusan sejarah manusia di masa depan. (Fakih, 2002). Secara kasat mata, menurut Robert Gilpin dalam Rahallus (2003), globalisasi ditandai berakhirnya perang dingin, kian meningkatnya perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian yang dilakukan dengan menggunakan komputer dan internet.
Paradigma kapitalisme Neo-Liberalisme telah melandasi globalisasi. Dalam paradigma ini, semakin besar peran mekanisme pasar dan semakin terbuka sistem perekonomian sebuah masyarakat terhadap perdagangan dan persaingan bebas, masyarakat tersebut semakin efisien dan menguntungkan. Kapitalisme Neo-liberalisme inilah yang telah melahirkan dan memberikan peran dominan kepada globalisasi dalm konteks pembangunan dunia internasional dewasa ini.
Negara-negara maju penjunjung globalisasi meyakini bahwa globalisasi merupakan sebuah produk dan kekuatan intelektual yang memang laik dilekatkan dan dijalankan lewat agenda-agenda standarisasi, penyamarataan, privatisasi, deregulasi, labelisasi, dan lain-lain. Untuk itu, mereka menempuh sejumlah strategi, yakni: pemanfaatan bahasa (newspeak) dalam masyarakat internasional, black mail melalui media komunikasi massa, penetrasi/infiltrasi ke dalam dunia pendidikan negara berkembang, kontrol dan pembentukan opini global, dan memperlemah/mensubordinir lembaga PBB (Rahallus, 2003: 504-508).
Maka, globalisasi hakikatnya merupakan dambaan dan target perjuangan perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs) yang telah disetir oleh negara-negara maju. TNCs kemudian dianggap sebagai aktor penting untuk mengegolkan perjuangan kepentingan dan agenda globalisasi. Dengan menggunakan TNCs sebagai ujung tombak, negara-negara maju merasa berhak dan berkompeten untuk mencampuri dan mengintervensi proses pembangunan di negara-negara berkembang. Negara-negara maju bahkan merasa berhak untuk memberi instruksi atau perintah kepada negara berkembang tentang bagaimana seharusnya bersikap-perilaku, dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang ekonomi.
Dalam hal ini Fakih (2002) menunjukkan betapa dahsyatnya peran transnational corporations (TNCs) selama dua dasawarsa terakhir. Jumlahnya melonjak dari 7000 ke 37.000; perannya kian menguasai ekonomi dunia—dan ini akan kian kokoh kalau globalisasi berjalan lancar. Mereka pada saat lalu saja berhasil menguasai 67% dari perdagangan dunia antar TNCs dan menguasai 31,1% total perdagangan global. Bahkan, TNCs telah menguasai 75% dari total investasi global. Konkretnya, ada 100 TNCs dewasa ini menguasai dunia, dan mampu mengendalikan 75% perdagangan dunia.
Adapun forum World Trade Organization (WTO), yang menggambil peran General Agreement on Tariff and Trade (GATT) sejak 1995, malah berfungsi sebagai forum perundingan antar-perdagangan dan aktor kedua dari mekanisme globalisasi. WTO menjadi area perjuangan bagi TNCs untuk mengegolkan cita-cita mereka menguasai (ekonomi) dunia, didukung “derivat-derivatnya” semisal NAFTA atau APEC. Sementara itu, aktor utama lain dalam globalisasi adalah lembaga keuangan global—IMF dan World Bank. Peran lembaga keuangan ini juga sangat menentukan.
Secara bersama-sama, aktor-aktor utama globalisasi itu—yakni TNCs, WTO, dan IMF/World Bank—menetapkan aturan-aturan tentang investasi, hak milik intelektual dan kebijakan internasional, serta mendesak atau mempengaruhi negara-negara untuk menyesuaikan kebijakan nasionalnya bagi kelancaran globalisasi atau pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Dalam hal ini mereka telah memainkan ‘ekonomi politik internasional’ yang canggih, yakni mengakses peran kekuasaan [negara-negara Dunia Ketiga] untuk mempengaruhi dan mewarnai pengambilan keputusan ekonomi (Mas’oed, 1994; Staniland, 2003)—tentu saja agar sejalan dengan kepentingan globalisasi.
Mekanisme pengintegrasian itu ditempuh dengan mengubah berbagai kebijakan yang menghalangi ketiga aktor globalisasi tersebut (terutama TNCs) untuk melancarkan ekspansi produksi, pasar, dan investasi. Permainannya tingkat tinggi; target pemainnya adalah elit-elit politik dan ekonomi yang memiliki kepentingan tersembunyi. Retorika politik yang mengatasnamakan rakyat hanyalah isapan jempol—dan merupakan akumulasi ironi dan paradoks yang sulit dinalar. Globalisasi, karena itu, sebenarnya lebih didorong oleh motif kepentingan pertumbuhan dan akumulasi global, dan tidak ada sangkut- pautnya dengan kesejahteraan rakyat atau keadilan sosial negara Dunia Ketiga.
Globaliasasi sama sekali tidak memberikan keberpihakan kepada rakyat kecil, melainkan segelintir konglomerat (dalam lingkar) TNCs yang terus berupaya melanggengkan kekuasaannya. Kekuasaan mereka dalam bidang ekonomi telah mereka raih, dan karena itu harus dipertahankan dan diamankan. Dalam bahasa keras, Robin Hahnel dalam Rahallus (2003: 499) menyatakan: “Propaganda bahwa globalisasi akan menguntungkan negara-negara berkembang adalah bualan belaka. Liberalisasi investasi dan perdagangan internasional terbukti makin memperburuk ketidak-seimbangan antara negara maju dan negara berkembang.” Dengan kata lain, globalisasi belum dan tak mau berfungsi menjadi solusi bagi masalah ekonomi dan kesejahteraan, melainkan secara fundamental menjadi bagian tak terpisahkan dari masalah itu sendiri.
Runtuhnya Ekonomi Kerakyatan: Dampak Pertarungan Kuasa
Sekarang marilah kita perhatikan bagaimana pertarungan kuasa berlangsung dalam lingkar hegemoni globalisasi kapitalisme, yang akhirnya berdampak sangat signifikan terhadap ekonomi kerakyatan.
Permainan aktor-aktor globalisasi yang hendak terus menguasai dunia tak lepas dari penerapan ideologi Neo-liberalisme. Para penjunjung Neo-liberalisme yakin, bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan konsekuensi logis dari persaingan bebas, sedangkan “pasar bebas” merupakan cara efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber-daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan harga barang dan jasa sebagai indikator bagi masih-tidaknya sumber-daya tersebut. Ekonomi neo-liberal tidak ingin pemerintah suatu negara ikut campur: Serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk bekerja.
Pasar bebas mau tak mau dimitoskan sebagai cirikhas dan watak globalisasi (Fakih, 2002): pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya di bidang perburuhan, investasi, harga, termasuk ruang untuk mengatur diri sendiri. Kedua, hentikan subsidi negara kepada rakyat karena hal itu bertentangan dengan prinsip “jauhkan campur tangan pemerintah” dan bertentangan dengan prinsip pasar bebas atau persaingan bebas. Pemerintah, karena itu, wajib melakukan privatisasi terhadap semua perusahaan milik negara, karena perusahaan negara dibentuk untuk melaksanakan subsidi negara pada rakyat dan menghambat terjadinya persaingan bebas. Ketiga, hapuskan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat “tradisional”. Paham kesejahteraan dan pemilikan bersama akan menghalangi pertumbuhan. Maka, biarkan pengelolaan sumber saya alam (SDA) diserahkan kepada ahlinya, dan bukan pada masyarakat tradisional.
Dalam konteks Asean, ketiga penampakan watak globalisasi itu telah kita saksikan bersama. Negeri-negeri Asean menuai dampaknya pada taraf yang berbeda-beda. Negeri-negeri yang ekonominya kuat semacam Singapura, Malaysia, atau Brunei Darussalam saja harus membuat kebijakan-kebijakan yang tidak konfrontatif dengan watak globalisasi tersebut. Terlebih lagi negeri-negeri yang ekonominya tidak cukup kuat, seakan berada dalam kondisi darurat, sehingga kerapuhan-kerapuhan yang ada harus ditambal dengan semangat mengikuti watak globalisasi tersebut. Negeri kita, Indonesia, termasuk dalam kategori kedua ini, meski kita (dengan melihat Demokrasi Ekonomi kita dengan Repelita) sama sekali tidak membayangkan dampak pahit itu bakal melanda.
Demokrasi Ekonomi, sebagai ideologi ekonomi Pancasila, yang menggariskan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan (pasal 33 UUD 1945), praktis berbenturan dengan watak globalisasi di atas. Marilah kita perhatikan sejumlah ciri-khas positif demokrasi ekonomi berikut ini:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga Perwakilan Rakyat, serta dengan pengawasan lembaga-lembaga lain.
(5) Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki, serta mempunyai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
(6) Hak milik perorangan diakui dan penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
(7) Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
(8) Fakir-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(Tjatera, 2007).
Delapan butir tersebut mengindikasikan semangat dan pilar demokrasi dalam kehidupan ekonomi. Dalam hal ini pemerintah sesungguhnya berwenang mengontrol berbagai kegiatan ekonomi termasuk perusahaan swasta, di samping harus memberikan subsidi kepada warga negara, dan mewujudkan kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa watak globalisasi dalam konteks ekonomi sangat bertentangan dengan semangat demokrasi ekonomi. Sangat pelik untuk melacak mengapa para pemimpin Indonesia masa Orde Baru membelokkan arah tahapan pembangunan Repelita ke sosok globalisasi kapitalisme—dan tergila-gila dengan pinjaman IMF/World Bank dan semacamnya. Tak sedikit analis yang mengklaim adanya kekuatan intervensi asing, terutama negara-negara Barat—di samping adanya kroni-kroni Soeharto dan pihak-pihak swasta yang sudah dicaplok oleh hegemoni perusahaan-perusahaan transnasional (yang merupakan tangan-kanan globalisasi). Jika hal ini benar, maka faktor politik ekonomi, yakni perebutan kekuasaan untuk kepentingan ekonomi, sangatlah kental terasa. Dan akibatnya telah kita alami bersama. Tak lama setelah George Soros terjun ke Asean, secara tragis ambruklah perekonomian kita. Krisis moneter pun melanda, dan akibat selanjutnya Orde Baru pun runtuh. disebut Budiman (1994: 115) sebagai “sangat kompleks”: terdapat kesenjangan kaya-miskin, benturan agama dan rasial, penumpukan utang luar negeri, dan kegagalan bersaing dalam ekonomi pasar. Sebagaimana disinggung di bagian awal tulisan ini, Budiman (1994: 115) menyebut krisis ekononomi kita sebagai “sangat kompleks”: terdapat kesenjangan kaya-miskin, benturan agama dan rasial, penumpukan utang luar negeri, dan kegagalan bersaing dalam ekonomi pasar.
Maka sejak runtuhnya Orde Baru, pemerintah yang sangat bergantung pada IMF/World Bank (karena mewarisi getah pahit Orde Baru) mulai mengendurkan campur-tangannya terhadap pihak swasta. Hal ini tentu merupakan bagian agenda globalisasi kapitalisme yang telah diusung oleh TNCs dan aktor-aktor globalisasi lain. Tengoklah berbagai subsidi yang semula menjadi kebijakan populis Orde Baru akhirnya juga harus dicabut, baik BBM, pertanian dan sebagainya, bahkan juga penyunatan subsidi bidang pendidikan. [Barangkalai yang siap menghadapi semua itu hanyalah negeri semacam Singapura, Malaysia, atau Brunei Darussalam.] Sementara itu, eksploitasi sumber daya alam akhirnya banyak yang berpindah tangan ke perusahaan-perusahaan (kaki tangan) tansnasional dan/atau multinasional. Kendati persyaratan-persyaratan globalisasi itu belum sepenuhnya kita penuhi, kita sudah ikut merasakan beban yang maha berat yang sedang dipikul bangsa kita. Kita benar-benar pernah terpuruk di dalam krisis Asean.
Selain itu, dalam konteks lebih luas, TNCs dan “makelar-makelar”-nya telah memainkan peran politik ekonomi untuk mempengaruhi kebijakan di bidang perpajakan, pertanahan, dan investasi di dalam negeri kita. Mereka menganjurkan desentralisasi pemerintah pusat dan daerah agar tidak menghambat iklim investasi. Mereka dalam posisi dominan dan menentukan. Langkah-langkah reformasi yang mereka dukung dimaksudkan untuk melapangkan jalan menuju tercapainya target penguasaan ekonomi global. Dengan pasal-pasal IMF dan World Bank, mereka bisa menekan negara-negara peminjam, termasuk Indonesia tentunya, untuk mematuhi kehendak dan ambisi tersembunyi mereka.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa globalisasi pada hakikatnya hanya wujud luar dari motif (tersembunyi) kepentingan pertumbuhan dan akumulasi global, yang hanya menguntungkan elit-elit ekonomi (terutama) yang bergerak dalam lingkar TNCs. Globalisasi sangat memihak elit-elit TNCs dan segenap makelarnya. Keuntungan luar biasa ini merupakan “berkah” bagi segelintir aktor TNCs beserta dua aktor utama lain globalisasi, karena target perjuangan untuk menguasai (ekonomi) dunia semakin menjadi kenyataan.
Sebaliknya, keberhasilan mereka merupakan “ancaman” bagi mayoritas rakyat kecil. Ekonomi kerakyatan runtuh dan tumbang secara dramatis dan menyedihkan. Gelombang globalisasi semakin menggusur dan memarjinalkan mayoritas rakyat miskin, dan sekaligus menggerogoti kepentingan dan nasib para petani kecil, nelayan, pedagang sektor informal, serta masyarakat adat yang memperebutkan tanah, hutan dan laut. Keberpihakan terhadap “kaum tertindas” (marjinal) ini diperkirakan akan semakin lemah, dan akhirnya berubah menjadi ketidakberdayaan.
Melihat globalisasi sebagai ancaman, agaknya, tidak bisa dianggap telah mencerminkan pesimisme, dan kemudian mengharapkan mengubahnya menjadi tantangan (optimisme). Ini bukan pilihan antara pesismisme dan optimisme. Sebagai wujud imperialisme atau kolonialisme baru, globalisasi (di mata rakyat banyak) tidak menawarkan pilihan apa-apa, kecuali harus ”pasrah” menerima berbagai konsekwensi yang ditimbulkan oleh para aktornya. Rakyat kecil harus rela menjadi korban-korban globalisasi yang secara ekonomi berwatak eksploitatif, secara politik berwatak represif, dan secara kultural berwatak sangat hegemonik. Dengan kata lain, di mata rakyat banyak, tantangan globalisasi terlalu dahsyat untuk bisa diladeni, meski dengan optimisme sebesar apa pun.
Sementara itu, kita tahu bahwa mayoritas rakyat Asean, khususnya Indonesia, adalah rakyat kurang sejahtera—setidaknya kelas menengah ke bawah. Mereka mungkin tak tahu-menahu makhluk apa itu globalisasi, tetapi bagaimana akibat atau dampak yang ditimbulkannya tiba-tiba harus mereka rasakan: barang dan jasa yang makin mahal. Mereka, pada akhirnya, akan makin tertekan, tertindas, dan makin termajinalkan.
Gejala penggusuran petani dari dunia pertanian adalah sebuah contoh konkret. Sejak adanya GATT, peran petani sebagai penghasil pangan (lokal) telah banyak digeser dan/atau digantikan oleh perusahaan agrobisnis raksana multinasional dan transnasional. Kebijakan GATT yang mendorong ekspor dan impor hasil pertanian dan komoditas lainnya secara bebas, pada hakikatnya untuk menggusur kemampuan petani (kecil) sebagai produsen pangan lokal. Para petani kalah bersaing bebas dengan para pebisnis multinasional dan transnasional yang canggih. Jaringan perdagangan seakan-akan telah dikondisikan untuk hanya memfasilitasi para pebisnis raksasa itu, sedangkan petani (kecil) hanya memperoleh porsi sangat minim. Tahun-tahun terakhir ini, lewat kekuatan TNCs dan kelompoknya, kegiatan impor beras dan bahan pangan lain ke Indonesia terbukti meningkat. Suatu ketika, sangat mungkin, para petani akan meninggalkan dunia pertanian yang selama ini mereka tekuni.
Jika kita menelusuri daerah-daerah pedesaan di Jawa, misalnya, tidaklah mudah menemukan anak-anak muda usia kerja yang tertarik menekuni dunia pertanian. Dunia pertanian dirasakan sangat kering, dan bahkan kerap dilanda kerugian. Akibatnya, banyak di antara mereka yang kemudian pergi ke kota-kota besar untuk mengadu nasib meskipun mereka juga tidak tahu apakah kota akan mengubah nasib menjadi lebih baik. Yang paling umum, para wanita menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Saudi Arabia, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Brunei Darussalam, atau Korea Selatan. Lalu, manakah iming-iming globalisasi yang telah dijanjikan untuk kepentingan kebaikan ekonomi rakyat jelata?
Senada dengan itu, masyarakat miskin kota terkena imbasnya. Dengan kilah demi persaingan global, pemerintah terpaksa men-support perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan produksi dan investasi di setiap jengkal kota. Pasar-pasar tradisional, perlahan tapi pasti, akan digeser oleh pasar-pasar modern yang lengkap dengan sarana hiburan. Bahkan tempat dan bangunan bersejarah pun ada yang harus dirombak menjadi sarana-sarana bisnis. Lahan-lahan di pinggiran kota sekalipun, pada gilirannya, akan diborong oleh para pebisnis raksasa (TNCs) untuk disulap menjadi lahan bisnis. Uang dipakai sebagai senjata untuk menaklukkan masyarakat yang memang butuh uang. Singkatnya, kebijakan yang didorong melalui proses globalisasi akan memarjinalkan dan menyingkirkan masyarakat miskin kota.
Begitulah, singkatnya, globalisasi ternyata tidak memberikan keuntungan ekonomis apa pun terhadap rakyat kebanyakan, kecuali segelintir elit ekonomi dalam lingkar aktor-aktor globalisasi. Sebaliknya, sebagaimana dipaparkan di atas, globalisasi malah telah secara sistematis meruntuhkan ekonomi kerakyatan, sebuah basis penting yang seharusnya diperjuangkan oleh negara-negara Dunia Ketiga yang berada di kawasan Asean ini.
Gerakan Resistensi Sosial-Budaya
Globalisasi kemudian menghadapkan rakyat banyak dengan aktor-aktor utamanya. Karena merasa makin terancam hak hidupnya, tumbuhlah kesadaran subjektif rakyat banyak untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik, untuk mengubah nasib yang tersisihkan. Rakyat sebagai korban globalisasi terpaksa melakukan perlawanan (resistensi) sosial terhadap TNCs, WTO, dan IMF/World Bank. Resistensi rakyat terhadap globalisasi—atau, dalam sudut pandang Fakih, tantangan globalisasi—berbentuk gerakan-gerakan yang variatif, baik frontal maupun tersembunyi, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya: yang meliputi gerakan keagamaan, gerakan kultural, gerakan sosial dan masyarakat madani, dan gerakan lingkungan. (Fakih, 2002).
Pertama, gerakan berbasis agama tampil melakukan resistensi terhadap ideologi dan praktik globalisasi akibat dampak negatif yang telah ditimbulkannya. Di mata mereka, meski juga memberikan kebaikan, globalisasi dan pembangunan telah mendorong manusia menjadi materialistik, mengabdi hidup sebagai binatang ekonomi, dan berorientasi Barat-- dan karena itu menyebabkan pergeseran nilai dan dekadensi moral dan akhlak. Karena itu, paham globalisasi dianggap sebagai musuh ideologis yang perlu dilenyapkan. Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Front Pembela Islam adalah contoh kelompok fundamentalis Islam yang kritis. FPI belum lama ini melakukan sweeping terhadap tempat-tempat hiburan (baca: maksiat) dan toko-toko buku yang memajang buku-buku Marxisme. Tempat-tempat maksiat itu dituding sebagai ekses globalisasi yang merupakan imitasi budaya Barat atau kaum Imperialis alias Kapitalis neo-liberal. Sementara, buku-buku berbau Marxisme dikambinghitamkan telah mewataki paham globalisasi.
Gerakan resistensi menentang globalisasi juga tampak, secara tak kentara, dalam berbagai wacana diskusi dan kegiatan di kalangan intelektual dari berbagai agama. Lihat saja betapa marak dosen dan/atau mahasiswa di banyak kampus yang begitu getol “mengamati” setiap fenomena globalisasi. Terkesan ada semacam perapatan barisan untuk mengantisipasi dampak-dampak globalisasi yang kian mengerikan—meski toh tak terelakkan juga. Pada saat bersamaan mereka mengadakan semacam pengentasan dan pendampingan bagi sesamanya yang telanjur terjerat getah globalisasi. Yang menggembirakan—di balik kengerian akibat globalisasi---adalah mereka meluangkan waktu dan kesempatan untuk memberikan pendidikan sosial di tengah masyarakat.
Kedua, gerakan budaya juga dilancarkan untuk menghadapi laju globalisasi. Banyak budayawan yang selalu kritis terhadap berbagai dampak pembangunan, termasuk juga globalisasi. Masih banyak deretan budayawan yang bertipe demikian, dengan media seni masing-masing: seni lukis, seni musik, pertunjukan (wayang, ketoprak, ludruk, film), seni pahat, juga seni suara—tak ketinggalan adalah gerakan kaum intelektual, baik akademisi maupun non akademisi, yang telah memanfaatkan ilmunya untuk mengkritisi globalisasi. Sayang sekali, sebagian gerakan budaya ini telah sedemikian terlokalisir atau terbatasi (akibat kebebasan berpikir) dalam ruang lingkup yang sempit, sehingga tidak memiliki kekuatan yang besar---jika dihitung-hitung, kekuatannya tidak sebanding dengan gelombang gerakan globalisasi di bidang budaya, terutama dunia hiburan.
Ketiga, selain gerakan keagamaan dan budaya, globalisasi juga memperoleh resistensi berupa gerakan sosial dan civil society. Gerakan sosial baru, seperti gerakan anti-revolusi hijau di Jawa, gerakan feminisme, dan gerakan kaum grassroots adalah gerakan sosial menentang pembangunan dan globalisasi, yang terus tumbuh dimana-mana dalam skala lokal, nasional, dan global. Resistensi berbagai elemen rakyat di Indonesia terjadi ketika pemerintah Orde Baru memberikan akses monopoli cengkih dan produksi Mobnas (mobil nasional). Tak sedikit gerakan “Koalisi anti-Hutang”—terutama terhadap IMF dan World Bank---dan berbagai LSM yang menentang WTO dan TNCs muncul sebagai reaksi atas kebijakan-kebijakan yang “tidak bijak” terhadap Indonesia .
Rakyat yang peduli akan masa depannya semakin sadar, bahwa IMF dan World Bank bukanlah mengulurkan bantuan, melainkan menjebloskan bangsa Indonesia dalam lautan hutang yang nyaris mustahil untuk dibayar. Semakin bergantung kepada kedua lembaga keuangan itu, semakin lemah kedudukan negara kita di percaturan global, dan semakin tak berdaya rakyat yang harus mengikuti berbagai kebijakan yang terintervensi oleh aktor-aktor globalisasi. Bukankah kebijakan privatisasi, pengurangan subsidi, dan sejenisnya merupakan “harga mahal yang harus dibayar” oleh pemerintah Indonesia akibat terjerat tangan gurita IMF dan/atau World Bank?
Terakhir, kendati tidak begitu signifikan, gerakan pencinta lingkungan juga mengadakan gerakan resistensi terhadap globalisasi. Di Indonesia Walhi adalah contoh yang representatif. Sebagai organisasi jaringan gerakan (pencinta) lingkungan, Walhi semula banyak memfokuskan perhatian pada ekologi atau lingkungan. Mereka mengadakan berbagai penelitian, yang hasilnya banyak berguna untuk perencanaan pembangunan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, praktik ekonomi modern telah merusak secara dramatis lingkungan alam yang sangat membayakan keseimbangan alam. Boleh dikatakan, kerusakan ekosistem sudah sangat menyedihkan, dan membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Karena kondisi demikian, Walhi kemudian menjelma menjadi gerakan resistensi sosial yang cukup keras melawan globalisasi. Tentu saja, Walhi tidaklah sendiri. Akhir-akhir ini cukup banyak organisasi atau kelompok yang banyak mencurahkan perhatiannya pada lingkungan. Bahkan mereka melakukan berbagai pelatihan untuk menjaga lingkungan.
Berbagai gerakan resistensi yang dikemukakan di atas sebenarnya kuat mengindikasikan bahwa perlawanan terhadap globalisasi tidaklah tanggung-tanggung, meskipun ada pihak-pihak yang telah menerimanya, bahkan mengharapkannya, dengan segala suka-cita. Para aktor globalisasi, yakni TNCs, WTO, dan IMF/World Bank boleh menganggap fenomena tersbut sebagai ancaman atau tantangan—keduanya perlu direnungkan untuk menemukan solusi yang terbaik.
Penutup: Meretas Identitas Asean
Globalisasi, yang menggantikan developmentalisme, pada hakikatnya adalah wujud baru kapitalisme (imperialistik). Dilandasi Neo-liberalisme, globalisasi—dengan aktor-aktor utamanya: TNCs, WTO, IMF/World Bank—telah menetapkan aturan investasi, produksi dan pasar; serta mendesak atau mempengaruhi negara-negara (Dunia Ketiga) agar mensinergikan kebijakan nasionalnya demi pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.
Dengan pintu “persaingan bebas” dan “pasar bebas”, globalisasi (terutama diujung-tombaki oleh TNCs) melakukan penetrasi ke berbagai penjuru dunia, dan kemudian menguasai (ekonomi) dunia. “Keberhasilan” globalisasi ini, ternyata, hanya dinikmati sebagai berkah oleh segelintir elit ekonomi atau ekonomi politik dalam lingkar permainan TNCs. Sebaliknya, globalisasi merupakan ancaman bagi mayoritas masyarakat marjinal---petani (kecil), nelayan, pedagang sektor informal, masyarakat adat, dan semacamnya. Globalisasi dipandang sebagai bahaya yang bakal melenyapkan “hak hidup” mereka si kaum marjinal secara perlahan-lahan.
Maka muncullah sejumlah gerakan resistensi sosial dari masyarakat sipil (marjinal)—yang menjadi korban utama dari proses globalisasi—terhadap globalisasi, yang meliputi: gerakan berbasis agama, gerakan budaya, gerakan sosial baru dan masyarakat madani, gerakan (pencinta) lingkungan. Gerakan resistensi sosial ini dilakukan baik terang-terangan (frontal) maupun sporadis, pasif, dan tersembunyi (baca: gerakan moral).
Kini tiba saatnya globalisasi di negeri Asean disikapi secara lebih bijaksana dan cerdas, tidak hanya di negeri-negeri yang kuat ekonominya, melainkankan juga di negeri-negeri yang kurang kuat ekonominya. Sementara itu, kedudukan globalisasi di Indonesia yang cenderung dimaknai sebagai ancaman di satu pihak, dan munculnya berbagai gerakan resistensi di lain pihak, barangkali memberikan pelajaran berharga bagi kita, bahwa globalisasi kapitalisme versi Barat mungkin kurang atau tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia. Atau, memang dibutuhkan persiapan yang lebih matang lagi untuk menerapkannya.
Sejauh itu, sebagai epilog, pembangunan Asean masih harus terus berlangsung. Asean perlu memunculkan alternatif pandangan atau teori pembangunan yang baru yang mengarah ke perubahan sosial yang adil dan berkesejahteraan. Agaknya perlu diadakan suatu wacana dan gerakan tandingan untuk mengkonter hegemoni developmentalisme dan globalisasi, dan menggantinya dengan suatu corak globalisasi yang berpihak juga pada kaum marjinal atau rakyat banyak.
Gerakan “Asean Peduli” yang mencerminkan identitas, semangat, dan patriotism ke-Asean-an harus dikorbarkan lewat berbagai fora dan kesempatan. Identitas Asean harus mewujud sebagai perekat kesatuan bagi seluruh negeri di Asean untuk mandiri dan lepas dari arogansi globalisasi versi Barat. Asean harus merumuskan globalisasi versi sendiri.
Pertanyaanya, mungkinkah mimpi besar ini bakal segera terwujud? Ataukah kita perlu mengambil konsep terkenal Roland Robertson (dalam Ritzer & Goodman, 2004), yakni semacam “glocalization”, suatu wacana atau paham bersifat cultural yang mengintegrasikan unsur-unsur dunia global dan dunia lokal dalam produksi, investasi dan pasar untuk dimanfaatkan bagi pembangunan kita kini dan mendatang? Kiranya kita masih perlu merenung dengan kejernihan hati dan kearifan yang mendalam, untuk membangkitkan (kembali) ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dan berkesejahteraan dalam semangat kebersamaan.***
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, M. Francis. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum
Pembangunan (Terjemahan M. Rusli Karim). Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Budiman, Arief. 1994. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama & PUBE UI.
Dirks, N.B, G. Eley & S.B. Ortner (eds). 1994. Culture/Power/History: A Reader in
Contemporary Social Theory. New Jersey: Princeton University Press.
Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Insist Press.
Mas’oed, Mohtar. 1994. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan.
Patria, Nezar & Andi Arief (eds). 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pryhantoro, Edy H. & Heru Nugroho. 2002. “Paradoks Modernitas dalam
Pembangunanisme: Diskursus tentang Kapitalisme Menjelang Runtuhnya Orde Baru.” Dalam Sosiohumanika, Vol.15 No. 1, Januari, hlm. 115-128.
Rahallus, N.A. 2003. “Globalisasi atau Hegemoni Intelektual Global?”.Dalam
Analisis CSIS, Th. XXXII No.4, hlm. 498-515.
Ritzer, George & D.J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam.
(Terjemahan Alimandan). Jakarta : Prenada Media.
Shannon, T. Richard. 1989. An Introduction to the World-System Perspective.
Staniland, Martin. 2003. Apakah Ekonomi-Politik Itu?: Sebuah Studi Teori
Sosial dan Keterbelakangan. (Terjemahan Haris Munandar & Dudy Priatna). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sulistyo, Hermawan. 1990. “Demokrasi dan Pembangunan: Pengalaman Asia
Tenggara.” Dalam Prisma, Th. XIX No. 7, hlm. 89-96.
Tjatera, I Wayan. 2007. Materi Perkuliahan “Kapita Selekta Perekonomian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar